BERPIKIR POSITIF, BERPIKIR TEOLOGIS, BERPIKIR MAGIS

Oleh : Amhar Rasyid Jambi
Jambi, Jum’at 29 Febr 2024
Dalam keseharian, kita sering tercampur aduk menggunakan cara berpikir kadangkala sepatutnya positif, tetapi dijelaskan secara teologis, atau dijelaskan secara magis. Berpikir positif artinya berpikir yang masuk akal, rational, sesuai dengan kenyataan pengalaman, misalnya bila HP diletakkan di atas motor di pinggir jalan tak ditunggui, yakin sebentar ia akan hilang. Berpikir teologis artinya berpikir agamis, sesuai dengan keyakinan berdasarkan ajaran keagamaan. Ajaran kegamaan artinya ajaran al-Qur’an dan Hadis yang sudah ditafsirkan oleh ulama dan tokoh2 terdahulu: ia sudah ‘dibumbui’ dengan pengetahuan ulama/tokoh tersebut. Sedangkan berpikir magis artinya berpikir di luar akal sehat yang disandarkan kepada kekuatan makhluk gaib yang dipercayai seseorang. Jadi berpikir kita sering tak sengaja tercampur baur, sehingga gak jelas sekat pembatasnya. Tulisan ini ingin mendiskusikan ketiga cara berpikir tersebut, sebab bukan rakyat biasa saja yang mengalaminya para pimpinan negara dan calon legislatif ikut pula. Sudilah anda membacanya kendatipun sibuk.

Berpikir positif perlu sekali dalam hidup. Contoh, anak2 kita disekolahkan, dikuliahkan karena kita berpikir positif mengingat masa depannya. Bila anak tidak bersekolah ya hasilnya bodoh. Tetapi berpikir positif kadang2 disandarkan kepada teologis. Misalnya, seorang bapak bilang, serahkan sajalah anak ke pesantren, Tuhan sudah mengatur segalanya. Itu contoh berpikir positif diimpit oleh teologis. Iya memang bagus anak diserahkan ke pesantren untuk belajar ilmu2 agama, tetapi masa depan anak kan akan berbeda dengan masa sekarang, boleh jadi dia akan menghadapi generasi yang bersaing di dunia IT, Computer, Telekomunikasi. Saya melihat sendiri anak2 Indonesia keturunan Tionghoa sedang giatnya belajar IT di berbagai Universitas di Singapur, belajar bahasa Inggeris, apakah ilmu2 keduniaan semacam itu diperoleh pula oleh anak2 kita di pesantren, di UIN, di IAIN dengan standar mutu yang sama dengan di universitas2 di Singapura? Maka berpikir positif-teologis kita dipertanyakan. Bila terasa kurang, maka prestasi belajar di pesantren dan sederajat sebaiknya ditambah lagi dengan ketrampilan ilmu2 IT modern agar generasi muda lebih mampu bersaing nanti. Itu namanya berpikir positif. Jangan serahkan saja pada Tuhan!

Contoh lain, berpikir positif yang bercampur aduk dengan berpikir teologis. Prof. Amin Abdullah tertawa tatkala mendengar ada mahasiswanya mengatakan bahwa masih ada pesantren yang melarang menulis memakai tinta merah, sebab warnah merah itu artinya ‘Mu’tazilah’. Mu’tazilah? Mu’tazilah, sudah bermakna negatif bagi mayoritas umat Islam Sunni, ia adalah aliran dalam Islam yang mana pengikutnya sangat mendambakan kekuatan akal dan mereka diyakini oleh kaum Muslimin yang lain bahwa keyakinannya pada akal ‘melebihi’ kodrat Allah. Banyak aspek aqidah dijelaskan Mu’tazilah dengan akal murni, sehingga ditolak bahkan dikafirkan oleh kaum Muslimin lain. Umat Islam yang beraliran Ahlus Sunnah kontra dengan pemikiran Mu’tazilah seperti itu. Tetapi anehnya, sampai2 menulis dengan tinta merahpun digolongkan pro Mu’tazilah…ini namanya tidak berpikir positif menurut saya. Kebencian terhadap suatu kelompok yang berbeda, dikaitkan dengan warna tertentu.

Bahkan berfilsafatpun masih dilarang, sebab akal sehat sangat didambakan. Berfilsafat adalah menggunakan daya nalar yang kritis, mempertanyakan segala sesuatu yang sudah mapan (established), mempertanyakan ajaran2 terdahulu, tidak asal ‘nrimo saja’. Masih banyak kaum Muslimin, termasuk di Saudi Arabia, menjauhi filsafat. Buku2 filsafat tidak boleh dibaca…disensor masuk di bandara2, dikatakan ‘haram’. Ini contoh berpikir teologis. Berfilsafat itu mempertanyakan bukan ajaran agama yang ‘turun dari langit’ tetapi yang sudah ditafsirkan oleh pemuka agama di bumi. Maka objek sasaran filsafat adalah Pemahaman. Sering kita terjebak, bila suatu pernyataan sudah dilandasi dalil ayat/Hadis, lalu dianggap benar. Sesungguhnya yang dijamin benar itu adalah ayat itu sendiri, bukan penafsiran oleh orang yang mengucapkannya. Berfilsafat untuk mempertanyakan kebenaran penfsiran itu kadangkala tidak boleh. Tidak nyaman bagi sebagian masyarakat.

Ada contoh berpikir positif lain di bidang kuliner. Berbagai warung siap saji (KFC, McD, Udon, Makanan Jepang dan Korea lainnya) saya yakin akan bertahan lama di negeri ini. Sebab generasi muda sudah ‘terbiasa’ dengan cita rasa semacam itu, dan bilamana mereka telah berusia tua, cita rasa waktu kecil akan tetap menggiurkan, maka warung siap saji teringat lagi. Pengalaman semacam itu tentu berbeda dengan kita yang terlahir sekitar 60-70 tahun silam. Bilamana perang terjadi, simpati pada Palestina muncul lagi dan kebencian pada Israel mulai akut lagi, namun warung siap saji Amerika akan tetap digandrungi (dalam lidah). Kenapa begitu? Iya, sebab ada istilah Bildung (bahasa Jerman) di mana ‘taste’ (cita rasa) merupakan bagian yang membentuk jati diri kita sejak kecil kata Gadamer. Kenapa Mbah2 suka tiwol? Kenapa mahasiswa Indonesia di luar negeri ‘rebutan’ ingin mencicipi sebatang rokok Gudang Garam? Kenapa orang Minang terbit air seleranya melihat kiriman rendang dari kampung? Kenapa orang Palembang di perantauan selalu ingin membuat mpek2 bila dapat kiriman tepung sagu? Semua itu adalah bukti bahwa selera telah membentuk jati diri sejak dini, maka positif berpikir bahwa warung2 siap saji milik bule akan lama bertahan di negeri ini. Kampanye politik ekonomi anti Coca Cola, anti itu..itu..ah.bagi saya menggelikan, sebab ia hanya sesaat….Cuma menunggu ‘Biduk lalu…kiambangpun bertaut.’ Buktikanlah!

Berpikir positif kadangkala menggelikan bila dicampur pula dengan berpikir magis. Presiden Indonesia melepas keberangkatan ekspor komoditi ke Mancanegara dengan cara memukulkan kendi/keramik berisi air ke kepala truk yang akan membawanya. Aduh.. kok berpikir magis ya? Apakah ada Presiden negara lain seperti itu? Bahkan dulu pernah ada Menteri Agama percaya adanya harta karun di dalam tanah, kok berpikir magis ya? Bahkan beberapa Caleg dan calon pejabat daerah masih terdengar mencari-cari dukun2 ke Jawa agar ia menang dalam pemilihan. Apalagi rakyat jelata, masih banyak yang berpikir magis. Misalnya, seseorang dikatakan punya warung yang laris, tiba2 bangkrut, lantas orang banyak mengira bahwa dia di ‘guna2/mantera’, warungnya diyakini telah dilempari tanah kuburan, dan sebagainya. Setelah diselidiki ternyata si empunya warung itu boros, sering belanja di luar kewajaran. Bila wisata ke kota dari kampungnya, shopping di MALL beserta anak isteri sering boros sehingga boleh jadi setelah beberapa kali shopping, maka modal mulai termakan…’besar pasak dari tiang’ ambruk..akibat tanpa perhitungan sementara orang di kampung tidak menyaksikan jajanannya bila wisata ke kota. Ini namanya berpikir magis…makhluk halus menjadi ‘tumbal’.

Ada contoh berpikir positif yang lebih menarik bagi saya. Seorang pemilik perusahaan transport ternama di suatu negeri memiliki banyak bis, kaya raya, tetapi putranya disuruh berkeliling kampung menjajakan pisang goreng setiap pagi. Orang kampung yang lagi duduk ngopi di warung banyak yang berkomentar sinis:” Dasar orang tua dak pernah merasa cukup duit, katanya, anak kok disuruh jualan goreng pisang, sementara bis miliknya berseliweran?” Pikir punya pikir, rupanya si bapak menyuruh anaknya menjual pisang goreng keliling kampung bukan untuk mencari kaya, tetapi ingin mendidik si anak agar tahu sadar dengan sulitnya mendapatkan uang dan tahu kiat berdagang..itu saja! Tujuannya agar nanti setelah bapaknya meninggal, si anak tahu kiat bisnis dan mampu mengelola managemen perusahaan setelah menerima ‘tongkat estafet’. Ini contoh praktis berpikir positif dalam niaga…berpikir jauh ke depan (futuristic). Anda mau tiru?

Nah, sekarang giliran saya ingin bertanya pada pembaca budiman. Pada Pemilu 2019 yang lalu banyak rakyat Sumatera Barat yang lebih setia pada Prabowo dan kurang setia dengan Jokowi. Metro TV sibuk mendukung Jokowi dan jelas kurang disenangi rakyat Sumbar, sementara dua tokoh politik ternama Andre Rosiade dan Fadli Zon ‘naik daun’ bagi masyarakatnya, harum namanya karena memboyong nama Prabowo. Eee ..keadaan politik berobah total pada Pemilu 2024 ini, Prabowo sangat sangat kurang disenangi akibat ulahnya pernah ‘minggat’ ke kubu Jokowi pasca kalah Pilpres 2019 dan membiarkan rakyat Sumbar tak dihiraukan lagi, maka mereka mengganti pilihannya pada Anies Baswedan bahkan Jokowi sangat dibenci akibat ulah kebijakan politiknya di akhir masa jabatannya. Saya lihat di kota Padang tiga gambar tokoh (Prabowo, Andre Rosiade dan Fadli Zon) seakan menghilang dari tengah masyarakat. Anehnya Metro TV dan Surya Paloh, yang dulu dukung Jokowi, sekarang meraih simpati kembali di kalangan rakyat khususnya Sumbar. Pertanyaannya, ini jenis berpikir positif atau bukan? Teologis jelas bukan, apalagi magis? Seandainya menang Pilpres, akankah Anies dan Muhaimin akan tetap disenangi mereka hingga akhir masa jabatannya? Entahlah…bulan Ramadhan menunggu.

Di penghujung tulisan ini, izinkan saya ingin menyapa para guru besar yang setia membaca tulisan ini. Bila seperti contoh2 di atas gambaran cara berpikir umat, kira2 bagaimana solusinya? Apakah perlu lebih menyadarkan diferensiasi konsepsional Fazlur Rahman antara Normative Islam dan Historical Islam di dunia akademik dan dakwah? Beberapa segi pemilahan berpikir positif dan teologis nampaknya telah ditemui dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, misalnya tentang Fikih Kebencanaan. Dikatakan bahwa tidak semua bencana dipahami sebagai ‘murka’ Allah pada hambanya, boleh jadi sebagai ‘kasih sayang’. Contoh ayat al-Qur’an al-An’am 54 dan an-Nahl 30, ‘bencana’ ditafsirkan sebagai ‘kebaikan Allah’. Sebab yang menjadi persoalan bagi manusia dalam bencana sebagaimana termuat dalam HPT, bukan bencana itu an sich, tetapi bagaimana cara menyikapi bencana tersebut (HPT 3 hal. 261). Kata ‘cara’ mengimplikasikan ontological understanding (Verstehen), dan Verstehen itu bersifat individual kata Gadamer.

Maka bencana dipahami bukan lagi sebagai amarah Tuhan tetapi kini sebagai media introspeksi diri (lagi lagi penekanannya individual). Sebab ada bencana longsor akibat ulah manusia menggunduli hutan. Nah cara berpikir positif-teologis seperti ini, saya kira, akan berdampak jauh bagi ketangguhan individualitas…mendorong semangat anti-pasrah, ini dapat dinilai sebagai sumbangan kultural organisasi ini pada negara. Sebab pengalaman kesabaran bukanlah pengalaman berjamaah, tetapi pengalaman individual..ini yang disasar oleh Putusan Tarjih dengan membelokkkan penafsiran klasik (Sulthat al-Salaf) yang selama ini bertumpu pada kesadaran kolektif, kini ditekankan kepada kesadaran individual. Memang terasa sekali spirit Post-Modernisme yang bertumpu pada kesadaran subjek. Ajarannya masih dalam kerangka teologis tetapi kandungan Verstehennya mengarah pada ‘positive thinking’. Bagaimana penjelasannya lebih lanjut para guru besarku?

Sekian dulu pembaca budiman, terimakasih atas kesediaannya membaca tulisan saya ini. Mohon maaf, mohon pamit. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share