TULISAN(TEXT)…..MILIK SITUASI KEBENARAN belum tentu dalam HADIS SOHIH?


Jum’at, 14 Juni 2024

Assaalamu’alaikum wr,wb. Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Ank2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman baik Muslim maaupun non-Muslim di mana saja berada. Setiap hari kita bergaul dengan teks (tulisan). Teks uang rupiah, teks hp, teks surat2 di kantor bahkan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya penuh dengan teks. Lalu apa itu teks? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), teks adalah naskah yang berupa kata2 asli dari pengarang. Teks (berasal dari bahasa Latin textus) artinya ‘anyaman’. Textile artinya anyaman benang2 sehingga ia berbentuk kain. Tikar dahulu biasanya terbuat dari anyaman daun2an, rotan dan plastik. Sedangkan teks dalam tulisan ini adalah anyaman fenomena2 yang terlihat dan mungkin juga yang tak terlihat dari mana penafsiran2 bisa dibuat oleh manusia. Contoh, kubah mesjid adalah teks. Longsor di Lembah Anai Sumatera Barat juga teks. Presiden Iran meninggal karena helikopter yang membawanya jatuh, ini juga teks. Hoax juga text. Masyarakat percaya pada hantu/gendruwo juga teks. Bahkan bila anda kerdip mata sebelah pada seseorang, itu juga teks. Jadi teks bukan hanya tulisan yang dapat dibaca seperti ayat, Hadis, surat, papan merek iklan, tulisan di layar HP dan lainnya. Teks itu sekarang sudah mempunyai arti luas, sudah umum: teks adalah apa saja yang bisa mendatangkan penafsiran bagi manusia. Dari pengertian inilah kita kerucutkan diskusi teks-teks keagamaan berikut.

Pertama-tama, dunia modern ini memang aneh. Orang semakin percaya dengan teks. Bila anda di ATM, anda percaya dengan angka2 yang tertulis di layar ATM meskipun tidak memegang duitnya. Bila anda jual emas atau jual mobil pada seseorang, emas atau mobil anda dibawanya pergi entah kemana, sementara anda cuma ditinggal dengan teks angka2 (transfer) di layar HP: anda senyum, gembira. Aneh…. Kok emas ditukar dengan angka? Dan angka2 tersebut tersembunyi pula di balik kaca HP, tetapi anda senang. Jadi, teks angka2 rupiah tersebut hanya simbol, simbol yang kita sepakati bersama dengan dan dijamin oleh Pemerintah dan Bank, meskipun fisik duitnya tidak dipegang.

Masalahnya: sekarang sudah semakin banyak adik2 da’i muda bermunculan dan semakin banyak dosen2 muda mengajar di berbagai universitas, namun di saat membaca teks bagi mereka nampaknya disitulah kebenaran. Artinya, kebenaran bagi sebagian adik2 diyakini berada ‘di dalam’ teks, pada hal kebenaran itu ‘di luar’ teks. Kenapa ‘di luar’ teks? Ambillah contoh peraturan memakai masker, ya habis Covid tidak berlaku lagi peraturan tersebut. Covid hilang, teks peraturan masih terpampang di mana2, tetapi orang tidk peduli lagi. Gambar Presiden Jokowi sekarang masih tergantung di kantor/sekolah anda, semua orang Indonesia kini masih mengakuinya sebagai Presiden, tetapi bilamana bangsa Indonesia tidak mengkuinya lagi di bulan Oktober nanti, maka teks/gambar Presiden itu tidak dianggap sah/benar/berkuasa lagi oleh bangsa Indonesia. Jadi sah/kebenaran itu selalu terkait dengan situasi di lapangan dan mungkin juga oleh pengakuan orang. Demikian pula, berjuta warga Jakarta sibuk akan menukar KTP karena di dalam KTPnya yang sekarang tertulis kata ‘IBU KOTA’ (DKI). Bilamana ibukota telah pindah ke Kalimantan, maka teks ‘DKI’ yang tertulis di KTP telah ‘kosong’ karena kebenarannya telah berobah. Situasi telah berobah. Benarkan?

Sekarang pertanyaannya, dari mana suatu ‘kata’ muncul? Kata Jambi artinya Pinang, mungkin dulu banyak pohon pinang. Kata Bukit Tinggi memang di sana ada bukit yang tinggi. Kata Surabaya konon asalnya ‘Suro=ikan dan ‘Boyo’=buaya. Tetapi kata ‘Amin’ terdapat dalam agama2 samawi (Yahudi, Kristen dan Islam): artinya ia bukan kata Arab. Persoalannya, bila 1 kata digabung dg 1 kata lain, maka artinya mulai berbeda. Kata Amin ditambah Rais artinya kita pahami sebagai sosok pendiri partai PAN. Jangan disebut Amin….Rais setelah membaca Waladh dhaaalllin…! Itu salah…..Kebenaran ada di tangan umat Islam sedunia.

Demikianlah kata bila digabung menjadi kalimat, menjadi paragraf, menjadi artikel, menjadi 1 buku ia akan mengalami perobahan arti terus menerus. Lantas bagaimana kira2 pendapat anda bila ayat al-Qur’an yang 30 juz dipilih pilih ayat2, kata2, sesuai keinginaan kita untuk dijadikan dalil, untuk membenarkan pemahaman kita sendiri? Misalnya, ada tokoh politik memilih potongan ayat yang akan menguntungkannya. Ayat dipenggal untuk tujuan tertentu, belum tentu ia sesuai dengan niat semula Allah yang menurunkan wahyu. Hadis dijadikan dalil, belum tentu ia sesuai dengaan maksud semula Rasul saw. Bagi NU, pendapat Imam dalam Kitab Kuning dijadikan rujukan, ya belum ada jaminan kata2 Imam yng dikutip tersebut persis seperti yang dimaksudnya semula. Mungkin kita saja yang ‘menundukkan’ teks tersebut menurut pemahaman kita, karena kita ada kepentingan di situ. Apalagi isi Supersemar kalau memang benar ada dan bisa dibaca bersama oleh bangsa Indonesia. Seharusnya kita bertanya lagi (cross-check) pada si empunya teks semula, tetapi sayang si empunya teks banyak yang telah wafat. Yang pasti ialah di masa hidup, si empunya teks berkomunikasi dengan bahasa.

Teori biologi (evolusionist) berpendapat bahwa bahasa adalah fenomena alam. Bahasa itu spesies kata Charles Darwin. Menurut Richard Dawkins: bahasa manusia adalah populasi virus pikiran. Berkembang pikiran kita, berkembang pula bahasa. Kata Steven Pinker: bahasa adalah hasil dan evolusi bersama manusia dan budaya. Kita masukkan anak2 ke sekolah dan kuliah, artinya kita suruh dia mengetahui evolusi banyak bahasa dan budaya. Apakah anda anti teori Evolusi? Bagus. Tetapi anda jangan pula suka menggunakan kata ‘viral’ dalam HP anda, sebab kata viral terkait sifat virus (cepat menyebar). Bila anda menggunakan kata2 viral, artinya anda juga sudah terjangkit menerima teori Evolusi, walaupun masih ngotot anti Darwinisme. Dr. Ryu Hasan yang kita bicarakan Jum’at kemaren sangat percaya dengan Darwinisme katanya. Anehnya, kadang2 teks itu mempunyai dunianya sendiri yang lucu.

Ada cerita lucu terkait teks. Ustaz Landong Rangkuti (tetangga saya) pernah bekerja di suatu perusahaan minyak asing di selatan Provinsi Jambi di mana bekerja ‘bule’ tenaga ahli asing. Bule tersebut suatu hari pernah melihat orang2 desa sekitar tempat dia bekerja hendak berqurban, bule itupun ikut pula bergabung. Dia bertanya, untuk apa potong kambing? Orang desa menjelaskan pada bule tersebut, bilamana dia berqurban seekor kambing, maka nanti di akirat yang akan dinaiki adalah kambing, tetapi bilamana di dunia ia berqurban sapi, maka di akhirat nanti, bule akan menunggangi sapi pula. Mendengar penjelasan semacam itu si bule langsung undur diri, katanya di dunia saja dia sudah naik pesawat, kok di akhirat malah mau naik kambing? Aduh..kebenaran rupanya bukan di dalam teks/matan Hadis.

Satu lagi cerita lucu. Saya sekitar thun 1980an di Jambi (Seberang) pernah ngobrol di pinggir Sungai Batang Hari dengan seorang ulama terkenal yang banyak tahu tentang isi kitab kuning. Dia spontan/jujur bertanya pada saya: ‘Amhar, kamu di Mesir dulu waktu kuliah, tahu Sungai Nil kan? Apakah benar Sungai Nil itu bermuara ke Sorga seperti yang diceritakan dalam sebuah kitab kuning? ….Saya hanya menunduk diam, saya bertanya dalam hati ‘Kenapa sampai begini pemahaman seorang ulama?’ Bagaimana dampak cakrawala semacam itu terhadap isi khotbah, atau isi ceramah yang disampaikannya pada jama’ah?

Kembali kepada teks. Akte Kelahiran seseorang adalah juga ‘milik situasi’. Biasanya di dalam Akte Kelahiran tertulis data2: Nama bayi, lahir (hari, tgl), jenis kelamin, berat badan (misalnya 4 kg), panjang (misalnya 60 cm), dan lainnya. Data2 tersebut mencerminkan situasi pada saat bayi lahir, namun setelah dia dewasa, mendaftar masuk kuliah misalnya, sebagian kebenaran data2 tersebut telah ‘bergeser’. Si anak harus menimbang kembali berat badannya..bukan lagi 4 kg sebagaimana yang tertulis di Akte Kelahiran tetapi boleh jadi telah mencapai 60kg. Lalu bagaimana data berat bayi yang 4 kg sebagaimana yang tertulis dalam Akte? Ya tetap juga sah diakui tetapi ‘kebenaran datanya’ harus dipahami sebagai ‘waktu lahir’dahulu , bukan situasi saat mendaftar kuliah sekarang. Apakah anda setuju? Perlu diingat pula bahwa di dalam teks biasanya terselip ‘maksud semula’ si pembuat hukum. Misalnya surat waris: ada ‘maksud semula’ yang punya harta yaitu agar di belakang hari jangan ribut berperkara harta warisan. Ini konskwensinya nanti terkait memahami teks2 keagamaan.

Maka teks keagamaan yang akan dibicarakan berikut ini bukanlah teks terkait ‘aqidah dan ibadah, tetapi teks2 kehidupan duniawi (mu’amalat). Teks dunia kehidupan kita cepat sekali berobah maknanya. Bila seseorang bertanya pada anda :”Jam berapa sekarang?” Anda jawab misalnya :”Jam 12.00 tepat”. Di saat anda menjawab, sebenarnya ia bukan lagi jam 12.00 tepat, tetapi telah bergeser menjadi jam 12.02 atau 12.03 detik. Jadi segala sesuatu berobah cepat, sementara tulisan tetap kokoh tak berobah. Maka hidup di dunia ini mirip dengan duduk di bangku bundar yang sedang terus berputar hanya saja tidak terasa, sementara teks diam saja. Kita menyebut dan menuliskan segala sesuatu yang kondisinya cepat berobah, sudah banyak teks2 tersebut tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Bisa disebut, teks adalah rekaman peristiwa masa lampau. Anda boleh setuju boleh tidak.

Bila anda setuju, maka disitulah persoalannya dengan Hadis. Tidak mesti semua yang tertulis dalam Hadis (mu’amalat) langsung otomatis benar, karena situasi di alam nyata telah berbeda di masa Nabi dan di masa kita. Maka teks itu mirip ‘kulit ular di pohon’: badan ularnya telah pergi tetapi bekas kulitnya tetap tinggal ‘kosong’. Pernah melihatnya di atas pohon kan? Dengan kata lain, maksud semula Nabi mengatakan hal tersebut telah ‘bergeser’ kebenarannya, walaupun teks/matan/sanadnya tetap tak berobah dalam Sohih Bukhari dan Muslim. Seyogyanya kita mengikuti maksud Nabi semula, bukan mengikuti teks/matan Hadis tersebut. NU dan Muhammadiyah ditantang oleh kenyataan ini. Para ahli hukum menyebut ‘maksud semula’ tersebut dengan ‘the initial intent’, mengutip Arsul Sani dalam acara Mata Najwa di Metro TV. Arsul Sani adalah mantan anggota DPR RI yang pernah kuliah hukum di Inggeris (Glasgow), sekarang menjadi salah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi. Bagi ontologi Heidegger ia disebut Being (Ada). Pada hakekatnya, ‘Kehendak Semula’ oleh Nabi itulah cikal bakal munculnya setiap teks/matan Hadis belakangan. Kenapa kita umat Islam, ustaz, ulama, da’i, dosen, NU, Muhammadiyah, Perti, sekarang menyandarkan kebenaran kepada teks/matan Hadis? Bukankah Imam Bukhori dan Muslim mengumpulkan matan Hadis2 setelah sekian lama Nabi Muhammad punya ‘Kehendak Semula’? Apa ‘Kehendak Semula’ Nabi melarang memajang gambar makhluk hidup di rumah? Apa ‘Kehendak Semula’ Nabi menyuruh perempuan keluar rumah semuanya di Hari Raya? Apa maksud semula Nabi tatkala berucap ‘Shumu li ru’yatihi, wa fthiru li ru’yatihi? Apa maksud semula Nabi dengan mengatakan ‘Innaa ummati ummiyatun, wa al-syahru hakadza wa hakadza? Apaaaa?

Sekarang terlihat bahwa kesohihan Hadis yang dipegangi oleh umumnya umat Islam now adalah berdasarkan tradisi epistemologi Islami, padahal kebenaran di dalam Hadis seyogyanya dilirik kepada ‘isi persoalan’ yang dibahas oleh umumnya khazanah Hadis: disitu ‘the initial intent’ Rasul bersemayam. Dalam persoalan management zakat, ya dilirik kepada ‘Maksud Semula’ Rasul mengelola zakat, di situ ada pengalaman Rasul. Tentang inti persoalan riba perbankan, yaa dilirik kepada ‘the initial intent’ pengharaman riba oleh Rasul itu sendiri, bukan atas dasar kualitas Hadis mutawatir, hasan, dho’if: itu semuanya tidak menjawab persoalan, itu adalah bagian dari tradisi epistemologi Islami yang kita warisi. Dalam suatu masa boleh jadi epistemologi mengalami kebangkrutan karena telah bergesernya paradigma yng mendukung epistemologi tersebut (Thomas Kuhn: The Shifting Paradigm). Hadis boleh jadi sohih menurut epistemologi (Musthalah Hadis), tetapi problem solvingnya bukan di situ!

Kebenaran isi Hadis seyogyanya adalah ‘titik kesepahaman’ dimana pemahaman kita dan pemahaman Nabi bertemu. Kita dan Nabi seharusnya bersepakat/bersepaham pada apa yang dimaksudkan Nabi, bukan pada apa yang jelas tertulis di dalam Hadis. Boleh jadi kita sekarang ‘belum sepaham’ dengan Nabi di saat membaca suatu teks Hadis. Pada tulisan saya yang lalu telah diberikan contoh bagaimana sahabat bangga telah berhasil merajam seorang perempuan yang berzina. Setelah dilaporkan kepada Nabi, ternyata Nabi punya maksud yang berbeda. Artinya Nabi dan sahabat tidak bertemu pada kesepahaman bersama, sementara nyawa orang telah hilang. Itu masalahnya dalam membaca teks bagi da’i2 muda, dosen2 muda, dan ustaz2 terhormat. Pikirkanlah! Apa jaminannya bahwa teks yang anda baca dan yang anda pahami tersebut telah persis sama dengan maksud si pemilik teks semula? Immanuel Kant akan bertanya: bagaimana anda tahu bahwa pemahamaan anda telah persis sama? Mungkin anda telah yakin sepaham dengan Rasul karena anda percaya dengan periwayatan Imam Bukhori dan Imam Muslim, sementara Imam Bukhori itu sendiri berasal dari daerah Rusia selatan dan dia tak pernah berjumpa dengan Rasul. Artinya, dia tak sempat menanyakan kepada Rasul: apa maksud sebenarnya dari setiap Hadis yang dituliskannya. Sementara umat Islam merasa telah menggapai kebenaran seperti maksud Rasul, pada apa2 yang telah dituliskan oleh Imam Bukhori dan Muslim.

Demikian pula ayat l-Qur’an yang menyuruh tuliskan setiap terjadi ‘tadayantum’ transaksi hutang piutang (al_Qur’an S. Al-Baqarah 282). Kata ‘faktubuh/tuliskanlah’ dalam ayat tersebut tentu terkait dengan zaman turunnya ayat yang telah mulai mengenal budaya tulis menulis. Sekarang orang bisa pakai cctv akan lebih akurat dari pada sekedar tertulis yang rentan manipulasi. Artinya, bukan Qur’an yang ketinggalan zaman, tetapi ‘isi pesan semula’ dalam ayat tersebut tak mesti selalu dipahami dengan ‘dituliskan’ atau dengan cctv. Apakah argumen saya di atas bisa diterima?

Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa kebenaran dalam ayat dan Hadis yang saya maksudkan di atas ialah kebenaran yang terkait dengaan situasi di lapangan, bukan kebenaran aqidah, akhlaq dan ibadah. Al-Qur’an yang 30 juz dan Kitab2 Hadis ternyata penuh dengan campuran semuanya: ya situasi di lapangan, aqidah, ibadah, akhlaq dan lainnya. Maka sekarang kita pilah dan pilih. Ayat dan Hadis yang terkait aqidah, ibadah dan akhlaq kita pahami sebagaimana yang tertulis, sebagaimana Nabi mengajarkannya, sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam dari masa ke masa. Tetapi ayat dan Hadis yang terkait dengan hal mu’amalat (situasi di lapangan), ya sebaiknya dipahami sesuai dengan situasi yang berobah. Yang abadi, yang harus ditangkap sekarang ialah ‘inti pesannya’, bukan tulisannya yang terbaca. Bila Hadis menyuruh kita berzakat gandum, ya sekarang kita robah kepada berzakat padi (sesuai situasi di lapangan di Indonesia). Pesan wajib berzakat tetap abadi ditunaikan, tetapi barang yang dizakatkan telah berobah. Anda tak marah kan? Hal ini sudah umum diakui oleh masyarakat.

Bilamana ayat menyuruh kita solat, maka kita tunaikan sebagimana yang diajarkan Rasul. Bila ayat menyuruh yakini adanya Hari Kiamat, maka kita yakini sebagaimana disuruh ayat, sebab ayat semacam itu bukan merupakan berasal dari situasi lapangan kita. Kita wajib yakin. Tetapi bilamana ayat menyuruh bayarkan zakat kepada Asnaf yang 8…coba pikir! Di antara Asnaf yg 8 ada yang dinamai ‘amil zakat (pengurus zakat). Situasi lapangan di zaman Nabi menunjukkan bahwa ‘amil zakat adalah sebagian orang2 asal Mekah (Muhajirin) yang tidur di Mesjid Nabi di Medinah, sementara anak isterinya jauh di Mekah (jaraknya sekitar 450 km). Mereka sering disuruh oleh Nabi untuk mengurusi zakat, lantas al-Qur’an menyuruh Nabi untuk memberi mereka dalam status ‘amil zakat. Bagaimana sekarang? Situasinya telah jauh berbeda. Di beberapa langgar dan mesjid di kampung saya, ‘amil zakatnya ada orang kaya, sudah pernah naik haji, PNS, pemilik lahan sawit, punya mobil dan rumah cantik, anak2nya juga sering membantu ekonomi orang tuanya…kondisinya jauh berbeda dengan ‘amil zakat (Muhajirin) yang terpaksa tidur/menginap di mesjid di zaman Nabi. Bila ‘amil zakat zaman now masih diberi juga jatahnya, maka rasanya ibarat ‘menumpahkan air ke laut’!Apalah artinya amal kita? Apakah di saat itu kita sudah melirik kepada ‘Maksud Semula’ Allah dan Nabi? Demikian ide Prof. Fazlur Rahman, (guru besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago).

Kesimpulan: bila kita membaca teks, kata Fazlur Rahman, ada 2 kemungkinan keliru: apakah keliru dalam memahami teks/matan Hadis/ayat, atau keliru dalam memahami situasi. Anda pada posisi keliru yang mana? Mudah2 anda selalu melirik pada posisi ‘maksud semula Allah dan Nabi’ tatkala ayat diwahyukan dan tatkala Hadis diucapkan Nabi, bukan hanya terpaku dengan teks yang telah jauh berbeda dengan situasi sosial yang mem’bidani’nya dulu. Sekian dulu pembaca budiman. Terimakasih telah membaca tulisan ini, saya tunggu saran dan komentarnya. Pamit, Amhar Rasyid, Jambi. Wassalam.

*Silakan Share