BERBEDA DENGAN NABI…KOK BISA?


Oleh: Amhar Rasyid
Jum’at 10 May 2024

Assalamu’alikumwr,wb Yth Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhs2ku dan segenap pembaca budiman yg Muslim dan non-Muslim di mana saja berada. Jum’at kemaren kita diskusikan ‘Bersama’, Jumat ini kita diskusikan pula ‘Berbeda’ dengan Nabi…KOK BISA? Coba pikir: Seandainya kita sedang solat berjama’ah dengan Nabi, dia jadi imam, kita jadi makmum: Dia MEMBELAKANGI kita dan posisi kita dg Nabi sama2 menghadap kiblat. Benarkan? Namun bila dia naik mimbar, berkhotbah, Nabi MENGHADAP kita, posisi kita dengan Nabi BERLAWANAN. Nabi bilang yg ke depan itu menunjuk ke arah kita, tetapi kita bilang, yg ke depan itu menunjuk ke arah dia. Masak kita berbantahan dengan Nabi? Betul kan? Jadi ‘posisi’ berada mempengaruhi cara pandang masing2. Lantas apa yang jadi masalah pak Amhar?

Masalahnya begini. Hadis2 Nabi, sepeninggal Nabi, lama diingat, dihafal, dikenang oleh para Sahabat, lebih seratus tahun, belum dituliskan. Sementara Hadis itu penyebab awalnya adalah situasi di lapangan, misalnya Hadis yang menyuruh semua perempuan keluar rumah di hari raya, karena memang saat Nabi menyuruh keluar tersebut memang ada hari raya. Maka dahulu Hadis itu muncul dari banyak posisi Nabi yang berbeda-beda. Posisi di lapangan, di Mekah, di Medinah, di Badr, di Uhud, saat di mesjid, saat melayat orang meninggal, saat didatangi tamu ke rumahnya, saat berkumpul bersama sahabat. Maka wajar tidak semua posisi Nabi persis sama dengan posisi kita di Indonesia. Karena posisi kita dan Nabi mempengaruhi cara pandang masing2, maka eloklah kita bedakan urusan aqidah (iman),ibadah (solat, puasa, haji) dan muamalat (persoalan hidup keseharian). Pada urusan aqidah dan ibadah wajib kita mirip pada posisi solat: sama2 searah menghadap kiblat dg Nabi. Tetapi pada persoalan mu’amalat wajar kita BERBEDA dengan Nabi, karena mirip posisi Nabi ibarat sedang berkhotbah: kita saling berhadapan dengan Nabi. Rasanya Nabi yang sangat cerdas itu tak akan membantah argumen ini, entah kalau ada umatnya yang ‘buta’.

Apa intinya? Bila Hadis menyuruh kita beriman (urusan aqidah), maka kita wajib beriman seperti Nabi. Bila dia menyuruh kita solat (urusan ibadah), maka kita wajib juga solat seperti yg dicontohkannya. Tetapi bila Nabi menyuruh kita punya banyak anak (urusan keseharian), maka kita PIKIR2 dulu: Nabi di Arab, kita di Indonesia. Umatnya dulu sepi, sekarang padat. Elok kita KB. Sebab kita sedang berbeda posisi dengan Nabi, sebab dia ibarat sedang posisi berkhotbah, bukan pada posisi jadi imam. Rasanya anda akan setuju, iya kan? Sebab anda memang bukan ‘orang buta’. Apakah sampai disini bisa disetujui?

Lantas gimana selanjutnya pak Amhar? Selanjutnya bila kita baca Hadis yg terkait mu’amalat, tak apalah rasanya kita tafsir ulang, kita kaji ulang, kita pikir2 dulu. Sebab tulisan (matan hadis) memang benar asal mulanya dari kenyataan di lapangan. Bila Nabi melarang wanita menjadi pemimpin, itu matan Hadis, ya…eloklah kini kita beri wanita kesempatan jadi pemimpin. Sebab wanita2 juga semula tak menyangka, dan tak memilih dari ‘rahim’ perut ibunya mau jadi wanita. Tuhan punya kuasa. Sesampai di dunia nyata, ada saja orang yang melarang wanita jadi pemimpin, pada hal posisi Nabi dengan kita mirip posisi sedang berkhotbah (hadap2an). Maksudnya sama, adil, sama berpeluang, tetapi saat Nabi melarang wanita dahulu, memang situasinya jauh berbeda dengan situasi kita sekarang. Maka tertulislah dalam Hadis.

Coba pikir problemanya situasi sekarang: bila kita terus beranak banyak, tak mau KB, maka jumlah penduduk semakin membludak, akibatnya lapangan kerja untuk anak2 kita susah, rupiah melemah, mau naik haji menunggu antri lama. Eloklah kita punya sedikit anak, bisa diberi makanan lebih bergizi, sekolah lebih tinggi, lapangan kerja bisa banyak, naik haji tak menunggu antri lama2. Jadi posisi kita dengan Nabi mirip posisi saling berhadapan. Tapi pak Amhar, kan ada Hadis mengatakan: ‘Aku akan gembira di akhirat kelak bila umatku banyak’. Iya saya juga setuju kalau kita dan Nabi sama2 di akhirat nanti, tetapi sekarang kan masih di dunia? Berbeda posisi dong. Dan Nabi dalam Hadis itu sudah bilang gembiranya saat ‘di akhirat’, bukan saat Nabi ‘di dunia’. Cobalah pahami Hadis itu lama2!

Sebetulnya bagaimana awal mulanya timbul Hadis? Hadis (masalah muamalat) itu awal mulanya ‘situasi di lapangan’. Apa yg nampak di kenyataan sehari hari oleh Nabi diucapkannya, dan memang wajar begitu. Lantas kemudian ucapannya tersebut diingat lama2, dihafal, ditulis, direkam, dibukukan, dipatenkan oleh Imam Bukhari-Muslim, sehingga tulisan Hadis itu menjadi baku, tetap tak berobah, sementara keadaan di lapangan terus berobah. Perlu diketahui, Imam Bukhari itu bukan orang Arab, tetapi orang selatan Rusia, dan dia tak pernah jumpa dengan Rasul, tetapi cerdas otaknya, jauh berpikir ke masa depan, maka dikumpulkannya memory dan kenangan orang2 lain yang pernah hidup bersama Nabi.

Ya zaman kita jauh sekali berbeda dengan zaman Nabi. Di zaman Nabi, Arab tak punya minyak, kini Arab kaya minyak. Maka bila dulu Nabi naik onta, kita sekarang naik honda. Bila Nabi menyuruh banyak anak, kita sedikit anak. Bila Nabi melarang wanita jadi pemimpin, kita angkat Megawati jadi presiden. Bila lantai Mesjid Nabi masih terbuat dari tanah, mesjid kita ya pakai marmar. Bila Nabi tidur dengan isterinya ditiup angin padang pasir malam ke dalam rumahnya, kita ya pakai kasur empuk dan ac. Bila Nabi gosok gigi dengan siwak (urat kayu), kita pakai odol. Bila Nabi beristeri sembilan, ya kita ………pilih 9 jenis odol milik isteri saja. Perbedaan itu semua karena kita dan Nabi berbeda posisi…jauh berbeda zaman mendekati 1500 tahun. Sebetulnya kita, pada prinsipnya, kita sepakat, sehaluan, sependapat dengan Nabi, cuma berbeda zaman hidup. Saya sudah bilang, posisi Nabi bila sedang solat, jadi imam, pasti berbeda dengan posisi Nabi sedang berkhotbah. Saya yakin Nabi tak akan memaksa kita sepakat, harus mengatakan sama2 satu arah pada dua saat posisi berlawanan semacam itu. Itu contoh situasi di lapangan, ya logis kalau berbeda.

Saya sebenarnya di sini ingin membantu Prof. Amin Abdullah (mantan Rektor UIN Yogya) katanya masalah ‘kebenaran sepihak’ (truth-claim) masih juga merupakan masalah rumit di tengah umat di Indonesia. Tatkla membaca Hadis muamalat, masih banyak umat yg menyangka pada posisi yang sama dengan Nabi, diyakini wajib sama pada semua hal. Kenapa orang berpaham demikian? Penyebabnya, menurut saya, karena defenisi Hadis yg diajarkan di sekolah berbunyi ‘Hadis ialah semua apa2 yang dikatakan, dikerjakan dan didiamkan oleh Nabi’, sementara Nabi jadi panutan umat…akhirnya dijadikan panutan semuanya, diborong semuanya, tanpa disadari posisi saling berbeda. Maka pikirkanlah ke depan dengan lapang dada, dengan hati sanubari yang cerah, dari hati ke hati, dengan adil, jangan fanatik buta, jangan pokok ee..pokok eee..itu namanya truth-claim (bermata sebelah).

Sekian dulu pembaca yang ‘cerah hati, cerah pikiran’. Tafakkaru ya ulil abshar. Maaf bila saya salah bicara. Hanya ketulusan hati kita utamakan. ELOK BASAMO menghadapi dunia nyata, dari pada berdebat tentang matan Hadis dari dulu kala. Terimakasih, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share