Oleh : Azhar Hamid (Kader IMM Tanjung Jabung Timur)
Sudah lebih dari lima tahun jalan utama di RT 02 Simpang Gelis Kelurahan Bandar Jaya rusak parah. Pada musim hujan, jalan itu dipenuhi genangan air dan lumpur, mengubahnya menjadi jalur berbahaya bagi pengendara roda dua maupun truk angkutan hasil panen. Ketika kemarau tiba, debu beterbangan mengganggu penglihatan dan pernapasan warga. Padahal, jalan ini merupakan akses utama bagi lebih dari 60 kepala keluarga serta menjadi jalur pengangkutan sawit dari Kecamatan Berbak yang menjadi komoditas utama yang bisa mencapai lebih dari 20 ton per hari saat waktu panen.
“Kadang kami harus keluarkan ongkos tambahan karena truk mogok di jalan rusak. Panen telat dijual, rugi besar,” keluh salah satu petani sawit setempat.
Warga sudah berkali-kali mengeluh ke pemerintah desa dan kecamatan, namun kondisi jalan tetap tidak berubah. Seolah-olah wilayah ini ditelantarkan dari perhatian. Keresahan ini adalah potret nyata dari persoalan struktural yang sering terjadi bukan hanya soal infrastruktur, tetapi lemahnya daya dorong masyarakat dalam mengawal pembangunan.
Apatisme: Akar Masalah yang Menghambat Pembangunan
Banyak masyarakat memilih diam, merasa suara mereka tidak akan mengubah apa-apa. Sikap apatis ini muncul karena kekecewaan mendalam terhadap janji politik yang tidak ditepati, atau karena minimnya pendidikan politik yang membekali masyarakat untuk bersikap kritis.
Padahal, apatisme berkontribusi besar terhadap pembangunan yang tidak merata. Pemerintah tanpa pengawasan publik berpotensi bertindak semaunya tanpa urgensi untuk menanggapi kebutuhan nyata rakyat. Akibatnya, program pembangunan kerap tak menyentuh persoalan pokok masyarakat.
Masyarakat sebagai Mitra dan Pengawas Pembangunan
Pemerintah memang memiliki tanggung jawab utama dalam pelaksanaan pembangunan. Namun sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk berperan aktif dalam proses tersebut.
Partisipasi masyarakat bukan sekadar hak, tetapi kebutuhan bersama. Masyarakat dapat berperan strategis melalui:
Mengikuti Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan): Forum resmi untuk menyuarakan usulan dan kebutuhan masyarakat.
Membentuk kelompok atau komunitas advokasi pembangunan: Sebagai pengawas sosial dan penghubung antara warga dan pemangku kebijakan.
Menggunakan media sosial untuk advokasi yang bertanggung jawab: Mengangkat isu publik agar mendapat perhatian luas.
Menjadi pemilih kritis: Memilih calon pemimpin berdasarkan rekam jejak dan program nyata, bukan janji kosong atau pemberian sesaat.
Ciri-ciri Masyarakat Partisipatif yang Ideal
Menuju pembangunan yang adil membutuhkan masyarakat yang:
Kritis namun tetap objektif dan santun.
Aktif mencari informasi dan memahami haknya.
Terlibat dalam forum publik dan pengambilan keputusan lokal.
Berpikir jangka panjang untuk kepentingan bersama, bukan hanya sesaat.
Dengan sikap seperti ini, masyarakat bukan lagi objek kebijakan, melainkan subjek pembangunan—mitra sejajar dalam menentukan arah masa depan daerahnya.
Dari Keresahan Menuju Tindakan
Kondisi jalan rusak di RT 02 Simpang Gelis Kelurahan Bandar Jaya hanyalah satu dari ribuan kasus serupa di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa tanpa partisipasi dan tekanan dari masyarakat, pembangunan bisa berjalan pincang, bahkan melenceng dari visi pemerintah.
Namun perubahan tidak bisa lahir dari diam. Suara rakyat adalah penggerak. Jalan rusak bisa diperbaiki dengan aspal, tetapi suara masyarakat yang dibungkam lebih sulit diperbaiki. Maka dari itu, mari bergerak dari sikap apatis menuju sikap partisipatif. Bangun solidaritas, tingkatkan literasi politik, dan jangan lelah menyuarakan keadilan.
Dengan menjadi masyarakat yang aktif dan sadar, kita turut memastikan bahwa pembangunan berjalan sebagaimana mestinya adil, merata, dan berpihak pada rakyat.