Oleh: Taufiq Halim Pranata
Perseteruan awal muncul hilal atau awal dari bulan hijriah masih menjadi perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat Indonesia khusunya di perdesaan. Seperti yang terjadi kemarin di Kabupaten Kerinci ada beberapa orang yang tidak nampak ikut sholat idul adha yang ternyata telah melaksanakan sholat sehari sebelumnya.
Sebagaimana terpantau oleh ideaA.id, Bupati Kabupaten Kerinci Adirozal, mengikuti sholat Idul Adha pada kedua hari tersebut. Pertama pada tanggal 9/7/2022 di Panti Asuhan Putra Muhammadiyah, dan yang kedua kalinya mengikuti sholat Idul Adha sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Menjadi pertanyaan penulis yang pada saat itu menyaksikan dan heran bingung Bupati kerinci melaksanakan sholat Idul Adha dua kali. Apakah hal ini di benarkan?
Jika memang boleh, atau malah lebih baik maka mengapa hal seperti ini tidak dilakukan oleh umat muslim Indonesia yang sering kali terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hari raya?
Dalam hadits Riwayat Tirmidzi, Nabi bersabda yg artinya, “Hari raya Idul Fitri kalian adalah sewaktu kalian berbuka. Hari Idul Adha kalian adalah sewaktu kalian menyembelih hewan kurban. Dan hari arafah kalian adalah saat kalian wukuf di Arafah”. Dimana perihal penentuan awal bulan atau kapan Sholat hari raya menjadi kerap terjadi karena adanya perbedaan metode yang di gunakan.
Dalam paradigma fikih, mengutip dari Tebuireng.online: persoalan melaksanakan sholat Ied dua kali tidak ditentukan. Kasus ini tidak bisa dihukumi i’adah (mengulang). Karena sudah di luar waktu. Juga tidak bisa dihukumi qadla’(ketetapan) karena kemarin ia telah melaksanakan shalat ied secara sah. Untuk itulah, minimal pelaksanaan shalat kedua ini berstatus La Yambaghi (tidak semestinya), bisa makruh bisa haram.
Namun demikian, pendapat Imam Safi’i bahwa tidak semua shalat ied dua kali salah. Malah ada yang dianjurkan. Yakni ketika terjadi syubhah ar-rukyah (kekaburan rukyah). Misalnya, ada seseorang yakin melihat bulan, sayangnya ia tidak mungkin bersaksi, karena validitas dan kredibilitasnya diragukan. Karenanya, secara pribadi ia wajib berbuka (lantaran secara pribadi ia yakin bahwa saat itu tanggal 1 Syawwal) dan untuk selanjutnya salat ‘ied sendirian. Esok, ketika masyarakat melaksanakan ‘ied berjamaah, ia boleh ikut kembali. (Al-Umm, juz 1 halaman 263)
Perlu di garis bawahi dari pendapat di atas adalah ketika dikarenakan validitas dan kredibilitasnya di ragukan maka boleh untuk melaksanakan sholat dua kali. Sedangkan seorang Bupati adalah pemimpin suatu daerah yang tentu saja memiliki validitas dan kredibilitas untuk mengambil keputusan.
Jadi pendapat penulis menyikapi hal tersebut tidak perlu di ambil pusing akan perbedaan penentuan hari raya yang kerap terjadi di negeri ini. Semua punya landasan penentuan dan perhitungannya masing-masing, dan mungkin untuk mengikuti semua pendapat tersebut jika dalam keadaan ragu dan tidak mampu mengambil keputusan. Wallahu a’lam.