BUDAYA TAHU DIRI DI MUHAMMADIYAH, MEREKA ORANG-ORANG IKHLAS DAN TIDAK AMBISIUS

Pemilihan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pernah mengalami kondisi yang paling ekstrem pada Muktamar ke-32 di Purwokerto pada tahun 1953. Ketika itu, tidak ada satu orang pun anggota PP Muhammadiyah yang terpilih di Muktamar yang bersedia menjadi ketua.

Sembilan anggota PP terpilih tidak ada yang mau jadi ketua,” kata Ketua Panitia Pemilihan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar Sulawesi Selatan Drs.H.Dahlan Rais,M.Hum, ( Muktamar Ke 48 di Solo 18- 20 November 2022 juga beliau msh menjadi Ketua Panlih Muktamar) _ saat menceritakan peristiwa tersebut.

Menurut P Drs. H. Dahlan Rais,M.Hum berdasarkan kesepakatan, mereka yang terpilih tersebut berangkat ke Ranah Minang (Sumatera Barat) dengan maksud menemui seorang Ulama yang bernama Buya Ahmad Rasyid Soetan Mansoer yang kemudian dikenal dengan panggilan Buya AR (A-ER), untuk meminta kesediaan beliau menjadi Ketua (Hoftbestur Muhammadiyah), padahal Buya AR tidak terjaring dan tersaring menjadi salah seorang calon Pengurus Besar Muhammadiyah pada waktu itu.

Pertanyaan yang menarik adalah, kenapa sembilan orang terpilih tersebut tidak ada seorang pun yang mau menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah?

Pertama; sudah dapat dipastikan bahwa mereka semua adalah orang-orang yang ikhlas yang terjauh dari sikap ambisius, dan tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi, kelompok atau golongan, apakah itu kepentingan ekonomi, politik atau jabatan, apalagi kepentingan politik oligarki atau kekuasaan.

Kedua; mereka yang terpilih tersebut adalah orang-orang yang tahu diri. Mereka sadar bahwa menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah bukanlah sebuah kehormatan apalagi sebuah kesempatan untuk meraih sebuah ambisi, tetapi sebuah amanah dan tanggung jawab; menjadi seorang pemimpin umat Islam, yang tidak bisa dipikul oleh sembarangan orang, tetapi oleh sebuah pribadi yang teruji dan terpuji.

Teruji aqidahnya, keberanian dan pengorbanannya, seorang ulama yang shaleh dan mushlih, dalam ilmunya, luas wawasannya, kuat komitmen dan tinggi rasa tanggungjawabnya, dan terjauh dari sikap munafik apalagi musyrik dalam bentuk apapun, perkataan maupun perbuatan.

Terpuji akhlaknya, tidak hanya sekedar pintar, tetapi berakhlak mulia, jauh dari perbuatan yang terhina, terpelihara rezekinya dari yang haram, terhindar dari perbuatan maksiat, dicintai oleh umat, disegani oleh umat dan masyarakat luas, orang yang terpandang karena sikap wara’nya.

Ketika mereka bertemu Buya AR di Kampoeng beliau di Maninjau, beliau sedang menjala ikan di danau Maninjau. Beliau tidak pernah menyangka ada rombongan yang datang dari Jawa, para pemimpin yang terpilih di Muktamar untuk meminta kesediaan beliau menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Akhirnya, setelah beliau meyakini bahwa mereka yang datang tersebut adalah orang-orang yang ikhlas, tidak ambisi jabatan, demi menghargai dan menghormati mereka dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang ulama, maka Buya AR. Soetan Mansoer menerima kepercayaan tersebut, dan sejak itu beliau harus pindah domisili dari Maninjau ke Yogyakarta.

Sebuah keteladanan yang perlu dicontoh, ditengah banyak yang percaya diri dan merasa pantas untuk dipilih menjadi pemimpin Muhammadiyah.

Nashrun Minallahi Wafathun Qarieb

Jangan lelah jadi orang baik

*Silakan Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *