HTW (HARTA,TAKHTA,WANITA)


Yogyakarta, Jum’at 12 July 2024

Assalamu’alaimum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca setia baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Heboh saat ini akibat media massa yang telah membeberkan kasus asusila yang menjerat (mantan) Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Hasyim Asy’ari (H.A). Istilah HTW (Harta Takhta Wanita) pada judul di atas sebenarnya sudah umum diucapkan, sudah tidak asing didengar di tengah masyarakat. Yang membuat saya ikut tertarik untuk membahasnya di sini bukan ‘berita sensasional’nya, tetapi segi ilmu pengetahuannya (segi bijaknya). Pengetahuan tentang cara2 berpikir orang (cara berpikir pejabat negara, praktisi hukum, wartawan, netizen dan lainnya). Cara berpikir orang lain yang patut disimak sesuai anjuran Socrates: 1. jangan suka membicarakan pribadi ORANG (gossip), 2. jangan suka membicarakan PEKERJAAN orang 3. tetapi bicarakanlah apa yang DIPIKIRKAN orang! Ya, it’s REASONING (penalaran). Yang ke 3 inilah yang dirasa bijak untuk dipilih dalam tulisan berikut. Bila anda sibuk, tidak usah dibaca tulisan saya ini, tetapi bila anda tertarik, saya sangat gembira dan berterimakasih. Mari sama2 kita diskusikan!

Pertama, sudut pandang. Orang tua saya pernah dulu menasehati waktu saya kecil. Hai anakku: ‘Biasanya laki2 akan mudah terjerumus kepada tiga hal (pitfalls): HTW (Harta, Takhta, Wanita)’. Setelah 67 tahun berlalu, saya berbeda dengan pemahaman Bapak saya, HTW itu sendiri bila dipikir sebetulnya tidaklah berbahaya, sebab ketiganya di luar diri subjek (objektif). Yang berbahaya, menurut saya, ialah tatkala nafsu pribadi si subjek melangkahi/violate/transgress nilai2/value dan aturan2 formal/code etik yang sudah mapan/established untuk memenuhi hasrat pribadi, apalagi dilakukan oleh seorang pejabat negara. Jadi masyarakat marah tatkala norma/akhlaq dilanggar oleh siapapun (yang ketahuan?) Masyarakat/netizen itu adalah Reader (pembaca) yang memiliki sudut pandang yang ditopang bersama. Singkat kata, kemarahan masyarakat bukan karena HTW, tetapi karena ‘melanggar’.. ..dan ‘ketahuan’.

Kedua, kronologi kejadian. Dikutip dari berbagai media massa, Hasyim Asy’ari diberitakan punya tugas ke Belanda sekitar tanggal 3 Oktober 2023 dan menyuruh seorang perempuan, mungkin sudah kenal sebelumnya, bernama CAT (Cindra Aditi Tejakinkin) anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dari Den Haag untuk datang ke hotel Van der Valk di Amsterdam di mana Hasyim Asy’ari (Ketua KPU RI) menginap. Menurut pengalaman saya yang pernah bekerja di Belanda (1979), Amsterdam-Den Haag itu dekat (lebih kurang Depok-Monas). Di malam hari, setelah lama2 berbincang tentang berbagai hal, H.A dikatakan mengajak dan akhirnya memaksa CAT untuk melakukan hubungan badan, ini menurut media massa. Usai berhubungan H.A katanya berjanji akan menikahi CAT, dan janji tersebut kemudian selalu ditagih CAT sejak tahun lalu, tetapi janji tinggal janji. H.A katanya tak sanggup memenuhi janji tersebut atau tak memberi kepastian. Karena tak ada realisasi janji, katanya, CAT lantas membuat semacam Surat Pernyataan untuk disetujui oleh H.A, isinya: 1. Menanggung biaya hidup di Indonesia dan di Belanda Rp 30.000.000/bulan. 2. H.A harus menelpon minimal sekali sehari kepada CAT selama hidup. 3. Kemudian ada pula berita bahwa CAT meminta uang Rp 4 M kepada H.A. Menurut DKPP isi surat Pernyataan H.A kepada CAT No.1 di atas layaknya mirip surat kesepakatan jaminan antara suami-isteri (Prenuptial Agreement) yang tidak patut dilakukan oleh H.A sebagai pejabat negara. Pertanyaannya mungkin begini: Apakah ada saksi? Ya ada, menurut saya ada 3: kamar hotel (saksi tapi bisu) dan Tuhan (saksi Maha Mengetahui tetapi tidak bisa diinterrogasi). Saksi lainnya? ‘Rumput yang bergoyang’ mengutip nyanyi Ebiet…ya ‘rumput…bergoyang’. Terserah anda untuk menafsirkan saksi2 di atas tetapi jelas tak bisa digunakan sebagai saksi hukum.

Ketiga, kasus terus bergulir. Tidak terima dengan perlakuan H.A akhirnya CAT bersama pengacaranya mengadukan hal tersebut kepada apa yang dinamakan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) di Jakarta, ketuanya bernama Heddy Lugito (lahir 1960 di Boyolali) dan salah seorang anggotanya adalah tokoh ternama J. Kristiadi. Setelah bersidang dan mempertimbangkan berbagai barang2 bukti akhirnya DKPP memberhentikan ‘tetap’ H.A (5 July 2024) dari jabatan sebagai Ketua KPU R I, untuk selanjutnya menunggu keluar Surat Pemberhentian dari Presiden, dan saya dengar di TV tadi malam, memang sudah keluar. Beberapa ahli melihat kasus ini sebagai ‘pintu masuk’ kepada deretan berbagai tindakan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan jabatan oleh H.A. Coba lihat, dalam hal ini ada ‘pengarang’ berita.

Keempat, bagaimana selanjutnya? Di sini mulai kita simak cara orang menalar (reasoning) dari segi hukum. CAT dikatakan hanyalah pegawai (bukan pimpinan) di PPLN tersebut. Dia juga dikatakan oleh pengacaranya memiliki pekerjaan tetap di Belanda, tinggal di apartemen dan juga dikatakan memiliki mobil sendiri yang lebih bagus dari mobil pengacaranya. Ini kata pengacara. Siapa pengacara CAT? Ia adalah Aristo Pangaribuan, Ketua lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum dari Universitas Indonesia (UI). Sebaliknya, Hotman Paris Hutapea (Pengacara kondang), bukan pengacara CAT, heran dengan sikap CAT. CAT dikatakan sebagai korban asusila, kata Hotman, kenapa ia tak malu tampil di depan umum, tidak pakai masker, dan tidak menutup diri sebagaimana korban ‘sexual harassment’ umumnya? Hotman juga mempertanyakan keputusan DKPP yang memberhentikan H. A karena alasan telah memaksa seorang perempuan berhubungan badan? Barangkali Hotman mempertanyakan apa yang salah bila seorang laki2 berhubungan badan dengan perempuan? Akhirnya Hotman Paris meminta agar Presiden Jokowi berhati2, jangan cepat2 menanda tangani Surat Pemecatan H.A. Sebelum menanda tangani surat tersebut, Hotman meminta Presiden mengecek lebih dulu apakah benar CAT sebelumnya telah mengirim WhatsApp yg isinya meminta H.A untuk mengecek kesehatannya karena dia dikatakan sedang mengidap penyakit kelamin tertentu yang hanya ada di Asia. Sekiranya memang ada chat tersebut dari seorang perempuan kepada seorang laki2, lanjut Hotman, maka yang dipertanyakan ialah apakah hubungan badan tersebut dipaksakan atau suka sama suka? Ini contoh bernalar praktisi hukum yang patut kita pelajari.

Lain lagi bernalar secara sosiologis. Bila ditanyakan kasus ini kepada ustaz/ kiyai,.. mungkin akan malu kiyai. Kenapa? Sebab nama Hasyim Asy’ari bagi kiyai adalah nama besar, nama terhormat terkait dengan nama pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari yang sekarang memiliki pengikut jutaan orang di Indonesia. Tidak sewajarnya seorang yang menyandang nama besar tersebut berbuat asusila, apalagi H.A dulu pernah mondok di pesantren. Tetapi apa boleh buat, apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Orang yang bernama Muhammad juga pernah mencuri ayam, apalagi yang bernama Slamet, ada yang putus badannya tertabrak kereta api. Yang sukses mungkin Soekarno (Karno/Telinga=pidato) dan Soeharto (Harto=harta). Bagaimanapun juga, ‘nama’ adalah doa orang tua untuk bayinya, hanya si anak setelah dewasa kadang2 masuk perangkap dan dihujat masyarakat karena ‘apes’ (sial/ketahuan). Perangkap itu bernama Harta, Takhta dan Wanita. Tetapi yang aneh, Ketua koordinator ASWAJA (Ahlus Sunnah wal Jamaah) NU bernama Nur Khalim, bukannya marah mendengar seseorang telah mencemari nama besar pendiri NU, tetapi malah berkomentar. Menurutnya kasus ini merupakan rentetan intrik politik. Sebab sebelumnya H.A disebut2 sudah terkait kasus Wanita Emas, menurut media massa ia bernama Hasnaini, dan sekarang giliran CAT yang merupakan agen untuk menjatuhkan H.A, katanya. Terlihat di sini, lain nalar hukum, lain lagi nalar sosiologis. Saya juga punya nalar sendiri: ada api ada asap, asap keluar dari api. Dan ‘asap’ itulah yang membuat mata pedih, bukan api. Artinya, pelanggaran moral itulah yang bikin Reader heboh, bukan HTW.

Sekarang mari kita diskusikan kasus tersebut dengan telaah hermeneutik oleh Prof. Amin Abdullah. Guru besar tersebut pernah menjelaskannya dengan memberi contoh2: kasus Bupati Garut Aceng, kasus Syaikh Puji di Boyolali, kasus Machicha Mukhtar dengan mantan Mensesneg Moerdiono dan kasus AA Gym. Semua kasus2 tersebut selalu terkait Triadik (3 hal): Text, Author (Pengarang) dan Reader (Pembaca). Ketiganya saling terkait. Dalam kasus H. A di atas, bila ditinjau dari penjelasan Prof. Amin Abdullah, Teks nampaknya adalah Kejadian di Den Haag dengan segala berita yang berkembang di media massa hingga hari ini. Authornya adalah H.A, CAT, Pengacara, DKPP. Dan Readernya adalah netizen, masyarakat Indonesia yang mau meluangkan waktunya membaca kasus ini, termasuk saya dan …anda juga. Ha…ha…Lantas bagaimana relasi Triadik di situ? Berita yang dikatakan asusila tersebut di’buat’ oleh si pengarangnya. Aktor2 tersebut bertindak sebagai Author bagi sumber2 teks. Sementara netizen, anda dan saya adalah ‘pembaca’ (Reader) yang cenderung menghakimi, memberi penilaian, melontarkan ocehan, omelan, sesalan, dan komentar2 terutama di dunia maya sesuai isi kepala masing2. Ingat, HTW menjadi text tatkala terjadi transgress moral dan kemudian dikarang ceritanya oleh kelompok para Author, demikian dijelaskan oleh mantan Rektor UIN Yogya tersebut. Triadik hermeneutik semacam itu, bila dipikir dalam2, akan membantu menyadarkan diri kita sebagai ‘hayawan natiq’ (hewan berpikir): untuk mementukan posisi kita sendiri. Maka bagi saya, tergelitik oleh Triadik hermeneutik semacam itu, isi kepala saya diarahkan kepada anjuran Socrates No.3 di atas. Anda sendiri gimana?

Seterusnya uraian berikut jauh lebih filosofis, akan banyak istilah teknis, mungkin tak usah anda baca (khusus adik2ku, anak2ku dan Mhsw2ku) bila rumit memahaminya. Menurut Roland Barthes, teks itu bisa menjadi bola liar, ia menggelinding kesana-kemari, dan pengarangnya sudah ‘mati’ (lepas tangan). Teks itu sekarang bukan milik Author lagi: berita sudah menjadi milik netizen. Bila diingat, filosuf pernah bilang bahwa setiap pernyataan atas realita sebetulnya juga berisi fiksi. Dalam dunia ilmiah/saintifik sekalipun, kata Feyeraband, dunia ilmiah ternyata juga sok ilmiah, sok metodis, padahal scientifique methods penuh dengan imajinasi dan intuisi dan dibantu juga dengan ilmu2 non-saintifik. Umumnya di dalam teks, ada unsur pengalaman nyata (Lebenswelt) dan ada pula unsur tafsir atas pengalaman nyata (Pengetahuan). Sementara penafsiran kita atas teks biasanya didahului oleh penafsiran kelompok. Anda ikut menyalahkan H.A atas tuduhan CAT yang telah dibenarkan/diverifikasi oleh kelompok DKPP, disalahkan oleh ceramah2 ustaz, dan disebarkan oleh kelompok media massa. Ya kita ikuti. Bila anda tidak mengikuti pandangan orang banyak semacam itu, lantas anda dan saya akan memperolah berita/kebenaran dari mana? Maka salah satu ‘mesin’ tafsirnya adalah kebudayaan. Kebudayaan disini termasuk pandangan keagamaan kita, moral, nilai/value di mana kita bisa menyalahkan H.A dari segi ajaran agama dan DKPP menyalahkan H.A atas penyalahgunaan fasilitas jabatan negara. Dan pengacara bekerja mengungkit2, menanyai, menganalisa berbagai segi (delik hukum) yang bisa secara hukum menggiring si H.A untuk dijatuhi vonis. Bahkan kalau bisa CAT ditunggu apakah mau dia melanjutkan kasusnya ke Polisi, sebab ini adalah Delik Aduan: bila CAT tidak mengadukan H,A ke polisi, ya kasusnya tidak digubris. Pasar konsumen hukum jadi sepi. Pengacara boleh jadi memilih mana konsumen yang punya dampak2 besar (financial, nama, politis dan lainnya).

Pengacara dan hakim adalah Author yang membuat sensasi berita, berita benar atau juga berita fiktif, boleh jadi ada vested interest. Cara berpikir pengacara, yang menarik bagi saya, ia melihat kasus ini bukan hanya di segi asusila saja, tetapi lebih jauh kepada pemanfaatan jabatan negara untuk kepentingan pribadi. Maka pengacara juga mengeritik mobil2 yang biasanya tulalet bersirene lari kencang di jalan2 raya sehingga rakyat pengendara umum pada minggir, bagaimana bila untuk urusan yang ‘gituan’, sambil menunjuk kepada tindakan H.A yang telah menggunakan mobil fasilitas negara kita di Negeri Belanda.

Yang dilanggar oleh HA sebenarnya bermula pada code etik sebagai pejabat negara, dan dia salah seorang yang ‘apes’ (bernasib sial karena kasusnya terbongkar). Setelah author (CAT, HA, DKPP, pengacara) mengarang teks, maka Reader (netizen dan bangsa Indonseia umumnya) mulai bereaksi keras, bukan karena code etik saja, tetapi karena telah melanggar akhlaq. Code etik buatan manusia untuk kebutuhan internal, sementara akhlaq turun dari Allah sebagaimana dipraktekkan oleh Rasul saw untuk ditiru. Code etik (particular), dan Akhlaqul karimah (universal).

Demikianlah dunia teks (kasus mantan ketua KPU). Teks tersebut dilontarkan semula oleh si CAT dan H.A, kemudian dikarang terus oleh pengacara, diperluas dan di dalami oleh media massa, dan DKPP, sehingga netizen sebagai Reader merasa berhak menghakiminya. Jadi DKPP bukan sebagai Reader? Bukan, bila dilihat dari penjelasan Triadik Hermeneutik Amin Abdullah, sebab DKPP itu ikut berperan mengarang cerita/teks (menggali/memperkaya isi teks/memberikan putusan). Selanjutnya teks dibaca oleh Netizen yang mewarisi konsep HTW dari nenek moyang dan juga mewarisi nilai di belakang HTW. Bilamana ada terdengar istilah Harta Takhta dan Wanita, sebenarnya ia adalah menunjuk kepada ‘lobang’ (pitfall/perangkap) yang sering menjerumuskan seseorang sehingga terperosok. Maka ada pesan moral bagi siapa saja di dalamnya (khusus buat anda dan saya yang telah sudi membaca tulisan saya tiap pagi Jum’at)).

Ibarat patung Pancoran yang sedang menunjuk di Kalibata, Jakarta, HTW berada di telunjuk patung tersebut, dan kita harus memandang, mengutip Quraysh Syihab, bukan ke telunjuknya tetapi jauh kepada ‘apa yang ditunjuk’ oleh patung tersebut, yaitu pesan moral. Kemarahan dan hujatan Reader adalah karena H.A melanggar norma2 yang sudah mapan yang selalu ditujukkan oleh patung Pancoran tersebut. Norma2 akhlaq tersebut ibarat jaring laba2, Reader murka dengan berbagai cara (terutama di mass media, di kantor2 KPU seluruh Indonesia dan di warung kopi) karena jaring laba2 yang sudah dibuat oleh nenek moyang lantas diputus, diinjak oleh si H.A, padahal jejaring tersebut dinilai suci, kudus, beradab, penuh makna, ia dihormati bersama. Sekarang terbukti, sebagai Significance of Issuenya, ‘honesty’ itu bukan berhubungan dengan kecerdasan cognisi saja, tetapi juga dengan kecerdasan spiritual kata orang bijak. Akhirnya kita sebagai Reader sebaiknya ke depan lebih bijak: mari ikuti nasehat Socrates yang ke 3 (di atas) dan saya akan senang bila kita bermitra ke arah sana. Di situlah Titik Temu kita dengan ceramah ustaz2/buya/kiyai, hanya saja lewat jalur yang berbeda.

Demikianlah pembaca budiman, mohon maaf bila ada kata2 yang salah tulis, pamit. Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share