MALIN KUNDANG ANAK SUMATERA(IDOLA TRIBUS)

Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 10 Januari 2025

Assalamu’alaikum wr,wb

Pernahkah Ibu/Bpk/Saudara2/Adik2 yang sedang membaca tulisan saya ini membayangkan bila sebuah miniatur Rumah Minangkabau kita masukkan ke dalam aquarium besar? Rumah Minangkabau, kita tahu, punya dua ujung atap yang tinggi, lancip mirip tanduk kerbau, orang Minang menyebutnya gonjong. Lalu kita isi aquarium itu dengan air hingga penuh, kita rendam, dan yang terlihat hanya ujung lancip dua gonjongnya saja. Di salah satu ujung gonjongnya bertengger seekor burung, dikelilingi oleh penuh air, sehingga yang terlihat sedikit ujung gonjongnya saja oleh burung tersebut. Burung itu lantas mengira bahwa Rumah Minang itu ya kecil seluas ujung gonjong saja. Tiba2 aquariumnya pecah dan airnya kering. Setelah kering burung itu heran rupanya Rumah Minangkabau itu besar, punya banyak kamar2, banyak jendela, dan punya tiang2 tinggi. Ia berbeda jauh dari dugaan semula. Dugaan semula itu namanya Common Sense (pendapat orang awam), yang belum tentu benar bila dipikir dalam2. Roger Bacon 1561-1626 (Filosuf Inggeris) menyebutnya sebagai Idola Tribus (prasangka yang dihasilkan oleh pesona2 alamiah, sehingga orang tak mampu memandang alam secara objektif). Lihat buku F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern dari Machiavelli hingga Nietzsche (Yogya: Kanisius, 2019), 29. Bagaimana pesona alam yang memukau itu?

Demikian pula Malin Kundang melihat pulau Sumatera bila air laut disedot kering oleh Tuhan. Semula Malin menduga pulau Sumatera itu kecil panjang mirip ujung tanduk gonjong Rumah Minang, sama dengan cerita burung di atas, rupanya besaaaar, gendut, dahsyat lebarnya hingga sampai ke dasar laut memanjang dari Aceh hingga Lampung, JAUH BERBEDA bentuk pulau Sumatera dari gambar di PETA. Bisa dilihat dan dibuktikan secara ilmiah dengan satelit dari angkasa. Heran, Kok berbeda? Jadi gambar pulau Sumatera di peta itu ‘menipu’(Idola Tribus). Yang sebenarnya bukan persis seperti terlihat di peta, tetapi berbeda. Bagaimana cara melihat yang benar? Ya keringkan dulu air laut agar nampak bentuk Sumatera yang sebenarnya. Kebetulan Malin Kundang lewat di jalan sambil garuk2 kepala melihat burung masih bertengger di atas gonjong tadi. Dia tertawa manusia dan burung kadang2 cara berpikirnya sama keduanya, sama2 keliru. Hati2 Malin Kundang bisa menertawakan anda juga.

Lanjut cerita, Malin Kundang terus berjalan di Sumatera, terharu, mendengar nyanyi nostalgia Teluk Bayur oleh Erni Johan. ‘Selamat tinggal Teluk Bayur permai, Daku kan pergi jauh ke negeri seberang, Ku kan mencari ilmu di negeri orang, buat bekal di hari tua…….’ Malin Kundang meneteskan air mata. Pipinya basah dan matanya merah keduanya. Dia ingat Orang Minang dulu pergi sekolah ke Jawa, membayangkan jarak jauh antara Padang dan Batavia. Para orang tua, sanak famili dan kerabat melambaikan tangan di dermaga. Ingat zaman Sitti Nurbaya. Dikiranya Teluk Bayur dan Tanjung Priok itu bagaikan dua batu es yang merapung, terpisah jauh, lengket di pinggir gelas, rupanya bukan.

Teluk Bayur di Sumatera dan Tanjung Priok di Jakarta Utara sebenarnya tersambung di dasar laut, mirip akar pohon yang saling terkait. Rupanya manusia itu dulu menangis di Teluk Bayur karena terpesona oleh air laut yang mempengaruhi pemandangan mereka, membayangkan jauhnya tanah Jawa dari Sumatera. Lalu Malin Kundang tiba2 tertawa lagi sambil berkata dalam hatinya: Ah kini 1 jam naik pesawat Padang-Jkt langsung tiba. Dan satu detik SMS/WA langsung dapat berita. Mengapa harus menangis karena mendengar lagu Erni Johan? Jadul Lu! Idola Tribus lagi. Jadi kita dulu sedih, menangis melihat hamparan laut adalah karena wawasan kita masih pendek dan bantuan teknologi (pesawat terbang dan HP) belum ada. Disclaimer, saya sejak tahun 1975 hingga 2025 ini, sering bolak-balik Padang-Jakarta belum pernah 1x pun mengalami naik kapal laut di Teluk Bayur, kecuali di Laut Merah dekat Terusan Suez waktu menjadi mahasiswa di Mesir mau ke Jeddah. Bila lagu Teluk Bayur bernostalgia cinta bagi anda, bagi saya, Laut Merah bernostalgia Fir’aun versus Musa.

Lalu Malin Kundang pergi lagi dari Bukit Tinggi ke kota Jambi. Setelah melalui jarak tempuh dengan mobil sekitar 1000 km, sehari semalam naik mobil travel, ia tiba di Jambi. Terdengar berita TV, bahwa Gunung Merapi di Bukit Tinggi baru saja meletus, dan getarannya dahsyat terasa hingga ke Jambi. Gempa besar terjadi. Lalu Malin Kundang bertanya pada seorang cewek cantik di dekatnya: ‘Dik apakah kamu tau ada gempa akibat Gunung Merapi meletus?’ ‘Iya’ jawab cewek itu. ‘Menurutmu apakah betul gempa itu melewati 1000 km, dari Bukit Tinggi ke Jambi, hanya dalam hitungan menit sebagaimana kata TV?’ ‘Betul itu’, kata cewek tersebut. ‘Kenapa?’ Tanya Malin K lagi. ‘Sebab Tuhan Maha Kuasa, berbuat sekehendaknya’, kata si cewek. ‘Walaupun jaraknya 1000km akan terasa dalam sekejap saja’. 1000 km dalam hitungan detik? Malin Kundang terbelalak matanya pada si cewek dan garuk2 kepala lagi: ‘Gempa itu TIDAK NAIK TRAVEL, tidak lewat jalan aspal ke Jambi dik’, katanya. Gempa itu mampu menerobos, menerjang, jalan pintas dari Bukit Tinggi hingga Jambi dalam sekejap mata. Ada sungai diseberanginya, ada ngarai dilewatinya, terobos aja, tidak pernah gempa mengikuti alur jalan aspal 1000km kayak kamu dik, katanya lagi. Si cewek itu malu sambil melirik kepada anda: yang sepaham dengannya. Ini contoh Idola Tribus lagi.

Akhir cerita, Malin Kundang terus berjalan, berjalan dan tiba2 bertemu dengan seorang kiyai, dia bertanya. ‘Pak Kiyai, kata al-Qur’an dalam surat al-Zalzalah, bila hari Kiamat, bumi ini digoncang sedahsyatnya, isi perut bumi dimuntahkan, dan manusia akan bertanya: Ada apa ini?’ ‘Betul itu’, jawab pak Kiyai. Bila sudah kiamat, bumi jadi bubur. Pulau2 dan benua2 jadi lumpur. Ini bukti bahwa Sumatera juga terhubung di bagian bawahnya dengan Mekah dan Singapur. Bukankah Surah al-Hajj ayat 27 mengatakan: Wa azzin fin Naasi bil hajji ya’tuka rijalan ….(Serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang berjalan kaki…). Berjalan kaki? Oh..rupanya memang bisa kita berjalan kaki ke Mekah dari penjuru manapun di bumi ini….ya tetapi harus masuk jauh dalam ke dasar Samudera. Tapi hati2 jangan kepleset masuk Palung. Apa itu Palung? Palung adalah lobang terdalam di dasar Samudera, gelap gulita, tak mampu dimasuki oleh manusia, berbahaya, banyak isinya hewan laut/species yang belum dikenal namanya, mungkin juga ada ular Naga (menrut saya). Palung yang paling dalam bernama Challenger Deep, ia adalah 1 bagian dari Palung Mariana dekat pulau Jepang dan pulau Guam sekarang, dalamnya sekitar11.034 m di bawah permukaan laut (11 km lebih). Bila puncak gunung Everest di darat Nepal tingginya 8.849 m, dan kedalaman Challenger Deep 11.034m, artinya ada beda jarak keduanya hampir 20 km. Malin Kundang terpesona mendengar ceramah ustaz tentang agama dan sains yang contra dengan Idola Tribus.

Maka kisah Nabi Musa membelah Laut Merah terbukti sekarang kebenarannya. Nabi Musa dapat berjalan di dasar laut, kaki Musa menginjak tanah, yang memang senyatanya ada tanah dan batu yang tersambung dengan daratan di seberangnya, lalu Fir’aun mengejar Nabi Musa, dan akhirnya air laut bertaut kembali, Fir’aun dikaramkan. Sebenarnya kita juga bisa berjalan kaki saja naik haji/umrah ke Mekah, jalan kaki ke Malaysia cari kerja, jalan kaki ke Singapore berbelanja, jalan kaki ke London berwisata, jalan kaki sekarang ke Washington menghadiri pemakaman Jimmy Carter, bilamana laut kering. Kan berjalan itu butuh waktu lama? Itu lain soal, jawab Malin Kundang.

Anehnya, Malin Kundang berkhayal lagi: Bila digoncang seisi perut bumi, berantakan di Hari Kiamat, boleh jadi nanti kepala Hitler dari Jerman akan terpelanting dan berdampingan dengan kepala Jokowi dari Solo, sementara mulut Mulyono masih menggigit ijazah. Kepala Jokowi boleh jadi juga akan berdampingan dengan kepala Megawati dan Hasto Kristianto, meskipun hari ini mereka berantam, dendam politik. Anehnya, setiap orang yang sempat menjabat jadi presiden RI disebut sebagai Putera Terbaik bangsa, walaupun tanpa ijazah ia tetap dikubur di Kalibata. Begitulah khayalan si Malin Kundang. ‘Ah’, kata Kiyai, ‘berdoa sajalah kamu’! Peristiwa terkait kiamat semacam itu dalam istilah sekolahnya disebut eskatologis. Susah menjelaskannya kata Kiyai. Nah kepala anda yang sedang membaca ini nanti akan berada di mana? Mudah2an berdampingan dengan kepala ibu bapa anda, atau berdampingan dengan si ‘doi’… ‘kasih tak sampai’ zaman dulu, ketika lagu Teluk Bayur dilantunkan oleh Erni Johan.

Cerita punya cerita. Cerita di atas menampakkan bahwa penglihatan Tuhan berbeda dengan kita. Penglihatan kita terpengaruh oleh air laut, penglihatan Tuhan tidak begitu. Demikian pula bila pulau Sumatera diibaratkan dengan seekor ikan gurami yang terendam air. Tuhan sudah tahu bahwa ikan gurami itu besar hingga perutnya, tetapi manusia hanya tahu melihat punggungnya yang nampak di atas permukaan air saja. Semakin diangkat perut ikan itu ke atas, semakin berobah nampak lebar punggung ikan tersebut di permukaan air. Demikian pula pulau Sumatera, semakin dikurangi air laut sekitar pantainya, akan semakin berobah bentuk Sumatera. Bila dikuras air laut itu sedalam 1 km, mungkin daratan Aceh akan lebih lebar dari daratan Lampung. Peta Sumatera boleh jadi akan nampak lebar ke utara, mengecil ke Selatan. Terbukti sekarang bahwa pengetahuan manusia itu sedikit, berpandangan pendek. Akibatnya pandangan kita yang pendek, akan mempengaruhi pendapat kita jadi pendek.

Dalam hidup ini bila pendapat kita pendek, hidup akan merugi. Buktinya, Utara pulau Jawa diperkirakan oleh ahli sekian tahun mendatang akan terendam oleh air laut. Artinya, gambar peta Jawa harus dirobah lagi, akan berobah dari gambar peta yang sekarang bila dilihat dari angkasa. Penduduk DKI harus berhati-hati kini dengan bujukan pengembang untuk membeli rumah atau ruko di kawasan utara Jakarta, sebab kawasan tersebut akan terendam, maka eloklah membeli tempat hunian di kawasan selatan Jakarta, Depok, Bogor sekitarnya. Kita harus bertanya dalam hati, mengapa ada rayuan, mengapa di iklan TV sekarang ada 1 unit ruko di DKI ditawarkan hanya Rp 580.000.000? Ya mereka cerdik, mereka sudah menduga akan terendam. Dalam sosiologi diajarkan bahwa setiap ada rayuan, pasti ada maunya. Orang DKI yang berpikiran pendek akan merugi, dirayu untuk membeli ruko murah. Makanya dalam hidup ini jangan berpikiran pendek, apalagi berpikiran pendek dalam memahami agama, ya jadi orang fanatik. Idola Tribus terbukti mengecoh.

Maka sadarilah bahwa kita di bumi ini semua saling terhubung menurut ahli Oceanografi (ahli kelautan). Mekah itu sebenarnya bukan terpisah daratannya dengan Teluk Bayur, hanya nampak terpisah karena adanya air Samudera Hindia yang membatasinya. Jadi bila anda ‘super’ yakin bahwa fisik pulau Sumatera sebenarnya persis seperti yang terlihat di peta sekarang, itu pendapat ‘keliru’. Lagu Teluk Bayur membuat kita terharu, karena membayangkan luasnya laut. Melepas keberangkatan jamah haji laut sambil menangis juga karena membayangkan luasnya samudera. Itu pandangan mengecoh karena air. Apakah sekarang setelah tua begini masih kayak gitu? Bila disuruh Tuhan nanti di akhirat melukis Sumatera, lalu anda lukis seperti peta yang sekarang, mungkin Tuhan akan ‘ngangguk2’: memang manusia itu ….bodoh. Lalu kenapa guru SD mengajarkan kita gambar peta seperti itu? Ya mungkin belum saatnya untuk dijelaskan pada murid2, atau memang gurunya juga ‘ditangkap bodoh’ sebab mana tau dia kurang gizi, sehingga ‘makanan bergizi’ program Prabowo untuk siswa SD ada juga yang turut memakannya. Kita tunggu berita TV.

Bahkan pikiran pendek juga berbahaya bila dibawa berceramah/mengajar di kelas. Kadang2 penafsiran kita yang pendek atas suatu ajaran agama (di segi mu’amalat/selain ‘aqidah dan ibadah) dipaksakan pula pada orang lain untuk menerimanya, diberi dalil ayat dan Hadis. Ayat dan Hadis yang suci itu kita pakai untuk membenarkan pandangan kita yang pendek, agar nampak benar, padahal keliru. Kita samakan pandangan kita dengan pandangan Tuhan. Bila tak mau orang lain sepaham dengan pandangan kita, lalu kita ancam dia masuk neraka. Astaghfirullaaaaaaaaah! Juga mengajar mahasiswa di kelas, boleh jadi pengetahuan dosen2 perlu dipertanyakan. Materi kuliah yang diajarkan masih seperti yang dipelajarinya waktu dia kuliah dulu, pada hal sekarang ada temuan baru oleh para ahli yang belum diketahuinya, tetapi dia ‘ngotot’ bahwa pengetahuannyalah yang paling benar. Berbahaya!

Apakah ada yang berpikiran ‘ngotot’ begitu Pak Amhar? Ada terkait pemahaman agama. Adik saya di Kalimantan mau solat berjama’ah di masjid nampak berkopiah hitam, kopiah Bung Karno. Lalu dipanggil, dimarahi oleh seseorang di dekatnya. Dia bilang: ‘Eh, kamu tau dak, itu kopiah bukan Islami, yang Islami itu harus menutup kepala seperti Nabi’. Buang kopiah itu! Dia memaksa. Astaghfirulah…Na’uzu billah! Sebagian kita ternyata berpikiran pendek, tapi ngaku Islami.

Bahkan dulu di zaman Jepang, ayah Buya Hamka (Dr. Karim Amrullah yang membawa Muhammadiyah ke Tanah Minang) telah berani memakai dasi. Lantas orang lain bilang dia itu sudah ke Barat2an, ikut menyerupai orang Kristen Eropa. Maka keluarlah dari mulut mereka dalil Hadis ‘Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum’ (Barangsiapa yang meniru-niru suatu kelompok orang lain, maka ia telah termasuk golongan kelompok tersebut). Nah, sekarang dilihatnya Menteri Agama memakai dasi, Ketua MUI memakai dasi pula, sementara pendeta di gereja tetap memakai dasi, orang yang berpandangan pendek semacam tadi mulai tutup mulut, sadar diri. Artinya, pandangan kita atas ajaran agama perlu diperluas, pandangan kita kadang2 sama dengan melihat pulau Sumatera yang merapung seperti di peta, belum melihat kaki pulaunya hingga dasar laut.

Kesimpulannya, anggapan kita keseharian patut dipertanyakan. Pelajaran2 di bangku sekolah dan kuliah perlu dikritisi ulang. Memang benar pulau Sumatera, bahkan semua pulau2 dan benua2 itu sebenarnya mirip dengan UJUNG2 AKAR POHON yang sedang terendam. Kita sekarang, ibarat jutaan semut, hidup beranak cucu di atas pulau, di ujung2 akar yang sedang mengapung tersebut. Di situlah Hitler membasmi Yahudi. Di situlah Yahudi Israel membasmi Palestina. Di situlah sebagian kita bangga berbuat dosa, Di situlah Teluk Bayur rindu Batavia. Di situlah ‘Kisah kasih bermula’. Di situlah kita berpisah nyawa dengan anak isteri tercinta, di situlah kita menumpuk harta dan takhta, dan di situlah kita semua lahir dan meninggal dunia………Selamat tinggal ….selesai sudah ‘merantau’ di dunia.

Demikianlah Bpk2/Ibuk2/Adik2ku sekalian cerita khayalan di pagi Jum’at ini yang menjelaskan Idola Tribus Roger Bacon: tanah Malin Kundang di Sumatera memang saling terkait di dasar laut dengan semua pulau dan benua, dengan pulau anda2 semua. Banyaknya jumlah pulau dan benua mengapung di atas laut mencerminkan pluralitas (aneka ragam) agama, bangsa, budaya. Yang dinampakkan oleh Tuhan ialah pluralitas di permukaan laut, tetapi sebetulnya (ibarat dasar Samudera) ia adalah SATU (Makhluq Allah). Maka seyogyanya kita menghargai pula pluralitas: sebab ia adalah Sunnatullah (Ketetapan Allah sejak kejadian bermula). Kurangilah sikap fanatik, bacalah doa untuk kesejahteraan semua isi dunia, jangan hanya doa untuk Muslim saja, nasib non-Muslim nasib kita juga karena pulau kita terkait dengan pulau2nya. Semakin fanatik buta beragama, semakin nampak dungu. Sekian, mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Pamit, wassalam, Amhar Rasyid.

*Silakan Share