ARCA2 AKAL dan SUMONGGO DAWUHISME

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibu2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Francis Bacon (1561-1626), filosuf Inggeris klasik, menyebut ada 4 Arca Akal (Idols of Mind) dari mana biasanya muncul kesalahan2 kita dalam berpikir/tanpa pikir panjang. Arca di sini bukan berarti sesembahan. Kebenaran Arca2 dicetuskan oleh orang2 terdahulu, diwariskan, dijaga terus dari generasi ke generasi, dan sekarang dipercayai tanpa reserve. Berpikir ala Arca2 adalah berpikir yang menyesatkan menurut Bacon.

Ada 4 Arca bila dilihat kaitannya dalam alam modern: 1. Arca Pasar yaitu bila kita percaya saja pada apa yang kita dengar/baca setiap hari, seperti isi WA, isi Facebook/isi TikTok/TV/Iklan/buku/majalah/koran/tabloid/Google/SMS. Misalnya, orang berbondong2 ambil kredit mobil baru, kita ikut pula. Orang percaya dengan Flexing: Crazy Rich lantas kita percaya pula. 2. Arca Suku: yaitu bila kita langsung menerima saja kebenaran2 selama ia menguntungkan pihak kelompok kita (asal demi suku, partai, bangsa) Misalnya Bobotoh yang sangat fanatik dengan grup sepak bolanya. 3. Arca Gua: yaitu bila kita cenderung menekankan pandangan2 kita yang terbatas, kita adalah pusat dunia yang memaksa orang lain untuk setuju, misalnya diktator Korea Utara: Kim Jong-un, dan 4. Arca Panggung yaitu bila kita membenarkan saja apa yang dikatakan oleh partai kita, oleh bos, oleh organisasi keagamaan, oleh jema’ah pengajian karena yakin ia bersumber dari pengetahuan ustaz/kiyai/tuo tengganai/datuk/mbah/pemuka masyarakat. Ganyang Malaysia! di zaman Bung Karno adalah contoh Arca Panggung, tetapi ia tak pernah diganyang tuh.Sementara istilah Jawa Sumonggo Dawuhisme artinya menurut Google ialah ketaatan tanpa reserve kepada seseorang atau kepada apapun. PNS yang suka ‘menerima saja’ apa kata pimpinan (ABS) adalah salah satu contohnya. Dalam keempat Arca2 itulah biasanya kebenaran kita peroleh. Bila ditanya orang: Dari mana kamu tahu?” Ya, dari TikTok, dari Datuk/Mbah/kiyai, dari partai, ikut NU (taqlid), ikut Muhammadiyah (ittiba’), atau dari keyakinan diri sendiri. Ini cara2 berpikir yang perlu dipertanyakan kata Bacon. ( Dikutip dan dikomentari dari buku Titus, dkk, Persoalan2 Filsafat, Terj. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, p. 191).

Bila demikian, bagaimana contoh yang tidak menyesatkan? Bagi Bacon, Arca2 seperti yang dijelaskan di atas harus dibersihkan dari dalam pikiran kita terlebih dahulu. Setelah ia bersih, maka kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan secara induktif. Induktif artinya dimulai dari kepingan kebenaran kecil2 kemudian ditarik kesimpulan kecil2 tersebut kepada kebenaran yang lebih umum, yang lebih luas. Maka disini nampak cara berpikir Bacon yang empiric (berdasarkan pengalaman).

Lantas apa masalahnya dalam kehidupan beragama kita? Bila dibawa pikiran Bacon semacam itu kepada management pembagian zakat, misalnya, maka tinggalkan dulu penafsiran2 klasik tentang konsep Asnaf yang 8 dalam Surah at-Tawbah 60 tersebut, lalu cari kebenaran di lapangan, tanyai siapa2 sebenarnya orang2 yang memang senyatanya memerlukan bantuan zakat. Sebab Asnaf yang 8 itu di zaman turunnya wahyu adalah tergolong orang2 yang betul2 berhak (mustahaq) sebagai penerima zakat. Lalu kemudian kondisi masyarakat terus berobah, yang mustahaq boleh jadi bergeser menjadi kurang mustahaq, misalnya konsep Orang yang Berhutang (al-gharimin) maka sekarang perlu diidentifikasi terlebih dahulu siapa2 sebenarnya yang mustahaq (misalnya anak Yatim Piatu, Anak Jalanan, Kaum Tertindas (mustadh’afin), manusia akar, bayi kembar siam, korban gunung meletus, korban tsunami, korban Pinjol (Pinjaman Online). Setelah diidentifikasi orang2 semacam itu, yang memang benar2 tergolong orang yang membutuhkan bantuan dana zakat, baru ia didistribusikan kepada orang2 tersebut sehingga penanganannya tepat sasaran. Ini mengingatkaan kita pada pemikiran alm. Prof. Dawam Rahardjo (1942-2018) (Ekonom Indonesia dan Mantan Ketua ICMI). Prof. Amin Abdullah memuji cara berpikir induktif Dawam, tetapi pemikirannya sulit diterima di lingkungan kaum Muslimin dengan alasan Dawam bukanlah seorang ahli tafsir. Dengan kata lain, kebenaran bagi sebagian kaum Muslimin masih berpedoman pada Arca Gua: menekankan pendapat kita sendiri yang sebenarnya berdasarkan wawasan yang terbatas.

Dimana perbedaan kebenaran logika dan kebenaran agama? Beragama pada hakekatnya didasarkan atas keyakinan yang mendalam kepada yang ghaib. Sementara ‘kebenaran’ didasarkan atas kebenaran logika (akal sehat) dan pengalaman (empiric). Jadi kebenaran iman dan kebenaran pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Rukun Iman adalah dasar ‘aqidah (credo) yang tak boleh goyang/ragu/tak perlu dipikirkan benar atau salahnya. Terima saja! Sementara2 ceramah ustaz tentang Covid 19, umpamanya, adalah pengetahuan yang perlu diteliti lebih lanjut, jangan asal diterima saja. Demikian pula tentang penentuan awal puasa Ramadhan oleh NU dan oleh Muhammadiyah, ini boleh dipertanyakan kebenarannya secara ilmiah, tidak mesti diterima saja, sementara mayoritas umat Islam Indonesia dalam hal ini nampaknya tiap tahun memperoleh kebenaran dengan Arca Panggung. Bila ditanya orang: Kapan mulai puasa? Dijawab: ‘Ah ikut Pemerintah saja’, kebetulan Menteri Agama sebagai Pemerintah berasal dari NU. (Ini Arca Panggung menurut Bacon). Anda pada posisi Arca yang mana? Kapan mau mandiri dari Arca2?

Di zaman turunnya wahyu, Arca Suku dan Arca Panggung bahu membahu menghalangi penampakan kebenaran Qur’ani: kebanaran ‘aqidah dan pengetahuan. Qabilah2 terkait erat dengan nama Latta Uzza misalnya. Abu Sofyan bin Harb menguasai ‘kebenaran’ seantero kota Mekah. Maka Nurcholish Majid menyebut bahwa Islam yang datang ke Arabia pada abad ke 7 Masehi terlampau tinggi/terlalu maju untuk masyarakat Arab waktu itu. Artinya ajaran2nya terlalu maju untuk cara2 berpikir masyarakat Arab di zaman Nabi. Umat masih sangat menganut kebenaran atas dasar Arca Suku. Nabi juga mengatakan kondisi sosialnya: Inna Ummati ummiyatun (Sesungguhnya umatku dalah umat yang rendah pengetahuan dan cara berpikirnya). Pasca Nabi, dalam berbagai kitab tafsir klasik dikatakan bahwa pengetahuan tentang roh tidak boleh dipelajari sebab ia dikatakan ‘min amri Rabbik’ (urusan Tuhanmu): jangan ikut campur dan umat patuh mengikuti Arca Panggung tersebut. Padahal menurut beberapa pemikir keislaman, roh itu sesuatu yang patut untuk dipelajari, asalkan jangan menyelidiki zat Tuhan. Memang pernah muncul zaman pencarian kebenaran ilmiah sesudah zaman Nabi, tetapi lenyap karena kuatnya Arca Panggung, mungkin karena doktrinnya Imam al-Ghazali. Inilah masalahnya.

Setelah berlalu 1500 tahun sepeninggal Nabi, sekarang umat masih bertahan pada kebenaran Arca Pasar via teks. Maka sekarang ia perlu pembaharuan pemahaman agar kebenaran atas dasar Arca Pasar semacam itu semakin menyusut. Contoh lain, kemenangan Prabowo di Lampung dan kemenangan Anies di Sumatera Barat menurut pengamatan penulis adalah akibat melihat kebenaran dengan Arca Pasar oleh penduduk setempat. Mereka cenderung memandang adanya kebenaran pada suara bersama: kebenaran untuk memilih seorang tokoh politik. Demikin beberapa contoh cara berpikir yang menyesatkan bila dilihat dari pandangan Bacon.

Apa contoh lain yang anti Arca Suku? Bacaan takbir pada waktu Iedul Fitri/Adha sebenarnya penuh dengan membangkitkan semangat pembaharuan anti Arca Suku dan anti Arca Gua. Coba lihat bacaan..Walau kariha l-Musyrikun, walau kariha al-Kafirun, walau kariha al-Munafiqun: kata2 ‘Walau kariha’ artinya walau tidak suka/benci. Nabi sengaja mengumandangkan kalimat2 tersebut di Hari Raya, di tengah2 orang musyrik, orang kafir, orang2 munafik. Artinya, kalimat2 tersebut bagaikan manifesto kebenaran transendental kontra kebenaran Arca Suku. Nah sekarang kalimat2 tersebut bisa pula kita perluas penafsirannya untuk bela Palestina: Walau kariha Israel. Walau kariha Zionis. Walau kariha Amerika, 3 x kata2 ‘Walau kariha’, namun perjuangan kita tetap berlanjut. Jadi bacaan ‘walau kariha’ artinya ialah menolak cara melihat kebenaran yang telah disesatkan oleh Arca Suku (Zionisme Yahudi). Begitulah ajakan anti Arca Suku/Qabilah dan Arca Gua oleh Nabi bila ditafsirkan kepada dinamika politik internasional!

Bahkan lebih jauh lagi, Fikih Islam dalam kitab kuning sebenarnya masih penuh bermuatan fikih agraris (pertanian) kata Ustaz Prof. Alyasa’ (ulama Aceh). Tidak ada di dalamnya mengatur zakat profesi (dokter, importir, pengacara, profesor, developer, artis, dll). Bila kita menerima saja isi kitab kuning yang berisi fikih Islami hasil pendapat Imam2 mazhab masa lalu maka kita terperosok kepada Arca Panggung. Para ahli menganjurkan perlu diadakannya penafsiran ulang (reinterpretasi) atas isi kitab2 kuning. Misalnya di dalam kitab kuning masih diatur agar jual beli dilakukan dengan ‘ yadan bi yadin’ (COD) Cash on Delivery antar subjek penjual dan subjek pembeli (harus ada orangnya). Di zaman sekarang, isi ajaran kitab kuning semcam itu sudah ditantang oleh kemajuan teknologi dengan adanya transaksi jual beli Online (tanpa hadir badan manusia), transaksi minuman/makanan via mesin (vending Machine), atau transaksi via ATM atau transfer via HP. Jadi, kebenaran dalam isi kitab kuning (khusus dalam urusan mu’amalat dan pengetahuan) sebenarnya mencerminkan cara berpikir orang2 (Imam Mazhab) di zaman lampau. Sementara kita tak rela hidup dengan cara berpikir masa lampau, maka sekarang kita melihat di dalam kitab kuning tersebut ada Arca Panggung. Ini pola pikir yang perlu dipikir ulang bila ia tetap akan dipraktekkan sebagai kebenaran empirik di lapangan sekarang ini.

Contoh lain lagi, di beberapa mesjid dan langgar di kampung2 masih ditemui kebiasaan mu’azzin (tukang azan) yang memperingatkan jamaah agar jangan berkata-kata lagi di saat khatib telah naik mimbar untuk berkhotbah Jum’at/Hari Raya, pada hal orang yang menasehati itu sendiri sedang melakukannya. Itu adalah cara berpikir masyarakat pedesaan (Arca Panggung) yang dibiasakan dari tradisi mesjid2 dan langgar2 di banyak tempat. Ternyata di Mekah, Medinah, Mesjid Istiqlal di Jakarta tidak terlihat cara2 memberi peringatan kepada jamaah seperti itu. Ini perlu diperbarui. Kita harus mempertanyakan sikap dan tradisi keagamaan kita yang mewarisi Arca Panggung, bukan mempertanyakan keyakinan ‘aqidah Islamiyah itu sendiri, sebab kita sudah hidup di zaman serba modern di mana masyarakat Muslim sudah banyak yang berpikiran serba praktis, cepat, tepat, dan efisien. Bila mereka yang dinasehati tersebut tak paham isi nasehat dalam bahasa Arab (anshituuuu), apalah artinya nasehat kita bila tidak bisa dipahami oleh hadirin bahkan oleh anak2 muda, sementara khotbah disampaikan dalam bahasa Indonesia agar dimengerti. Yakinlah, tidak semua yang kita praktekkan dalam beribadah sekarang berasal dari Nabi. Apakah anda yakin solat tarawih 20 rakaat serba cepat, serba kilat, baca al-Fatihah cuma dengan satu tarikan nafas, apakah pernah pula dilakukan oleh Nabi? Rasanya tidak. Di Masjidil Haram solat tarawih ternyata lama sekali, tidak pernah express. Tarawih 20 serba ekspress susah diikuti oleh makmum yang sudah tua2. Pernah solat tarawih 20 berobah mendadak menjadi solat 8 rakaat di saat Harmoko (mantan Menteri Penerangan Orde Baru) datang ke Mesjid al-Falah Jambi. Kenapa berobah? Nampak sekali pemahaman keagamaannya berdasarkan Arca Panggung. Sudah saatnya kebenaran atas dasar Arca Panggung semacam itu kita kurangi, sebab dakwah agama bukan hanya membawa umat kepada kebenaran ukhrawi (nanti) tetapi juga kebenaran duniawi (sekarang). Nah, kebenaran duniawi menghendaki pikiran yang mandiri, tanggung jawab pribadi2, merdeka berpikir, terbebas dari Arca Panggung yang menyesatkan.

Kesimpulan: Jadi dalam memahami kebenaran sehari-hari kita masih banyak terperangkap oleh Arca2. Sebaiknya kebenaran (lapangan) selalu berdasarkan wawasan logika dan pengetahuan yang ilmiah. Apakah salah mengambil kebenaran dari Arca2 dalam kategori Francis Bacon? Tentu saja tidak salah, hanya saja tidak ilmiah. Kurang berkualitas. Cara berpikir semacam itu masih pada level rendah (low tradition): ikut kepala suku, ikut leluhur, ikut apa kata bos (Sumonggo Dawuhisme). Lantas bagaimana sikap yang ilmiah? Menurut hemat penulis, kebenaran ilmiah di sini maksudnya, bukan harus berdasarkan hasil pengujian laboratorium (scientific investigation), tetapi hasil dari proses berpikir kritis, berwawasan temuan pengetahuan yang telah teruji, berpikir yang mempertanyakan fondasi kebenaran rational/empirik yang telah diterima. Selalu mempertanyakan dalam hati: Bagaimana proses semulanya aku tahu? Sekali lagi tanyai diri sendiri: atas dasar apa aku tahu? Apa jaminannya bahwa kebenaran yang aku tahu sudah mengikuti alur2 epistemologis? Yang aku ketahui ini apakah sudah berdasarkan pengetahuan ilmiah atau berdasarkan apa kata Arca2? Nah, bila sudah begini sikap masyarakat Indonesia, penulis yakin negara kita akan cepat maju. Money Politics dan Serangan Fajar akan berangsur habis terutama di pedesaan. NU dan Muhammadiyah akan banyak punya warga yang mandiri dalam bersikap, akibatnya kehidupan beragama semakin ‘mencerahkan’, sebab kebenaran atas dasar Arca2 semakin dipertanyakan. Berpikirlah sebelum mewariskan kebenaran Arca2 kepada anak2 dan cucu2 kita!

Demikian dulu pembca budiman. Termakasih sudah membaca. Komentar dan kritik ditunggu ya. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share