UJIAN TERTUTUP S3


Yogyakarta, Jum’at, 19 July 2024

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Mungkin jarang sekali seorang promovendus menuliskan pengalaman ujian disertasinya, tetapi bagi saya yang senang berbagi pengetahuan, tetap ingin berbuat, kendati disertasi saya adalah buah dari program S3 by Research. Ujian Tertutup memang sudah dilaksanakan di ruang ujian Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada hari Senin tanggal 15 July 2024 pukul 13.00 hingga 15.00 siang. Maaf info detailnya tidak bisa saya berikan. Tulisan berikut anggaplah sebagai sumbangan bagi adik2 yunior karena saya ingin maju bersama agar mereka juga mendapat sedikit informasi mengenai Ujian Tertutup, khususnya teman2 di Jambi. Apa dan bagaimana ujian S3 tersebut berlangsung serta bagaimana arah pertanyaan2 para penguji yang terdiri dari sederetan guru besar ternama? Saya akan senang bila anda sudi membacanya dan memperoleh hikmah agar dapat mengatur strategi penyelesaian program doktor anda dengan cepat. Mari kita mulai!

Sekali lagi diulangi bahwa saya tidak akan menyebutkan nama2 setiap guru besar/penguji di sini, mungkin juga tidak etis. Saya akan menganalisa beberapa pertanyaan ujian tertutup dari sudut pandang filsafat eksistensialis Heidegger. Yang penting sikap kita jangan lagi membicarakan orang tetapi membicarakan ‘pemikiran’ orang, mengikuti nasehat Socrates.

Pertama, ditanyakan oleh seorang penguji mengapa disertasi saya berjudul SENI MEMAHAMI TEKS DALAM FIKIH MUHAMMADIYAH? Apa maksud kata ‘SENI’ di sini, kenapa tidak TEORI/METODE? Saya jawab, bahwa kata SENI pada disertasi tersebut bermakna ontologis. Ia tidak tepat bila dipahami menurut arti biasanya. Ia bukan menunjuk kepada arti Seni yang berlandaskan teori atau mazhab seni tertentu seperti aliran2 seni kontemporer: realis, naturalis,….sebab Heidegger memahami kata SENi bukan pada estetikanya tetapi pada HUBUNGAN antara seni dan kebenaran. Jadi arti kata SENI di situ bermakna PENYINGKAPAN. Dengan arti seni semacam itu, pembacaan teks oleh reader akan menyingkapkan pengetahuan yang tak terduga sebelumnya (di luar sangkaan semula), Seni bagi Heidegger adalah ’disclosure’ (penyingkapan): kepiawaian pembaca bagaimana cara menyelami pengalaman yang terkubur dalam pesan2 karya seni tersebut dengan cara berdialog, bukan dengan cara ‘menundukkan’ karya seni tersebut menurut pengetahuan kita. Sebab setiap karya seni mengandung unsur empiric (pengalaman/khibrah) di dalam dirinya dari masa lalu yang ingin dikomunikasikannya kepada kita sebagai penikmat keindahan karya seni hari ini. Jam Gadang di Bukit Tinggi atau tugu Monas di Jakarta sebetulnya membawa pesan2 dari masa silam jauh sebelum anda lahir, ia punya sejarahnya sendiri (Ini disebut Sitz im Leben dalam Bahasa Jerman), jadi ia jangan hanya dilihat sebagai objek wisata, lokasi selfi2, mirip cara penglihatan anak2 zaman now. Bila cara memahami teks seperti cara Heidegger, maka nilai qira’ah muntijah/bacaan produktif terletak di situ. Nash al-Qur’an dan Matan Hadis juga mirip dengan karya SENI. Ada banyak pengalaman Rasul saw yang sebenarnya terkubur dalam ayat al-Qur’an dan Hadis yang seyogyanya digali agar tercapai purifikasi (pemurnian) dengan cara berdialog ala Socrates, tetapi bagi ulama Muhammadiyah ayat dan Hadis malah diobjektivasi (ditundukkan menurut kesepakatan/pemahaman kolektif dalam sidang2 Tarjih dengan metode yang mereka sebut dengan Istiqra’ Maknawi). Jadi arti kata SENI dalam disertasi saya lebih bermakna ontologik (aktif menggali kebenaran ke ‘hulu’ bukan mengobjektivasi di ‘hilir’). Atas cara berpikir semacam itu, maka Purifikasi ala Muhammadiyah patut dipertanyakan, sebab ia sarat dengan historitas para ulama yang menafsir dan mentarjih).

Kemudian ada pula yang bertanya tentang konsep Prasangka (Prejudice/Vorurteil dalam Bahasa Jerman). Saya jawab bahwa ini adalah salah satu konsep hermeneutika filosofis Gadamer yang juga diambilnya dari Heidegger. Arti Prasangka ialah, bukan prasangka baik/buruk, tetapi ia adalah modal awal bagi setiap orang tatkala ia mulai memahami sesuatu. Modal awal yang wajar… ada. Misalnya bila anda memasuki masjid, tertulis di situ BATAS SUCI.Tempat Berwudhu’. Maka secara spontan anda, secara eksistensial, akan bersikap sambil memahami dalam hati: Apa ini? Jawabnya Batas Suci. Kemudian apa yang akan anda peroleh? Jawabnya saya harus buka sandal dan boleh berwudhu’ di tempat ini. Kemudian muncul pertanyaan ketiga, lantas anda akan teringat apakah akan berwudhu menurut fikih Syaf’iyyah (usap 3 helai rambut) atau menurut fikih Hanafiyah (usap seluruh rambut hingga kuduk). Jadi ada konsep yang digunakan. Prasangka semacam itu selalu melekat dalam diri kita terhadap berbagai hal walaupun dalam keseharian, apalagi di saat akan membaca teks. Ketiga sikap di atas dalam istilah Heidegger disebut Vorschicht, Vorhabe dan Vorgrijff dan konsep2 ini di ambil oleh Gadamer kemudian. Ya begitulah penjelasan saya, mudah2an anda tidak ‘pusing’ memahaminya.

Bagaimana dengan laptop saya yang dicuri di dalam bus sleeper Sinar Jaya (Jkt-Yogya)? Untunglah tidak ada yang bertanya. Sebenarnya saya sudah siap dengan jawaban bila nanti ada pertanyaan dari penguji: Mengapa tidak pakai laptop? Saya dalam hati sudah siap dengan jawaban dengan meniru kata2 ayahnya Gadamer (seorang Profesor fisika di Jerman) bahwa kajian filsafat sebetulnya bidang garapan professor gossip (Geistes wissenschaften). Lain hanya dengan bidang keahliannya ilmu alam dan fisika (Natuurwissenschaften). Sebab itu biarlah saya tak usah memakai laptop. Laptop diperlukan bila hasil penelitian penting untuk menjabarkan data2 hasil penetian dengan power point, sementara hasil penelitian saya hanyalah bidang karya ‘gossip’. Apakah anda percaya bahwa filsafat hanya gossip?

Yang menarik lagi untuk disimak ialah sikap bijak kedua promotor saya. Tatkala diberikan waktu untuk bertanya oleh Ketua Sidang, kedua promotor saya secara bergiliran nampak tidak bertanya kepada promendeus, tetapi salah seorang promotor hanya sekedar menjelaskan di mana selisih bidikan objek kajian saya. Yang saya bidik adalah hal-hal apa yang menggiring ulama Muhamamdiyah dalam membaca teks, dan apa yang terjadi tatkala pemahaman berlangsung menyimak Gadamer? Promotor saya menjelaskan bahwa posisi Gadamer begini, sementara posisi cara memahami teks oleh ulama Muhammadiyah begini. Promotor tersebut menjelaskan satu persatu dengan bijak, nampaknya sambil merangkum butir2 pertanyaan penanya terdahulu secara tersirat. Bagi mereka yang bijak tentu akan melihat bahwa di situlah jawabannya. Tidak ada pihak yang disalahkan, dan tidak ada pertanyaan yang dilecehkan, tetapi saya (bimbingannya) merasa dibela. GR (Gde Rasa) sendiri. Bijak sekali cara menjawabnya. Salut dengan promotor saya. Kita pantas menirunya dalam menguji skripsi/tesis mahasiswa. Dia sudah berpengalaman sebagai Saksi Ahli dalam kasus Ahok.

Demikian pula promotor saya yang satu lagi. Sikap bijaknya sangat menonjol. Saya baru kali ini mengikuti ujian tertutup dan tidak tahu kiat dan metode ujian S3 selama ini. Ternyata para guru besar sebagai otoritas kampus memang orang2 bijak dalam dunia akademik. Sebagai promotor dia hanya menggaris bawahi terdapat beberapa kesalahan teknis penulisan dalam disertasi. Misalnya, katanya, UIN Yogya menggunakan system penulisan Amerika. Bila menulis angka di belakang kutipan, maka biasanya di ujung kalimat diberi titik terlebih dahulu, kemudian baru ditulis angka (nomor kutipan). Saya sadar diri, bahwa penjelasan promotor seperti ini adalah jawaban yang normative, di mana dia memposisikan pertanyaan para guru besar terdahulu sangat bernilai, dan dia hanya merangkum secara general bahwa demi menjaga Marwah UIN Yogya di mata pembaca umum di luar nanti, maka tolonglah dijaga system penulisan disertasi yang telah diatur. Artinya, sang promotor ini sangat menghargai kawan dan tidak pula mempermalukan hasil kerjaannya sendiri yang terbukti pada hasil kerja promovendusnya. Jujur saya katakan di sini bahwa kedua promotor saya tak pernah sebelumnya mempermasalahkan system penulisan saya tatkala bertemu muka, tak pernah ada revisi, coret sana coret sini, semua mungkin dianggap sudah saya ketahui. Yang terjadi dalam sekian kali tatap muka hanya bertukar pikiran secara keilmuan. Mengagumkan sekali.

Bagaimanapun juga di mata saya semua penguji yang saya hormati masih terjebak pada Cartesian. Jarang sekali terdengar pembicaraan yang mengarah kepada diskusi yang akan memperluas tebaran cakrawala (Fusion of Horizons/Horisonvermeltzung). Mungkin juga tradisi akademik UIN semacam itu, sehingga I (Aku) adalah subjek penilai atas Thou (Kamu). Yang saya tunggu2 adalah bagaimana sudut pandang filsafat Gadamer yang saya usung di dalam disertasi diperdebatkan oleh para penguji, sehingga wawasan saya bertambah luas, sebagaimana juga horizon penanya juga bertambah luas, tetapi yang terjadi bukan demikian. Saya merindukan ‘adu tinju’ di ‘ring tinju dunia akademik’ dengan dua orang pakar hermeneutik: Prof. Amin Abdullah dari UIN Yogya atau Prof. Komaruddin Hidayat dari UIN Jakarta, tetapi sayang belum terlaksana. Prof. Amin Abdullah saya katakan dalam disertasi lebih cenderung kepada Global Ethics Immanuel Kant dan ada sinyal ingin menggeser konsep kesalehan pribadi Imam al-Ghazali. Pemikirannya kemudian berpengaruh pada Seni memahami Teks oleh ulama2 Muhammadiyah. Patut diduga, mungkin di mata otoritas akademik, profil saya masih pada level petinju Eliyas Pical yang belum saatnya melawan level World Champion Muhammad Ali. Dan barangkali ujian tertutup juga bukan saat yang tepat untuk memperluas tebaran cakrawala. Yang terasa adalah saya digiring bersama oleh team penguji disertasi ke arah tradisi akademik di mana Truth terkubur di dalamnya. Truth tersebut diobjektivasi dan dipertahankan oleh mereka sebagai Otoritas Kampus. Dalam hati saya bertanya: apakah mayoritas para penguji ini mengerti dan paham tentang filsafat Gadamer? Sebab seorang promotor saya pernah mengakui sebelumnya bahwa membaca buku2 filosuf Jerman seakan berputar-putar, susah dengan cepat menemukan kerangka pikirnya, katanya, berbeda dengan buku2 karangan penulis Amerika. Maka saya yang diuji cenderung bersikap Gadamerian sementara yang menguji umumnya cenderung Cartesian.

Apakah saya berbahagia dengan ujian ini? Saya sangat berbahagia dan mendapat banyak komentar dan masukan dari para guru besar. Tetapi sejak dari semula saya sudah merindukan akan diuji oleh dosen/guru besar filsafat dari Universitas Gajah Mada atau dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya. Saya tunggu-tunggu..tetapi nampaknya tidak ada yang diundang, mungkin otoritas Pasca Sarjana UIN Yogya punya pertimbangan sendiri. Amhar masih kelas Eliyas Pical.

Ada suatu hal yang lucu. Seorang penguji mempertanyakan mengapa Ucapan Terimakasih saya dalam Kata Pengantar dalam disertasi seakan menghargai sekali jasa tukang foto copy. Pertanyaan serupa pernah dilontarkan pula oeh adik kandung saya di Pekan Baru sebelumnya. Saya jawab bahwa jasa tukang foto copy tersebut sangat tak terhingga. Di saat saya kebingungan sendirian di ruang foto copy di belakang UIN, tak seorangpun mau membantu mengetik computer sementara waktu deadline penyerahan disertasi hingga jam 3 sore, kantor akan tutup. Banyak ketikan yang harus dirapikan. Saya betul2 bingung dan tak paham cara kerja computer2 rental di ruang foto copy tersebut. Untunglah pemiik toko foto copy (boss) mau duduk menanyai dan membantu mengetik/merapikan disertasi saya. Saya sangat tergugah oleh kebaikann hatinya. Ah..itu hal biasa, kata orang. Sudah sifat orang Jogja ramah2. Iya, bila anda bukan seorang Gadamerian. Anda ibarat seorang dokter. Menurut Gadamer, seorang dokter hanya mengerti tentang sakit pasiennya, tetapi tidak MENGALAMI ‘rasa sakit’ pasiennya. Anda mungkin termasuk dokter yang Tidak Mengalami Rasa Sakit si pasien mirip dengan penguji tersebut..hanya tahu ARTI sakit saja. Jadi Ucapan Terimakasih kepada tukang foto copy dalam Kata Pengantar disertasi saya nampak lucu tetapi sebenarnya bermakna eksistensial.

Terakhir, apa faedah belajar ilmu keislaman hingga S3? Apa yang nampak setelah usai menulis disertasi? Mungkin bagi tiap orang akan berbeda jawabannya. Namun bagi saya pribadi,S3 bukan untuk mengejar jabatan, bukan…tetapi belajar hingga S3 punya nilai2: melunasi hutang (kesarjanaan) saya kepada alm. Munawir Syadzali (Menteri Agama) yang beberapa kali berdiskusi dengan saya sewaktu beliau di Canada, Pak Zaini Muhtarom, Pak Murni Djamal (Pejabat2 Kemenag yang telah mengirim saya ke McGill), alm. Prof. Minhaji (inspirator awal penelitian ini), Prof. Taufik Abdullah yang menyuruh saya belajar hermeneutic sewaktu beliau di McGill, serta ‘pesan’ alm Buya Syafi’i Ma’arif di rumahnya di Nogotirto (Yogya) agar saya cepat2 menyelesaikan disertasi, dan semua anak isteri serta sanak saudara2 yang telah mendukung.

Lebih jauh, belajar hingga S3 sangat membuka cara pandang keilmuan. Ia ‘seolah olah kepala dan rambut saya yang sedang terendam, lalu ditarik oleh dunia pengetahuan ke atas permukaan air yang penuh dalam drum’. Artinya, saya yang semula berpandangan sempit dalam memahami Islam, sangat normative, bersudut pandang binary (hitam-putih), sekarang lebih terasa lega melihat alam ‘di luar drum’. Dengan kata lain bisa melihat dan mempelajari berbagai perspektif para ahli keislaman, dan menghargai orang lain yang beda agama kendati dengan perspektif dan credo yang berbeda. Anda sendiri bagaimana? Mari kita belajar!

Dapat disimpulkan tulisan di atas bahwa proses Ujian Tertutup S3 saya khususnya nampaknya masih dalam tradisi Cartesian dan konsekwensinya agak susah untuk dapat melihat ‘ufuk baru’ Peleburan Cakrawala dari sederetan tanya jawab. Memang tradisi akademik kita umumnya masih menundukkan Thou (Kamu) oleh I (Saya), dan memang wajar demikian karena ia adalah Ujian Tertutup.

Demikianlah pembaca Budiman, terimaksih sudah membaca. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah. Mohon pamit, Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi

*Silakan Share