ALBERT HOURANI: ARABIC THOUGHTIN THE LIBERAL AGE 1798-1939

Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 26 Sept 2025

Assalamu’alaikum wr,wb Bapak2/Ibuk2/Adik2 kawula muda dan Gen Z baik Muslim maupun non-Muslim yang terhormat.

Filosuf Perancis Michelle Foucault pernah mengatakan bahwa sejarah itu memiliki banyak aspek: hal yang harus disadari dalam historiografi, salah satunya adalah aspek tentang pemikiran manusia sebagaimana judul di atas. Arabic Thought in the Liberal Age adalah buku BAGUS, mungkin anda juga punya, buku yang pernah saya baca di tahun 1990an, yang ditulis oleh seorang sarjana Inggeris terkenal asal Libanon bernama Albert Hourani, TERBITAN London: Cambridge University Press, 1983. Buku tersebut antara lain menceritakan bagaimana pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dari Mesir berkembang mempengaruhi pemikiran para intelektual Arab DI Timur Tengah pada awal abad ke 20 yang disebutnya sebagai Zaman Liberal. Di dalamnya terdapat nama2 besar seperti Rasyid Ridha, Thaha Husein, Qasim Amin, Farid Wajdi, Thalal al-Fasi,dan lainnya. Karena pembahasan buku tersebut sangat luas, maka akan saya bagi kepada dua tahap: Jumat ini saya batasi untuk membicarakan ide2 Abduh saja, dan Jum’at depan Insyaallah akan saya bahas dampak pemikiran Abduh pada generasi sezamannya.

Metode penulisan buku Hourani ini bagus, ia sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa selain Arab, dan bagi saya ia adalah buku pertama dalam bahasa Inggeris yang saya baca sampai tamat hingga lecet kertasnya dengan pertolongan membuka kamus Inggeris-Indonesia karangan Hassan Shadili. Kenapa sampai lecet? Ya di masa itu minat baca saya baru tumbuh, kosa kata Inggeris masih terbatas khususnya terkait buku2 akademik, apalagi gaya bahasa pengarang yang sulit untuk dicerna, tetapi saya tak menyerah hingga tamat membacanya. Mahasiswa S2 da S3 Pemikiran Islam harus baca buku ini, buku bagus dan inspiratif. Memang benar kata Prof. Bambang Sugiharto, semakin kita membaca sebuah buku semakin ditariknya kita ke ‘kedalaman’ isi buku tersebut. Semakin menyelam kita ke bawah air, semakin banyak pemandangan indah yang tak cukup dilihat dari permukaan air saja. Cakrawala berpikir kita diasah oleh bacaan kita.

Tulisan berikut selama dua Jumat ber turut2 akan mencoba menjelaskan kembali isi buku tersebut, metode pengarangnya, cara merangkai ide, cara menjelaskan perkembangan serta dampak pola pikir Arab di zaman liberal. Khusus Jum’at ini dibatasi pada ide Muhammad Abduh saja. Di dalam buku tersebut akan terlihat inspirasi awal perkembangan peradaban bangsa Arab, menurut saya secara aqidah umumnya berasal dari Mekkah, tetapi secara intelektual asalnya dari Eropa. Dan terakhir dimana signifikansi beda pengaruh Abduh atas KH Ahmad Dahlan di Indonesia bila dibandingkan dengan tokoh2 intelektual Arab sebagaimana dijelaskan oleh Hourani dalam bukunya. Saya akan menyorotnya dari konsep Effective History Gadamer, agar anda mendapatkan kejernihan ide perdana Syeikh Muhanmad Abduh dan sejauh mana pengarang nampaknya tidak menyadari Hegelianismenya dalam menulis buku. Kajian ini akan berguna minimal sebagai sumber inspirasi bagi adik2 yang sedang menulis jurnal atau karya ilmiah akademik lainnya. Semoga bermanfaat bagi ilmu anda terutama adik2 mahasiswa dan para tokoh masyarakat, ibu2 dan bapak2 yang cinta ilmu pengetahuan. Mari kita mulai.

Pertama tentang si pengarang buku yaitu Albert Hourani. Dia adalah sejarawan Inggeris khususnya di bidang sejarah Timur Tengah tetapi punya darah keturunan Libanon, keluarga imigran dari daerah Marjayoun Libanon Selatan, non-Muslim. Lahir tahun 1919 di Manchester, Inggeris dan meninggal tahun1993. Dikutip dari Google, Hourani adalah jebolan Magdalen Colledge, Oxford (1936), dia ahli di bidang tradisi intelektual Timur dan Barat, piawai dalam menafsirkan proses sejarah yang membentuk kehidupan sosial bermacam peradaban2. Buku2nya adalah Arabic Thought in the Liberal Age, A History of Arab Peoples, Islam in European Thought, dan lainnya. Diulangi, tulisan saya Jum’at ini khusus terkait sebagian isi buku Arabic Thought di atas, khususnya yang menyoroti pemikiran Muhammad Abduh dan significansinya bagi pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah. Dan Jumat depan diskusi kita akan berlanjut tentang pengaruh ide Abduh kepada tokoh2 intelektual Arab lainnya.

Kedua, siapa Syeikh Muhammad Abduh dan bagaimana pemikirannya? Dia adalah seorang ulama Mesir ternama, hidup 1849-1905. Bila Soekarno lahir 1901, ini berarti Soekarno baru berusia 4 tahun, Abduhpun berpulang ke rahmatullah. Abduh pernah menjabat sebagai Mufti Mesir, pernah dibuang ke Perancis (1884) dan menerbitkan majalah al-‘Urwatul Wutsqa dari Paris bersama Jamaluddin al-Afghani, dan jema’ah haji Indonesia ada yang sempat menyelundupkan majalah tersebut di Pelabuhan laut untuk masuk ke Indonesia setelah kembali dari naik haji agar tak disita oleh Belanda. Di Indonesia umumnya kajian dunia akademis mengaitkan pemikiran Abduh, bukan dengan NU tetapi dengan Muhammadiyah, padahal menurut penelitian saya K. H. Ahmad Dahlan tak pernah berjumpa muka dengan Abduh, kecuali dengan muridnya Syeikh Rasyid Ridha di Mekah atas prakarsa sepupunya bernama KH. Baqir yang telah lama bermukim di Tanah Suci. Bila KH. Ahmad Dahlan tak pernah jumpa muka dengan Syeikh Abduh tetapi para intelektual, seperti Deliar Noer, dan tokoh2 Muhammadiyah kemudian mengaitkannya dengan ide2 pembaharuan Abduh, maka inilah perlunya disadari Keterpengaruhan Sejarah, inilah yang dinamai dengan Effective History oleh Gadamer, agar jelas beda ide awal Abduh dan ide belakangan hasil interpretasi atas pemikiran Abduh pada KH Dahlan, yang selanjutnya dikatakan telah mengispirasi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia oleh para penulis dalam dan luar negeri. Ini perlu dipahami bagi adik2 mahasiswa dan tokoh2 Muhammadiyah. Di situ ada beda, ada distingsi antara ‘khyaitul aswad’ dan ‘khaythul abyadh’ tetapi mungkin kurang disadari.

Kembali kepada isi buku Hourani. Bagaimana ide awal Syeikh Abduh dan bagaimana ia kemudian terpengaruh oleh kemajuan dan peradaban Eropa? Dikatakan oleh Hourani bahwa pemikiran Abduh memang banyak terpengaruh oleh al-Afghani, tetapi Abduh lebih merupakan pemikir yang sistematis dibandingkan dengan al-Afghani, dan ajarannya punya pengaruh lama dalam dunia Islam umumnya. Bukan al-Afghani saja, tetapi pamannya dari pihak ibu yang bernama Syeikh Darwish lebih berjasa dalam membentuk karakter imannya dibalik kerasnya ajaran doktrin dari berbagai buku yang dibacanya, kata Hourani (p. 130-131). Ajaran Abduh kemudian banyak yang ditolak oleh mereka yang pernah belajar dengannya dulu, tetapi di bawah permukaan, kata Hourani, pemikirannya tetap hidup pada basis ide2 keagamaan golongan terdidik Muslim kelas menengah meskipun mereka kurang menyadarinya.

Menurut Hourani selanjutnya, ide Abduh utamanya bukan politis tetapi akademis. Dia ingin merombak cara2 berpikir dan system pendidikan tradisional di Mesir dan di dunia Muslim umumnya menuju yang lebih reformis, sebab menurut Abduh peran akal/ratio kaum Muslimin kurang maksimal dalam memahami ajaran Islam, sehingga gerak kemajuan agama Islam dalam banyak bidang perlu lebih digiatkan. Banyak aspek di dunia Islam jauh tertinggal, katanya, dari peradaban Barat (Eropa). Abduh selain mengajar di Al-Azhar, juga dikatakan mengajar di Dar al-Ulum dan kelas privat di rumahnya. Buku2 yang mempengaruhi pemikirannya, kata Hourani, mula2 karya Ibnu Miskawayh, kemudian versi Arab buku History of Civilization in Europe oleh Guizot (karena buku Guizot banyak, mungkin maksud Hourani di sini adalah buku Histoire Generale de la Civilization en Europe 1828), dan kitab Muqaddimah (Prolegomena) karangan Ibnu Khaldun. Buku2 itulah yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikirannya, kata Hourani: Buku Miskawayh sebetulnya adalah filsafat etis Yunani versi Islam, sementara buku Guizot dan buku Ibnu Khladun keduanya sama2 membicarakan jatuh bangunnya peradaban (p.132). Pemikiran teologis Abduh dalam buku Risalah Tawhid, menurut Hourani, bisa dilacak awal munculnya di Libanon dimana ia hidup sebagai pelarian politik, setelah mengalami berbagai siksaaan, penjara, dan hukuman. Bukunya tersebut membicarakan teologi Islam yang kemudian di karang dan diajarkannya setelah kembali ke Mesir, kuliahnya banyak dihadiri oleh para sarjana dan penulis: Muslim, Kristen, Druze dan lainnya (p. 134).

Apa dan bagaimana corak pemikiran Abduh yang dikatakan oleh Hourani? Pertama, Abduh menyadari perlunya kebangkitan kembali dunia Islam (revival). Dikatakan perlu sebab bagi Muslim umumnya, Nabi Muhammad diutus Tuhan bukan hanya untuk mengajari ibadah saja tetapi juga untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik. Maka terdapat beberapa hal yang dinilai akan bersesuaian dengan ajaran Allah dan Rasul dan ada pula yang tidak. Karena keadaan terus berobah, akibatnya selalu timbul persoalan2 yang belum pernah ada di zaman Rasul. Maka persoalannya bagaimana cara menjembatani jurang perbedaan antara apa yang sepatutnya bagi Muslim sekarang dan apa yang dulu belum ada di zaman Nabi. Solusinya bagi Abduh? Berbagai aturan dan per undang2an baru perlu dibuat, sekolah2 didirikan, debat tentang institusi politik dikembangkan, sementara mereka yang mengingkinkan agar Syari’a tetap ditegakkan, sekarang mereka tengah menghadapi cobaan. Abduh menyadari akan timbulnya dua macam bahaya dari internal umat: mereka yang ingin agar hukum dan ajaran2 Islam diterapkan in toto dan mereka yang mendukung penggunaan akal manusia. Ini akan membuat umat tersekularisasi tetapi tidak 100% (p 136). Maka dalam tulisan2 Abduh pada masa2 awal nampak penekanan pada hukum Islam: untuk menjadi bermoral maka umat harus cocok dengan hukum tertentu. Di mata Abduh, setiap makhluk Allah punya aturannya sendiri2. Bila aturan2 tersebut dilampaui maka keruntuhan akan terjadi katanya. Bagi umat Islam, aturan tersebut adalah hukum2 moral yang mengatur tata prilaku…hukum2 seperti itu disusun oleh golongan terpelajar dan bijaksana yang ditulis dalam buku2 dan diwujudkan di dunia pendidikan, setelah meeka memahami isi ajaran Kitabullah (p. 137).

Namun setiap hukum berbeda bagi setiap bangsa katanya. Agar hukum itu effective ia harus cocok dengan standar dan kondisi negara dimana hukum tersebut diterapkan. Abduh kagum dengan hukum2 dan institusi2 Eropa tetapi disadarinya pola Eropa tersebut tak akan cocok untuk Mesir dan dunia Islam umumnya. Pemikiran Abduh sangat concern dengan keadaan ini. Baginya jalan terbaik ialah dengan memperkuat nilai2 dasar Islami. Umat tidak bisa maju hanya dengan cara mengadopsi ajaran2 Islam klasik di masa lampau, tetapi juga tak bisa menerima sepenuhnya peradaban Barat. Jalan terbaik, bagi Abduh, ialah menerima pentingnya perobahan tetapi dengan mengaitkannya dengan ajaran Islam.

Hourani selanjutnya menilai pemikiran Abduh sangat terpengaruh oleh positivisme August Compte. How? Kesadaran baru suatu masyarakat, menurut Compte, dapat diraih dengan cara metode matematik yang rational plus ilmu2 alam ke tengah masyarakat, kemudian diiringi dengan pengembangan sosiologi rational yang harus sesuai dengan system rational dari moralitas sosial. Ini akan membentuk norma prilaku sosial dan merupakan kunci bagi kebahagiaan umat. Menurut Hourani, Abduh selalu berusaha menunjukkan bahwa dalam Islam sudah ada terkandung potensi agama rational semacam ini, demikian pula potensi ilmu sosialnya, bahkan hukum2 moral yang akan dapat digunakan untuk kehidupan modern. Abduh juga menyadari perlunya mendidik calon2/tunas ulama generasi baru yang akan mampu menafsirkan dan mengamalkan ajaran Islam demi menciptakan masyarakat yang stabil dan progressif (kelompok menengah) yaitu antara kelompok tradisional dan kelompok revolusioner sebagaimana yang disinggung oleh Compte (p. 140).

Selanjutnya dijelaskan oleh Hourani pada p. 140 bahwa generasi ulama baru tersebut, bagi Abduh, bukan ditujukan untuk melegalisir segala sesuatu yang mengatas namakan progress, dan bukan pula untuk menciptakan generasi ulama yang melegalisir fait accompli (kondisi yang tak bisa dielakkan), tetapi untuk menjelaskan kembali bagaimana hakikat Islam yang sebenarnya serta mampu memikirkan implikasinya bagi kehidupan modern. Dari kedua kerja besar ini, menafsirkan hakikat Islam yang sesungguhnya adalah yang jauh lebih penting (p. 140). Sebab ditemui tulisan dalam fragmen autobiografinya yang mengatakan bahwa tujuan utama Abduh ialah membebaskan umat dari belenggu taqlid, kembali kepada sumber2 asli ajaran Islam (Qur’an dan Hadis) dengan cara menafsirkannya sesuai dengan akal dan nalar manusia, dan untuk membuktikan bahwa agama Islam cocok dengan sains.

Selanjutnya dikatakan oleh Hourani bahwa Abduh sangat mencontoh ajaran ibadah Imam al-Ghazali sebagaimana dituturkan oleh kesaksian muridnya Rasyid Ridha, tetapi dalam teologi Abduh lebih dekat kepada Maturidi terutama tentang masalah apakah yang baik dan buruk itu dapat diketahui dengan akal sepenuhnya tanpa bantuan wahyu. Sementara pamannya Syaikh Darwish telah berjasa menanamkan kembali pada Abduh ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjauhi spekulasi ‘kebablasan’ atas mu’jizat Tuhan (p.142).

Namun demikian, kelemahan Abduh, menurut Hourani, ialah sifatnya yang suka ecclecticisme (tebang pilih), mencampur adukkan berbagai ajaran Mazhab (p. 142). Tetapi sifat tebang pilih tersebut, kata Hourani, bagi Abduh hanya untuk mengelak tatkala menghadapi masalah2 sulit. Buktinya Abduh tak jelas2 menyatakan pendiriannya apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan. Dalam bukunya Risalah al-Tawhid, kata Haourani, terdapat pengakuannya bahwa pada edisi perdananya dia membenarkan al-Qur’an itu makhluq, tetapi pada edisi berikutnya dari buku tersebut pengakuan semacam itu hilang (p. 182). Kenapa Abduh demikian? Mungkin karena dua pertimbangan, kata Hourani: 1. Untuk menjaga ukhuwah Islamiyah. 2. Untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait perdebatan mengenai Islam dan kemajuan Eropa. Bagaimanapun juga akar pemikiran intelektual Abduh adalah pemikiran Islam tetapi juga menyambar ke kemajuan sains Eropa abad ke 19 khususnya terkait debat masalah agama dan sains.

Buku Hourani itu sangat metodologis. Meskipun metodologis, kompak, coherence, causalitas, dan menampakkan Significance of Issue, tetapi saya masih melihat penulisnya terjerat Hegelianisme. Apa maksudnya? Maksudnya si pengarang tidak menyadari keterpengaruhannya dalam sejarah sebagai Subjectivus Geneticus (Anak Zaman). Sama dengan Hegel, sejarah dunia oleh Hegel dilukiskan seakan bebas sama sekali dari cara pandang si pengamat, ia bersih, objektif, demikian pula Hourani mengelaborasi isi bukunya tanpa disadari keterpengaruhannya dalam sejarah Timur Tengah di masa menulisnya. Ibarat mengaduk kopi di cangkir, pengaruh metal baja sendok untuk mengaduk kopi tidak diperhitungkan oleh Hegel, demikian pula oleh Albert Hourani. Contoh tatkala Hourani menjelaskan ide2 pemikiran Abduh terkait agama Islam dan Sains. Menurut saya, dengan mencontoh Gadamer, agama Islam dan Sains di mata Abduh tidak ada jaminan persis sama dengan Islam dan sains di mata Hourani, sekurangnya Hourani telah melihat Sains dari kacamatanya sebagai sarjana Oxford berkebangsaan Inggeris. Ini salah satu contoh kritik filsafat Gadamer pada pemikiran sejarah oleh Hegel dan sekarang saya membawanya kepada Hourani.

Terakhir, saya juga sadar bahwa tulisan saya tiap Jumat juga ditulis dalam versi saya yang hidup dengan tradisi rendang Padang tetapi ia enak dicicip dari Jambi, sebab orang Jambi ramah2 dan suka bersahabat, mungkin karena kuatnya pengaruh ajaran NU yang ‘alergi’ dengan pemikiran Abduh. Semoga akan lahir tokoh intelektual muda NU di mana saja yang akan menulis buku, tesis, disertasi yang mirip karya Hourani, mungkin juga kini sudah ada. Temanya bukan keterpengaruhan, tetapi ketidak keterpengaruhan NU oleh ide2 Abduh. Sejauhmana ide2 Abduh tersebut memang tidak relevan untuk NU di Indonesia di masa2 awal berdirinya dan di masa kini. Tidak relevan, bukan untuk mempertajam polarisasi antara ide2 Abduh dan tradisi NU tetapi mencoba menganalisis ‘untung-ruginya’ secara akademik: segi2 apa kiranya yang akan kontributif/destruktif bagi kehidupan sosial keagamaan di Indonesia, seandainya beberapa poin dari ide Abduh diadopsi sejak tahun 1926 dan sesudahnya. Coba tampilkan tulisan anda dari sudut pandang yang berbeda. Sebab semakin anda menulis, semakin ditariknya anda ke kedalaman pemikiran Abduh dan kedalaman pemikiran NU. Kesarjanaan anda akan dinilai orang pada cara anda menganalisis kedua pemikiran besar tersebut. Apakah anda setuju? Let’s do it.

Kesimpulan….buku Albert Hourani itu bagus. Ia sukses menceritakan bagaimana dinamika pemikiran Arab di zaman Liberal. Kata filosuf, pemikiran manusia tidak tumbuh di alam kosong, ia selalu merupakan rentetan dari pemikiran sebelumnya, sekitarnya dan ia bersifat evolutif. Ide Abduh adalah rentetan utamanya dari ide Compte kata Hourani. Dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia dikatakan terispirasi oleh ide2 Abduh. Pemikiran Abduh di dunia Islam ibarat sebatang pohon, tumbuh terus berkembang, terus membesar dengan berbagai dahan dan rantingnya, ada yang sukses hidup, ada yang patah/kandas di tengah perjalanan hidupnya sesuai dengan zaman dan tempat hidupnya (the survival of the fittest). Jum’at depan akan kita bicarakan pengaruh ide Abduh pada generasi se zaman dan generasi sesudahnya baik Muslim maupun non-Muslim.

Significance of Issue (Hikmah). Sekarang saat yang tepat untuk meninjau ulang bila sarjana2 mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) terpengaruh oleh ide2 pembaruan Abduh. Bila dilacak kepada tulisan Hourani dalam bukunya di atas, apa bentuk ide2 Abduh tersebut, dan apa dampaknya? Pertama, nampak pengaruh Abduh pada penekanan Muhammadiyah untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Tetapi bukankah KH Dahlan itu, kata Jainuri, tokoh pembaru, sementara ide al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah al-Maqbulah adalah penegasan Majelis Tarjih yang berdiri pada tahun 1927 sebagai anti-tesis terhadap TBC (Tachayyul, Bid’ah dan Churafat)? Kedua, jauhi taqlid buta. Tetapi Muhammadiyah tidak meletakkan posisi ratio di atas wahyu sebagaimana Abduh. Kesulitan yang dihadapi untuk tegaknya ide pengaruh Abduh antara lain kini dalam warga Muhammadiyah yang diisi oleh ‘banyak wajah’, diantaranya terdapat golongan Salafi. Maka kritik Munir Mulkhan pada warga Muhammadiyah ialah agar jangan hanya meniru jejak bukti nyata kerja Kh Ahmad Dahlan semasa hidupnya seperti dengan hanya memperbanyak jumlah pembangunan rumah sakit, panti asuhan, dan lainnya, tetapi seyogyanya yang ditiru dari KH Dahlan adalah ide dasar, semangat pembaruannya yang tak kunjung padam dengan berbasis teologi al-Ma’un. Ibarat ular yang melepaskan kulitnya, jangan terpesona dengan kulit ular yang ditinggalkannya, tetapi lihat kemana dinamika arah geraknya. Cara mengintip ‘ide dasar’ semacam itu, menurut saya, seyogyanya adalah ontologis dan hermeneutis, tetapi Muhammadiyah mengandalkan kinerja produk think-tanknya yang bernama Majelis Tarjih, dan Majelis ini menurut penelitian saya metodologis. Sementara kelemahan metode, menurut Gadamer, ia hanya mampu menyingkapkan kebenaran yang memang sudah implisit dalam metode tersebut: kebenaran2 yang sudah implisit dalam metode bayani dan dalam metode burhani.

Demikian pula tentang metode yang dinamakan dengan Struktur Berjenjang. Ia mengandaikan dikotomi antara ‘ideal and realities’, mirip theory of Forms (Plato) dengan membuat struktur berjenjang antara Al-Asasiyah dan al-Ahkam al-Far’iyah sehingga kebenaran yang akan digali tergantung pada sejauhmana akurasi metode yang digunakan dalam ruang gerak ‘remang2’ antara al-Asasiyah (das Sollen) dan al-Far’iyah (das Sein) tersebut. Imbas jauh metodologisnya, perlu dilirik juga sejauhmana cita2 Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah mampu diaktualisasikan dalam proyek tafsir al-Qur’an yang kini sedang digarap oleh mufassirin dan mufassirat Muhammadiyah? Bagaimanapun juga, itu semua sumber inspirasi awalnya adalah dari ide2 Abduh juga dan proyek tafsir sekarang ini, menurut saya, seyogyanya mewarisi ‘legacy’ Abduh bukan Dahlanisme. Di mata Abduh, kemajuan peradaban Islam tertinggal dibandingkan dengan kemajuan peradaban Eropa, sementara di mata Dahlan, pendidikan warga Kauman/pribumi tertinggal jika dibandingkan dengan pendidikan bangsa Belanda. Muhammadiyah adalah kendaraan ‘motor’ yang berusaha mengejar ketertinggalan2 tersebut. Pertanyaannya: agar Muhammadiyah dapat go International, apakah metode istiqra’ ma’nawi sepatutnya disesuaikan dengan ‘legacy’ Abduh atau ‘legacy’ Dahlan? Let history tells then. Wallahu a’lam.

Demikianlah tulisan saya Jum’at ini. mungkin sebagian anda lebih memahami dari pada saya tentang isi buku Hourani tersebut. Maaf agak berat dikit ya diskusi kita? Terimakasih pada Bapak2/Ibuk2 dan semua adik2 mahasiswa dan Gen Z yang telah sudi membacanya. Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share