BERTITEL SARJANA, BERBUDAYA SARJANA


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 27 September 2024

Assalamu’alaikim wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Sekarang sudah banyak orang tua yang berbahagia karena mempunyai anak yang sudah sarjana. Bertitel sarjana belum tentu berbudaya sarjana. Bertitel sarjana diperoleh lewat jenjang pendidikan, berbudaya sarjana harus melalui penggemblengan diri yang lama dalam tradisi ilmiah (Bildung dalam Bahasa Jerman). Dalam tulisan berikut saya ingin berbagi pengalaman terutama bagi adik2 yunior yang telah menyandang gelar sarjana (S1, S2 dan S3) tamatan dari berbagai perguruan tinggi. Sebagai sarjana, barangkali kini anda sudah menjadi PNS, ustaz, militer, pedagang, pengusaha, petani, seniman dan bahkan politikus. Mental dan budaya kesarjanaan dalam profesi2 semacam itu kadangkala tenggelam, hanyut, boleh jadi kembali hampir sama dengan mental dan budaya orang awam, maka saya ingin ‘menegur’ anda. Bila ada kalimat di bawah ini yang agak terasa ‘keras’, maka anggaplah kalimat tersebut sebagai ‘teguran’ dari seorang senior yang telah pensiun dalam rangka mewujudkan perintah Allah ‘wa tawa shaw bil haq’ (saling menasehati dengan benar).

Memang semua kita akan senang bila anda sudah menjadi sarjana. Tentu orang tua dan keluarga anda sangat bangga. Alhamdulillah, artinya anda sudah berhasil meraih gelar tahap2 jenjang akademik, saya ikut bangga pula dengan prestasi2 yang telah dicapai, tetapi capaian gelar seperti itu bukanlah final, bukan pula akhir perjalanan petualangan ilmiah, tetapi awal demi awal bagi keterbukaan ilmiah yang lebih menantang. Bagaimana sebaiknya cara berpikir kesarjanaan? Hal2 apa yang sebaiknya dilakukan? Hal2 apa yang sebaiknya dihindari? Berikut ini kita diskusikan sarjana dan sikap budaya kesarjanaan.

Pertama, menjadi sarjana, baik anda tinggal diperkotaan maupun dipelosok, adalah menjadi sosok pribadi yang seharusnya ‘mempertanyakan tradisi’, bukan sekedar mempertanyakan isi rekening gaji. Artinya seorang sarjana mempertanyakan apa2 yang sudah dianggap benar dalam pengetahuan keseharian oleh masyarakat, bukan asal menerima dan langsung membenarkan apa2 yang sudah dianggap benar, sehingga menjadi sarjana akan menampakkan perbedaan dari cara berpikir orang awam. Maksud saya di sini bukan mempertanyakan IMAN/’AQIDAH, tetapi mempertanyakan pengetahuan empiric, pengetahuan yang bertolak dari pengalaman hidup orang banyak. Menjadi sarjana membawa sikap ‘ragu’ atas ucapan, prilaku orang awam. Contoh bila orang awam membenarkan isi Tik Tok, WA, Facebook, Instagram, maka seorang sarjana sebaiknya ‘ragu’ pada kebenaran isi dunia maya semacam itu.

Maka menjadi sarjana sebaiknya menjaga jarak berpikir, membuat distansi cara berpikir, kritis, tidak asal mem’beo’ dengan pendapat orang lain. Menjadi sarjana keislaman adalah orang yang sangat menghormati pendapat ulama, pendapat ustaz, kiyai, penceramah, buya, tetapi belum tentu sepakat 100% dengan apa yang dikatakan/ditafsirkannya. Sebab penafsiran2 mereka dipengaruhi oleh wawasannya yang bersifat empiric. Wawasan manusia umumnya terbatas. Tatkala berceramah, ustaz seakan sedang mengintip dunia luas dari lobang kecil di dinding rumahnya, jangan sampai kita ikut percaya dengan penafsirannya yang mengatakan bahwa dunia Tuhan ini hanya selebar lobang dinding rumah di mana ia mengintip. Harus dibedakan. Memang kita wajib bersatu dalam ‘aqidah Islamiyah, sebab ia menjadi sokoguru/tiang keislaman kita, tetapi belum tentu menyetujui berbagai interpretasi hal2 keislaman non ‘aqidah yang ditafsirkan oleh pemuka2 agama. Sebab antara penafsiran manusia dan Kalam Allah sangat berbeda. Itu maksud saya bila anda berbudaya sarjana dalam menyikapi hal2 keislaman.

Demikian pula sikap sarjana dalam menyikapi kebenaran politik, kebenaran iklan, kebenaran mistik. Ucapan politikus biasanya sangat cenderung berpihak. Bila anda seorang sarjana dan berbakat politik, tentu tak mudah bersikap netral dalam kata dan prilaku. Saya yakin pasti anda ingin memenangkan ‘kubu’ anda sendiri. Dalam tarik menarik seperti itu, kesarjanaan anda dipertaruhkan. Anda telah dididik di dunia akademik oleh Almamater (Mater=Ibu, dan Alma=Asuh) diajari dengan semangat ilmiah, diarahkan untuk meneliti apa dan siapa saja, dan juga diarahkan untuk mengabdi pada masyarakat. Ini namanya Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kebenaran iklan bermotifkan untung laba. Kebenaran politik bermotifkan kekuasaan. Kebenaran mistik di luar penalaran. Maka kebenaran politik, kebenaran iklan dan kebenaran mistik, sepantasnya bukan diterima begitu saja, tetapi dipertanyakan karena kurang ilmiah. Bila tidak dipertanyakan, maka kesarjanaan anda menjadi ‘suram’. Almamater akan sedih melihat kesarjanaan anda.

Kedua, menjadi seorang sarjana, kata Bambang Sugiharto (guru besar filsafat di Universitas Parahyangan Bandung), orang yang pandai merumuskan cara berpikir sendiri. Pandai membuat konsepsualisasi dari berbagai pengetahuan yang telah diketahuinya. Kelemahan orang awam ialah mereka tak pandai merumuskan pengetahuan yang dimilikinya sebagaimana yang berlaku dalam tradisi ilmiah. Pengetahuan orang awam sepotong2 sehingga tak membentuk suatu kesatuan perspektif yang sudah mentradisi di dunia akademik. Menjadi sarjana dan pandai merumuskan cara berpikir, menurut saya, mirip dengan kepandaian main domino. Kartu 1-6 dihubungkan dengan kartu yang ada 6 ujungnya. Kartu 2-0 dihubungkan dengan kartu yang ada 0 demikian seterusnya sehingga ujungnya, tatkala kartu domino habis, membentuk cara berpikir. Orang awam biasanya tak pandai merumuskan kerangka pikir semacam itu. Misalnya, bila merokok menyenangkan, maka ia terus merokok, dia tidak berpikir causalitas (sebab akibat). Bila tanahnya diserobot, rumahnya digusur, pembelaannya susah dipahami dalam satu kerangka pikir yang koheren secara hukum perdata.

Ketiga, sarjana selalu bersikap mendengar dan menghormati pendapat orang lain, demikian pula pada isi buku, artikel, hasil penelitian orang lain dengan penuh simpati karena sarjana setia pada ilmu pengetahuan, tetapi belum tentu setuju dengan hasil2nya. Belum tentu…ya belum tentu setuju. Pendapat atau hasil temuan orang lain, isi buku semuanya dihormati sebagai The Other (sesuatu yang lain dalam segala keberlainannya dari diri kita) mengutip filosuf Gadamer. Pemikiran orang lain/isi buku/artikel/hasil penelitian dijadikan batu asah, bukan dijadikan kursi empuk untuk duduk megah berbangga dengan kesarjanaan, agar pemikiran kita menjadi lebih tajam. Dalam filsafat Hegel, the Other dijadikan sebagai anti-tesis, sebagai lawan diskusi agar didapat hasil berikutnya yaitu sintesis. Sebab susunannya adalah Tesis, anti-tesis dan sintesis. Nah sintesis yang baru diperoleh harus dijadikan lagi sebagai tesis baru. Terus berulang, terus berulang. Demikian proses yang tak berkesudahan. Jangan merasa puas diri (keilmuan) bila menjadi sarjana. Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi (Hadis Nabi). Pertanyakanlah kebenaran duniawi itu hingga liang lahat, menurut tafsiran saya.

Keempat, menjadi sarjana adalah menjadi teman setia dengan buku, kitab, ensiklopedia, kamus, hasil penelitian, hasil seminar, makalah, artikel dan lainnya. Sarjana membuat ‘silatur rahmi’ lewat artikel, buku dan tulisan lainnya. Sarjana bertemu antar sarjana lainnya via dunia maya. Yang bertemu itu adalah buah pikirannya, hasil penelitiannya, buku karangannya tatkala dibaca oleh sarjana lain. Bagaimana sedihnya bila seorang guru besar tak mampu menulis karya yang berbobot ilmiah dan tulisannya tidak pernah dibaca oleh sarjana lain?

Kelima, menjadi sarjana adalah menjadi panutan di tengah keluarga dan masyarakat. Panutan dalam cara berpikir, dalam cara mengemukakan ide dan dalam cara membawa ilmu pengetahuan ke depan peradaban dunia. Lebih dari itu, yang lebih mulia menjadi sarjana Muslim, di mata masyarakat, ialah bilamana rutin solat berjamaah di langgar atau di masjid. Masyarakat kurang bersimpati nampaknya pada sarjana yang bagaikan ‘mercu suar’, tinggi bersinar sendirian tetapi tak terjangkau oleh orang2 sekitar. Entah kenapa masyarakat selalu mengaitkan ketinggian ilmu seorang sarjana Muslim dengan praktek ibadahnya. Tidak pernah datang solat ke langgar atau ke masjid barangkali akan membuat hati kedua ibu bapa anda di dalam kubur akan sedih. Sebab Hadis Nabi menyebutkan: ‘Waladun sholihin yad’ulah (Anak yang saleh yang mendoakan kedua orang tuanya). Anak yang saleh dalam Hadis tersebut bukan sarjana yang tak pernah ke masjid/langgar.

Sarjana seyogyanya adalah orang yang menuliskan ilmunya. Imam al-Ghazali telah menulis banyak kitab tentang mantiq, ushul fiqh, tasawwuf dan lainnya. Abbas al-‘Aqqad (penulis Mesir modern)telah menulis lebih 100 buku tentang filsafat, agama dan puisi. Hamka menulis Tafsir al-Azhar dari dalam penjara. Karl Marx mengarang bukunya Das Kapital di perpustakaan London sangat lama sehingga anak2nya kelaparan dan ada yang meninggal. Bantuan material, untuk biaya dapur, diberikan oleh temannya bernama Lenin. Penuh penderitaan, penuh pengorbanan. Immanuel Kant sibuk menulis sehingga tak pernah keluar kota seumur hidupnya. Rupanya ketenangan berpikir untuk menulis kadang2 memang harus dijauhkan dari kesibukan rutinitas harian, dari kesibukan berpolitik, dan dari segala macam ‘kegaduhan’ isi kepala. Tidak mungkin akan berhasil menuangkan isi pikiran yang jernih ke dalam tulisan/karangan bila isi kepala sarjana dipenuhi oleh …hal2 yang tak bijak bila saya sebutkan semuanya di sini. Sarjana S1, S2 dan S3 adalah orang yang berhutang menuliskan dan menyebarkan ilmunya untuk orang lain. Bilamana dia meninggal, maka ada pepatah: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Sarjana mati meninggalkan tulisan.

Komunikasi kesarjanaan memang seharusnya ilmiah. Komunikasi sesama orang awam biasanya terkait masalah rutinitas keseharian, tetapi komunikasi antar sarjana adalah komunikasi ilmu pengetahuan. Lantas apa beda ustaz penceramah dengan sarjana? Ustaz penceramah bila berbicara sering melompat ayat2 dan Hadis dari mulutnya, dan orang yang mendengar harus mengiyakannya. Sementara sarjana bila berbicara yang melompat dari mulutnya adalah ilmu pengetahuan, dan orang yang mendengarnya boleh mengangguk atau menggelengkan kepala. Ustaz penceramah sering menyebut nama Allah dan nama Nabi Muhammad saw, sedangkan sarjana banyak menyebut nama sarjana2 lain, pendapat2, buku2, dan teori2 mereka, apakah pendapat orang lain tersebut disetujuinya atau ditolaknya. Sarjana membentuk jaringan komunikasinya mirip tower pemancar, ada tower yang di atas gunung, di lembah, di pinggir sungai, satu sama lain memancarkan sinar gelombang suara intelektualnya. Saling tersambung. Sekali lagi sarjana merajut silatur rahmi lewat tulisan2 ilmiah mereka. Bagaimana dengan kesarjanaan anda?

Seorang sarjana selalu membaca buku. Sekarang bukan buku fisik saja yang tersedia, tetapi sudah ada, katanya, lebih 9 jenis buku elektronik: E-Book, Amazon Kindle, AZW, CHM, EPUB, KF8, Kindle Fire, MOBI, PDF, PRC, PDB, TXT. Jadi tidak beralasan bila seorang sarjana jauh di desa terpencil masih mengatakan bahwa buku tidak ada di sekitarnya untuk dibaca. Itu pola berpikir sarjana lama. Jadul. Yang dibutuhkan di zaman modern ini ialah kepandaian sarjana memilih dan memilah tulisan2 ilmiah yang bertebaran dalam genggaman Smartphone, Laptop, E-Reader dan Tablet. Dunia ilmu pengetahuan sudah semakin dekat. Kuliah di berbagai universitas di luar negeri dapat diikuti dari pelosok desa, dari tengah sawah. Saya sudah mencobanya mendengar kuliah2 yang diberikan di Harvard, Yale dan Oxford. Berbagai Podcast juga bisa diikuti, diantaranya yang menarik bagi saya adalah Yuval Noah Harari di Universitas London dan dia bersama Gita Wirjawan di End Game. Persoalannya mungkin bagi mayoritas sarjana ialah bahasa asing, minat dan waktu.

Maka seorang sarjana di dunia modern selalu tersambung informasi ilmiahnya dengan dunia kampus luar, dengan berbagai hasil penemuan modern di dataran global, selalu terbuka bagi info2 baru yang bertebaran di berbagai literatur cetak dan elektronik. Menjadi sarjana lebih untuk menjadi orang berilmu, berakhlaq mulya dan berwawasan ilmiah dalam keseharian. Ketiga unsur ini jadikanlah sifat melekat dalam diri. Bilamana anda memberi ceramah agama setelah berijazah sarjana, coba pertanyakan isi ceramah anda sendiri: kebenaran empirik yang anda sampaikan dalam ceramah agama adalah hasil perenungan/kontemplasi lilmiah yang mendalam atau sekedar mengulangi isi ceramah2 terdahulu? Bagaimana detak hati sanubari kesarjanaan anda tatkala menjelaskan dikotomi kebenaran normative dengan kebenaran historis?

Barangkali agak mudah menggapai titel sarjana, tetapi susah berbudaya sarjana. Beberapa ruangan kantor ber AC di Kampus UIN Jambi, khususnya, masih nampak dipenuhi asap rokok dengan beberapa asbak yang berisi puntung rokok dan gelas kopi kotor bertebaran. Ruangan kantornya sudah modern, bangunan bertingkat tinggi, menggunakan lift, dan penuh ruangan ber AC, CCTV, serba modern, tetapi budaya sarjananya? Dulu banyak guru besar yang jarang mengajar di S1, mereka lebih banyak mengajar di Pascasarjana, mungkin sekarang telah berobah. Seyogyanya para guru besar mengayomi keilmuan dosen2 muda dalam rumpun ilmu yang diembannya, dahulu belum terlaksana, mungkin sekarang sudah/belum terlaksana. Hidup berbudaya sarjana memang lebih sulit dari pada meraih title sarjana.

Terakhir tugas keilmuan sarjana Muslim ke depan, diantaranya, ialah bagaimana cara ‘membalikkan’ metode pembacaan Kitab Suci yang sudah sangat dibebani dengan metode bayani. Kenapa demikian? Sebab seringkali pembacaan bayani atas Kitab Suci akan berujung pada Truth Claim (Kebenaran Sepihak) kata Prof. Amin Abdullah. Kebenaran sepihak mungkin dalam bahasa Jawa: Nek ngono yo wis ngono. Muhammaed Arkoun telah memikirkan hal tersebut tetapi nampaknya belum membuahkan hasil. Nasr Hamid Abou Zaid juga merisaukan hal yang sama, apalagi al-Jabiri. Menjadi sarjana Muslim sekurangnya mengetahui dan memahami ‘kerisauan’ para pemikir Muslim tersebut. Ringkasnya, menjadi sarjana adalah menjadi orang yang ‘tune’ (selalu nyambung) dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pemikiran para tokoh Muslim kontemporer. Menjadi guru besar itu mengemban tugas untuk mendialogkan pemikirannya via lintas budaya, lintas bahasa, dan lintas agama. Mungkin persoalannya bagi sebagian guru besar untuk berkontribusi ilmiah pada tingkat global ialah bagaimana mendialogkan epistemology dengan bahasa asing yang ilmiah. Ini berat.

Maka sarjana modern adalah orang yang mau berkomunikasi keilmuan dengan guru2 besar luar negeri dan dalam negeri. Bilamana anda masih merasa minder (rendah diri), mengisolir diri, maka perbaikilah mental intelektual anda sekarang. Sarjana adalah orang yang berani bilang ‘Haa ana dza’ (Inilah aku) dalam dunia ilmu pengetahuan. Ingat, Almamater hanya bisa memberi anda title sarjana, tetapi tidak bisa memberi budaya sarjana.

Demikianlah diskusi kita Jum’at ini pembaca setia. Terimakasih sudah membaca tulisan saya, dan selamat berjuang menjadi sarjana ke level yang lebih tinggi. Pamit, Wassalam. Uthlubul ‘ilma….ojo isin2. Bila sarjana tidak berbudaya ilmiah, tentu bukan salah bunda mengandung.

*Silakan Share