PENGALAMAN ….OH PENGALAMAN


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 01 November 2024

Jum’at ini, diskusi kita agak berat dan serius, membicarakan konsep PENGALAMAN. Apa perlunya dibicarakan Pengalaman? Pernahkan anda masuk penjara? Itu pengalaman. Pernahkah anda ditinggal mati oleh orang tua? Itu pengalaman. Pernahkan anda pergi ke Mekah? Mungkin sudah, mungkin belum. Pernahkan anda melahirkan? Saya tidak, sebab saya laki2. Kalau begitu, apa itu PENGALAMAN? Sebagai sarjana Muslim, yang perlu dibahas ialah bagaimana watak PENGALAMAN secara filosofis dan bagaimana kira2 hubungan antara PENGALAMAN Nabi Muhammad saw dengan ayat AL-QUR’AN dan matan HADIS? Mari kita diskusikan bila anda tak sibuk bekerja dan masih tertarik pada pengetahuan.

PENGALAMAN disebut KHIBRAH dalam Bahasa Arab, dan disebut EXPERIENCE dalam Bahasa Inggeris. Menurut Kamus Besar B. Indonesia (KBBI), PENGALAMAN ialah sesuatu yang pernah dialami. Pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dapat dipetik seseorang dari berbagai peristiwa yang dialaminya dalam hidupnya. Bila anda berbicara hal yang belum dialami sendiri dinamakan a priori (misalnya bila anda berbicara tentang hidup di bulan), dalam hal ini anda merasa sudah menemukan kesadaran dalam diri anda sendiri sebelum bertemu dengan pengalaman nyata (senyata-nyatanya). Namun bila anda memang sudah betul2 mengalaminya, ia disebut a posteriori, contohnya saya yakin anda sudah pernah makan garam dan merasakan asin. A priori dan a posteriori itu perlu disadari dalam berargumentasi apalagi dalam berdakwah.

Menurut David Hume pengetahuan kita sebenarnya berasal dari pengalaman yang berbentuk kesan yang telah tersusun secara sistematis dalam diri kita. Kata ‘kesan’ itu sangat penting. Sementara Immanuel Kant mengatakan bahwa teori dan pengalaman keduanya saling melengkapi dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga dikatakan bahwa pengalaman tanpa teori tak akan memberikan pemahaman yang bermakna. Demikian pula teori tanpa pengalaman hanyalah permainan intelektual belaka katanya. Berteori itu mirip dengan bercerita panjang, logis, argumentative tetapi belum dialami.

Kenyataannya, kita memang a priori dalam banyak hal. Mungkin banyak hasil penelitian akademik hanya bersifat a priori. Hasil survey biasanya berdasarkan jumlah responden. Angket disebarkan. Hasil penelitian tidak dialami sendiri, garamnya tidak dikunyah di mulut sendiri oleh si peneliti, lantas ia berbicara kesimpulan: tentang asinnya garam. Demikian pula barangkali ceramah2 agama bagi anda da’i yang masih muda. Aplikasi ayat2 mu’amalat dan Hadis di tengah kehidupan kaum Muslimin masih belum anda alami sendiri. Anda belum banyak punya khibrah/experience, karena anda masih muda. Penafsiran ayat dan Hadis boleh jadi masih meniru penafsiran orang terdahulu, ia belum dikaitkan dengan kehidupan nyata sekarang di tengah umat. Disitulah kita salutnya dengan para kiyai dan da’i kondang: mereka telah banyak pengalaman. Demikian pula Gibran, ia masih kurang banyak pengalaman hidup, tetapi nasib baiknya sempat duduk sebagai Wakil Bapak Bangsa Indonesia. Seandainya Presiden Prabowo meninggal, kata Yusuf Kalla, kita harus hormat padanya menurut aturan Undang2. Memang banyak hal dalam kehidupan kita anggap benar secara a priori.

Lain halnya kebenaran a posteriori. Bila anda sekarang sudah pensiun dari PNS, berbagai seluk beluk kehidupan semasa bekerja sebagai pegawai negeri memang telah anda alami. Masa hidup sekurangnya 35 tahun yang silam telah memberikan pengalaman berharga tetapi mungkin kita ingin mengulanginya dengan cara yang berbeda, dengan cara yang lebih dapat diperbaiki ke arah yang lebih sukses…itu kemauan kita. Tetapi peluang, kata orang, tidak datang 2 x. Kenapa anda merasa kurang sukses? Kenapa anda tidak jadi menikah dengan orang yang anda idam2kan? Kenapa nasib anda sekarang jadi begini? Anda bilang: Kenapa saya dulu…, kenapa saya dulu….? Itu semua a posteriori. Di situ ada keinginan untuk memperbaiki lagi tetapi waktunya telah lewat.

Al-Qur’an juga menyindir Pengalaman yang tak pernah tuntas. Contoh Surah Ibrahim ayat 44: ‘Yaa Tuhan kami, beri kami kesempatan kembali ke dunia walau sesaat, niscaya kami akan memenuhi panggilanMu dan mengikuti perintah RasulMu’. Bila dicermati ayat tersebut, Yaumul Hisab belum terjadi, maka penyesalan semacam itu masih a priori, tetapi penekanan ajarannya pada a posteriori. Artinya, pernyataan a posteriori semacam itu menyiratkan bahwa pengalaman selalu tidak puas, selalu merasa kurang, selalu merasa ada yang perlu diperbaiki. Namun tetap saja, bila diberi kesempatan kedua, maka nanti akan meminta lagi untuk kesempatan yang ke tiga x nya. Demikian seterusnya, a posteriori memang tak pernah utuh. Seandainya Jokowi diberi kesempatan kedua untuk memerintah, tentu banyak hal akan dirobahnya dari cara2 terdahulu, tetapi tetap saja akan ada yang kurang memuaskan bagi dirinya, dan akan meminta yang ketiga kalinya.

Berbicara tentang pengalaman, bila anda sudah nyaman hidup dalam ‘Kapal’ NU, coba meloncat keluar sebentar, kan tidak berdosa, coba melompat ke dalam ‘kapal’ Muhammadiyah, akan diperoleh pengalaman A Posteriori. Rasakan hidup berMuhammadiyah sebagaimana dinikmati oleh warga Muhammadiyah sekarang. Kan masih ada izin untuk masuk lagi ke NU. Demikian pula bila anda sudah tertidur nyenyak dalam “kapal’ Muhammadiyah, coba meloncat sebentar ke dalam Kapal NU, pengalaman apa yang akan anda peroleh? Rasakan sendiri bagaimana nikmatnya menjadi warga NU sebagaimana warga NU sekarang menikmatinya. Kan masih diizinkankan untuk masuk lagi ke Muhammadiyah. Jangan takut, sebab penumpang kedua ‘kapal’ itu sama2 membaca Ihdinash shirathal Mustaqim. Tetapi siapa berani coba? Apakah kita mengira NU itu Islam, dan Islam itu NU? Muhamamdiyah itu Islam, dan Islam itu ya Muhammadiyah? Yang tidak boleh itu a priori Murtad apalagi a posteriori.

Demikian pula bila anda sudah nyaman hidup di Indonesia, coba pula hidup di Jepang atau di Finlandia, akan ada pengalaman baru a posteriori yang mencengangkan. Anak bangsa yang maju harus memiliki sikap merdeka berpikir, merdeka berteori, sebagai buah dari usaha program Pemerintah: mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila anda merasa sudah cerdas, seyogyanya berani mempertanyakan tradisi sendiri. Tradisi itu mirip rumah tempat kita tinggal yang membatasi sudut pandang kita. Coba dengar WS Rendra bersya’ir: Sesekali cobalah keluar rumah, agar anda tahu ‘cacat’ rumah anda sendiri!

Pertanyaan selanjutnya: Apakah anda sekarang yakin bahwa tulisan2, ayat-ayat dan Hadis mu’amalat, semuanya semula adalah milik situasi? Yang pasti, tidak ada tulisan yang muncul dari vacuum. Bila ditemukan Akte Kelahiran seseorang, artinya memang ada seorang bayi yang telah lahir pada waktu dan tempat yang tertera di Akte tersebut. Bila ditemukan ayat ‘Ghulibatir Ruum’ (Q.S. ar-Rum ayat 2) tentu memang ada bangsa yang bernama Romawi. Demikian pula bila dibaca Hadis Nabi: Al-Hajju bi ‘Arafata (Haji itu di Arafah), ini bukti bahwa Arafah itu memang ada. Itu semua bukti bahwa teks (ayat dan matan Hadis) berasal dari situasi/lapangan. Bila sekarang kita akui bahwa teks berasal dari situasi/lapangan, maka Nabi tentu ‘mengalami’ situasi tersebut. Nabi melihat, merasakan, mencicipi, menghabiskan waktu dalam tempus dan locus tersebut: itu dinamai ‘mengalami. Sayang sekali, unsur pengalaman Nabi itu kini sering terabaikan oleh kita tatkala membaca Hadis, tatkala berdakwah. Kita hanya membaca matan yang tertulis, tetapi lupa bahwa matan yang tertulis itu sebenarnya mengandung unsur pengalaman Nabi. Kita sibuk bicara rumah keong, tetapi isinya terlupakan oleh kita.

Sehubungan dengan Hadis Nabi, terkait dengan ayat kewajiban berzakat, ada alasan penting yang bersifat ‘pengalaman’ yang sangat hermeneutis: Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam kewajiban membayar zakat, yang harus sangat dipertimbangkan adalah : Rasa Berat Mengeluarkan Zakat. Rasa berat di zaman Nabi seyogyanya ditransfer, sama2 dialami, ke rasa berat di zaman sekarang (teori Double Movement), bukan sekedar mentransfer kadar 2,5 %. Maka nampak oleh saya, kewajiban untuk mengeluarkan zakat 2.5% sekarang berdasarkan Hadis itu hanya dipahami a priori. Bukan Nabi yang a priori, tetapi para pewaris Nabi. Coba bayangkan, lihat di YouTube, kotak tissue dan toilet saja di istana Raja Saudi sekarang terbuat dari emas, apalagi tiang2 istana, pagar2 dan plafonnya. Mobil2 mewah puluhan di garasi, yacht, kapal pesiar, harta2 di luar negeri, dan mayoritas keluarga kerajaan hidup bergelimang emas. Zakat 2,5 % itu nampaknya ENTENG bagi mereka sebagaimana raja2 Muslim lainnya (Brunei, Oman, Bahrain, Qatar, Maroko). Unsur pengalaman Nabi nampaknya terabaikan.

Mana Rasa Sama Beratnya dengan pengalaman umat di zaman Nabi? Dengan tangis saya bertanya: Manaaaaa? Kaum Muhajirin, Kaum Anshar di zaman Nabi dan Raja2 Minyak Arab zaman kini kan sama2 umat Muhammad saw, sama2 dibebankan membayar zakat, sama2 mengeluarkan 2.5 %? Apakah mereka sama2 mengalami rasa berat? Artinya kita perlu penghayatan di lapangan. Perlu dilakukan riset induktif dalam pengelolaan zakat. MUI dan BAZIS perlu mempertimbangkannya. Maka Isi dakwah janganlah melulu a priori, sedikit2 baca ayat dan Hadis,tetapi juga perlu a posteriori (alami dulu baru bicara).

Kesimpulannya, ‘pengalaman’ mengajar kita memperoleh hikmah. Hikmah adalah butir2 pengetahuan berharga yang akan berguna lagi untuk mengarungi kehidupan. Pengalaman Nabi dalam teks2 keagamaan kadang2 terabaikan oleh kita karena menganggap penafsiran kita atas Hadis secara kuantitatif 2.5 % telah jitu. Boleh jadi apa yang kita tafsirkan belum menyentuh secara kualitatif apa yang dulu dialami oleh Nabi, masih ‘jauh panggang dari api’. Boleh jadi da’i dan ulama2 kita ibarat dokter. Mereka tahu penyakit pasien, tetapi tidak MENGALAMI rasa sakit pasien. Renungkanlah!

Demikian dulu pembaca budiman. Sudah cukup panjang. Terimakasih sudah membaca tulisan saya yang mengajak anda untuk mengurangi bicara a priori. Pamit, Wassalam.

*Silakan Share