ALETHEIA (ἁΔ֗ηθεια)

Oleh: Amhar Rasyid

Usai kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail kita dengarkan dari berbagai khutbah dan ceramah agama, dan kemudian kita ikuti dengan berqurban hewan, sekarang kita beralih kepada diskusi tentang suatu konsep penting dalam filsafat yang berjudul Aletheia. Aletheia bukan nama cewek cantik tetapi dalam bahasa Yunani kuno berarti ‘tidak tersembunyi’ atau ‘pengungkapan (disclosure)’, ‘keadaan sebenarnya’, atau ‘kenyataan’. Aletheia di sini kita artikan sebagai ‘penyingkapan’ dari sesuatu keadaan yang sebelumnya yang ‘terselubung’, yang ‘terselimuti’ yang ‘tidak begitu jelas’ mungkin agak lebih mendekati konsep ‘tanwir’ dalam Muhammadiyah. Jadi Aletheia itu adalah proses, peristiwa yang berjalan terus tak kenal stop. Aletheia, menurut saya, mirip dengan proses penyingkapan bulan purnama, semakin larut malam, semakin terang bulan purnama, semakin bundar bentuknya. Itulah Aletheia. Ia memang bukan nama gadis cantik tetapi kecantikan gadis bisa lebih terlihat jelas, dan bahkan semakin terlihat inner and outer beautynya dengan Aletheia.

Masalahnya timbul kemudian tatkala Aletheia tersebut dikaitkan dengan metode pembacaan teks. Bila anda membaca buku, novel, cerpen, hikayat, tambo, bahkan Kitab Suci, biasanya kita tidak membaca dengan proses Aletheia. Kita cenderung menafsir kata demi kata, kalimat demi kalimat, surah demi surah, biasanya mengikuti kaedah bahasa, nahwu Sharaf, balaghah, dan akhirnya kita ambil kesimpulan dari penafsiran tersebut. Jelas hal seperti itu tidak memberi ruang bagi terjadinya proses Aletheia. Lalu bagaimana caranya? Yang lebih penting untuk dipertanyakan ialah apakah uraian saya tentang Aletheia sudah benar secara filosofis menurut Heidegger?

Berikut ini kita bahas sejarah awal Aletheia, tokoh pencetusnya, dan apa2 contoh konkrit dalam kehidupan keseharian kita yang akan elok bila disingkap dengan Aletheia. Tujuan saya di sini ialah untuk memberikan ‘cermin pembanding’ dari metode pembacaan konvensional kita yang bersifat menafsir, menundukkan teks menurut kemauan/pemikiran/pertimbangan plus nurani kita. Bila teks ditundukkan dengan cara seperti itu, maka teks tak akan mampu ‘membisikkan’ pesan masa lampau yang ingin disampaikannya kepada kita, sebab teks sudah dipaksa menuruti tafsir kita hari ini. Maka di sini saya akan menjelaskan dengan segala kerendahan hati bagaimana sebetulnya keunikan proses Aletheia.

Awal mulanya konsep Aletheia dikatakan muncul di masa pra-Socrates yaitu di zaman Parmenides. Bagi Parmenides, Aletheia dilukiskan sebagai ‘bola sempurna’. Lihat buku F. Budi Hardiman Kebenaran dan Para Kritikusnya, (Yogyakarta: Kanisius, 2023), p. 101.

Filosuf yang menghidupkan kembali konsep Aletheia di zaman modern ialah Martin Heidegger. Ternyata bagi Heidegger arti ‘Aletheia’ itu berbeda dari penyingkapan kebenaran pada dunia sains. Di dunia sains, misalnya contoh yang saya ambil ialah kebenaran dalam penelitian hama padi, bila disimak Heidegger, penyingkapan kebenaran di situ adalah berkat adanya peran sesuatu yang telah ada dalam kepala sang ilmuwan. Sayangnya, Aletheia semacam itu menjangkit ke berbagai bidang, termasuk bidang kajian keislaman …menurut saya. Buktinya, apa yang diyakini benar oleh Fikih NU belum tentu diterima benar oleh Fikih Muhammadiyah. Artinya, bukan Hukum Islam itu sendiri sebagai Being yang menyingkapkan dirinya, tetapi ada unsur tertentu yang berperan dalam kepala ulama2 fikih kita. Ini bila kita menyimak Heidegger.

Berikut ini saya akan memberikan contoh2 Aletheia, tetapi setelah saya pahami lama2 buku Budi Hardiman ternyata Aletheia bagi Heidegger tidak seperti contoh2 saya berikut. Saya rupanya keliru. Contoh I, II, III, di bawah ini, sejauh yang saya pahami Heidegger, bagi saya adalah Subjek yang menyingkapkan Kebenaran, bukan Being (Ada) itu sendiri yang menyingkapkan dirinya. Maksudnya? Contohnya? Bila Roy Suryo menyingkapkan kebenaran bahwa ijazah Jokowi itu palsu, maka kebenaran yang nampak tersingkap oleh Roy, bukan karena Being ijazah yang menyingkapkan dirinya, tetapi karena peran Presupposisional pra-cognitif yang lengket dalam kepala Roy Suryo tersebut. Seharusnya, menurut Heidegger, ya kebenaran adanya kekeliruan itu sendiri yang menyingkapkan dirinya sebagai Ada. Di sini nampak titik temu kesamaan pandangan Heidegger dan Thomas Kuhn dalam penyingkapan kebenaran kata F. Budi Hardiman, hanya saja Kuhn di bidang epistemologis, sementara Heidegger di bidang ontologis (Budi Hardiman, Kebenaran..), p. 108. Meskipun keliru di mata Heidegger, saya dengan ‘legowo’ mengakui kehebatan filosuf tersebut, tetapi untuk memperkenalkan konsep Aletheia kepada adik2 kawula muda dan para mahasiswa maka akan terasa sulit sekali dengan memakai konsep Being ala Heidegger. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, terimalah uraian saya ini lebih dulu untuk melangkah ke arah berpikir filosofis yang lebih rumit. Selamat membaca uraian saya yang KELIRU.

Contoh I. pernahkah anda menemukan sebuah benda aneh dalam lumpur? Umpamanya sebuah kotak kayu yang penuh lumpur terkubur sejak puluhan tahun. Mula2 anda ragu, benda apa ini? Anda usap sedikit demi sedikit, lalu semakin terlihat bentuk kotaknya, terus diusap maka akan semakin terlihat pintu bagian atasnya, lalu diusap lagi, semakin terlihat sisi segi empatnya, lalu diangkat ke atas tanah..eh..rupanya jelas kotak kayu berbentuk peti….itu contoh sederhana proses Aletheia menurut Amhar.

Contoh II. Anda, adik2 cewek, tentu sering bersolek, berhias, bermake up di depan cermin. Pertama tampil di depan cermin wajah anda masih kacau usai mandi, rambut kusut, baju belum dipasang: pokoknya jelek, berantakan. Lalu anda keringkan badan dan rambut, kemudian mengenakan baju yang cantik, setelah itu bersisir, berbedak, lipstick, parfum dan memakai jilbab yang cantik, memakai sepatu cantik…setelah lengkap semuanya lalu anda tersenyum sendiri di depan cermin sambil menatap diri…putar kiri-putar kanan…senyum sendiri..rapikan lagi apa2 yang kurang pas….ini namanya proses Aletheia..proses menyingkapkan ‘kebenaran’ pada bidang penampilan/kecantikan. Semakin tersingkap penampilan yang ‘cantik’, semakin banyak orang akan ‘angkat jempol’ atas kecantikan penampilan anda. Namun bila tidak banyak yang angkat jempol, kurang dilirik, itu artinya kurang cantik, kurang bisa menyingkapkan ‘kebenaran’ (kebenaran cantik). Proses Aletheianya kurang maksimal. Lagi2 contoh Aletheia ini salah menurut Heidegger.

Contoh III. Bagaimana bila Aletheia tersebut kita kaitkan dengan sikap/penampilan/kepribadian kita se hari? Bila anda berkata, atau menulis karangan, ucapkanlah kata2 atau tulisan yang mana tatkala didengar/dibaca oleh orang lain, kata2 yang anda ucapkan akan menyebabkan orang lain yang mendengarnya akan ‘angkat jempol’ dari hati…

*Silakan Share