SEKOLAH ‘ORANG KOTA’ (2)


Oleh; Amhar Rasyid
Bandung, 26 April 2024

Asslamu’ailaikum wr.wb
Bpk2/Ibuk2/Adik2/Anak2/Mhs2ku dan segenap pembaca setia baik Muslim mupun non-Muslim di mana saja berada. Setiap Jumat kita bertemu lewat Dunia Maya, tetapi bagi saya semakin terasa jalinan persahabatan antara kita yang saling berjauhan. Semakin saya tulis, semakin dalam hubungan emosional dan sosial-intelektual yang terbangun. Di saat2 bersilatur rahmi di Hari Raya sempat saya tanyai pendapat beberapa pembaca atas tulisan saya, bahkan beberapa guru besar, di Jakarta: mereka bilang OK (ngangguk/senyum). Apa komentar mereka? Terlalu panjang katanya. Maka mulai saat ini saya usahakan semakin agak pendek meskipun susah karena dirasa belum sampai target. Bagaimanapun juga, hari ini nampaknya cerita tentang ‘Sekolah Orang Kota’ belum tuntas, perlu diperdalam, perlu diurai agar lebih jelas, mungkin berguna bagi sebagian orang tua (ibu2) wali murid.

Kendati sudah dijelaskan Jumat kemaren sedikit tentang Montessori, masih perlu dijelaskan lagi apa itu kurikulum IB? Apa istimewanya sekolah di sana? Bagaimana cara mereka mendidik siswa2nya? Ujung2nya, kita bercermin pada sekolah orang agar kita dapat mengambil i’tibar, hikmah. Saya di Universitas McGill, Canada pernah menjabat sebagai Vice President Oraganisasi Mahasiswa Asia Tenggara, lalu Pesidentnya (cewek asal Singapore kelahiran Amerika, bapaknya kerja di Bank Dunia di Washington) bertanya pada saya: Amhar, what are you studying at McGill? (Amhar, kamu kuliah apa)? Saya bilang Islamic Studies. Dia heran dan bertanya lagi : How can you make money with religion? (Bagaimana bisa dapat duit dengan belajar agama?) Saya terdiam. Dalam hati saya jengkel: paling2 ya bila ada proyek pengadaan al-Qur’an saya korupsi nanti. Itu sekedar pertanyaan anak2 bekas Sekolah Orang Kota di Washington, menjengkelkan tapi logis. Sekarang kita uraikan lagi dengan harapan agar Ibu2 dan Bpk2 dapat memahami kenapa mahal sekali Sekolah Orang Kota. Mana tau di antara anda punya banyak duit, bisa pula menyekolahkan anak2 ke sana. Amiiin!

Pertama, apa itu kurikulum IB? IB adalah singkatan International Baccalaureate bermula dicetuskan dari Jenewa (Swiss). Ia adalah suatu kurikulum yang memiliki kualifikasi yg diakui secara internasional dan lulusannya diterima di banyak universitas2 di dunia. Anak dipandang guru sebagai pribadi yang serba lengkap. Serba lengkap artinya ‘Siap Pacu’(sehat badan dan mental), sehingga dihadapkan padanya tantangan2 yang unik. Dia harus kuat, harus percaya diri. Kurikulum IB merancang siswa agar lebih banyak melakukan observasi (peninjauan) dan praktek berbagai kegiatan setiap hari. Lebih 150 negara, lebih 5000 sekolh berkurikulum lb.siswanya lebih 1.95 juta berusia 3-19 tahun. Kurikulumnya seimbang sesuai dg usia. Tdk hanya kognitif tetapi juga emosi, sosial dan fisik. Digelitik untuk bertanya, menyadari apa inspirasi mereka, menetapkan tujuan/cita2 yng menantang, dan mengembangkan watak ketekunan siswa agar mereka berhasil mengejar cita2 yang telah diidamkannya. Dia dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, katanya.

Kurikulum IB dibaginya 4 kategori: PYP, MYP, DP dan CP. PYP= Primary Years Program (Program Tahun2 Awal) untuk murid umur 3-12 tahun (kelas 1-6). Kemudian MYP=Middle Years Program (Program Tahun Menengah) untuk anak2 usia 11-16 tahun (kelas 7-10), biasanya selama 5 tahun. Program ini untuk menghadapi program DP. DP= Diploma Program (Program Diploma) untuk siswa umur 16-19 tahun, biasanya berlangsung 2 tahun saja, siswa dipersiapkan agar mampu memenuhi persyaratan2 untuk masuk ke berbagai jenjang pendidikan di berbagai akademi dan universitas di tingkat dunia . Sedangkan CP=Career-Related Program (Program yang terhubung dengan karir). Ini yang terakhir khusus untuk mengembangkan keahlian karir2 siswa di bidangnya masing2 serta lingkungan pembelajaran.

Pada tahun2 pertama (PYP), katanya nsiswa diajarkan studi sosial, seni, bahasa, matematik, sains, teknologi dan pendidikan fisik. Setelah itu pada program MYP diajarkan ilmu2 sosial, sains, bahasa dan sastra, penguasaan bahasa, matematik, seni, desain, pendidikan fisik dan kesehatan. Ia memupuk kedisiplinan, ketrampilan termasuk kreativitas dan fleksibilitas siswa. Setiap siswa dipandang oleh guru mereka sebagai pribadi2 yang unik. Unik artinya tidak dianggap sama rata dengan siswa2 lainnya, dilihat keistimewaan perseorangnya, dikembangkan bakatnya, diinspirasi agar lebih bersemangat mengejar cita2 yang diidamkannya tersebut. Bakat mereka ditanyai, kemudian dibuat tugas2 yang akan dipresentasikan di depan kelas guna didiskusikan bersama teman2. Guru lebih merupakan sebagai fasilitator. Ibarat siswa itu tumbuhan kacang, guru hanyalah alat penyangga kacang untuk memanjat lebih tinggi.

Apa yang terlihat bedanya dengan kurikulum sekolah anak2 kita? Nampaknya di sana sedikit saja, kalau ada, diajarkan Sejarah Indonesia, UUD 45/Pancasila, Budaya Lokal. Bagaimana dengan Mengaji dan Sembahyang (Pelajaran agama/Fikih). Yang jelas tidak ada Tahfiz (menghafal al-Qur’an) tentunya. Khusus di SPH (Sekolah Pelita Harapan) dikatakan bahwa siswa di sekolah Kristen ini diwajibkan mengenal lebih dahulu identitas nasional para siswa. Artinya siswa harus juga belajar bahasa, sastra, sejarah dan warisan budaya Indonesia agar nanti dapat memahami tradisi internasional dengan konteks yang tepat. Artinya, bila siswa telah studi di luar negeri, siswa tidak akan kaget/memprotes kebiasaan bule2 di luar negeri yang jauh berbeda dengan di Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan di atas, kurikulum IB melatih dan mengajari kecerdasan emosional, berpikir kreatif siswa, gunanya agar cerdas otaknya dan mampu membangun kerja bersama. Yang penting utamanya bukan JADI JUARA seperti di sekolah2 kita umumnya, tetapi bagaimana si anak mampu/cerdas membangun KERJASAMA bersama teman2nya: tumbuhkan ide, tumbuhkan rasa empati, rasa solidaritas sesama teman. Intinya, siswa digelitik cara berpikirnya agar punya ide yang brilian, dan bagaimana ide tersebut kemudian diwujudkan dalam dunia nyata dengan menggaet orang lain. Ini yang sangat penting di dunia modern. Coba lihat Coca Cola. Coca Cola hanyalah sejenis air hitam dengan rasa tertentu, tetapi kok bisa merajai pasar dunia dari Asia hingga Afrika, dari Eropa hingga Amerika, bahkan sampai ke pelosok kampung saya? Kalah Angkringan Wedang Teh (Jawa), Kawa Daun dan Teh Talua (Padang) keude kupi (Aceh). Bukan rasa airnya yang bikin laris, tetapi IDE KERJASAMA. Perwakilan Coca Cola ada di banyak negara, bukalah usaha di negara masing2, gajilah pegawai2, bayarlah pajak ke negara, tetapi kirim duitnya ke Amerika. Semua berkat ide kerjasama!

Demikian pula di KFC (Kentucky Fried Chicken). Lagi2 IDE KERJASAMA. Ayamnya ada di Indonesia, pegawai2nya di Indonesia, restauran2nya di Indonesia, yang makan orang2 Indonesia, duitnya rupiah Indonesia, tetapi dollarnya masuk di kantor boss KFC di Amerika. Lagi2 Kerja Sama. Kepintaran bekerja sama itulah nampaknya yang ingin diajarkan/dikembangkan oleh kurikulum IB dengan sesama teman. Kepintaran bekerja sama itulah yang nampaknya belum ada oleh nenek moyang kita dulu, sehingga dijajah oleh Londo. Maka politik Devide et Impera (Pecah Belah) memang efektif untuk memperlemah persatuan bangsa terjajah. Bahkan hingga kini, negara2 Arab dan Muslim lainnya belum mampu bekerja sama untuk menghadapi Israel. Kerjasama kata kuncinya.

Di dalam kerjasama, Yoval Noah Harari menyebut adanya Fictional Entity (Khayalan Brilian) menurut tafsiran saya. Di situlah hebatnya manusia dibanding simpanze kata Yuval. Coba pikir. Umpamanya Simpanze punya uang $ 100 lalu dibuangnya, ia akan mau menukar dollar tersebut pada kita yang punya pisang 1 biji. Kenapa? Karena simpanze tidak pandai membangun kerjasama seperti manusia, dan dollar itu sebenarnya adalah hasil kerjasama seluruh negara di dunia meramu kesepakatan..saling percaya (trust) pada keabsahannya, saling mengakui nilainya, saling menggunakan mata uangnya, ya kerja sama masyarakat dunia. Kalau bukan karena kerjasama, eloklah pilih pisang..bisa dimakan, dollar itu cuma kertas. Bagaimana…setuju?

Jadi kurikulum IB nampaknya tidak terlalu mengajarkan ‘takutlah pada Tuhan’, nanti bisa2 masuk Neraka, tetapi ia mengajarkan siswa ‘Pikir! Apa idemu sendiri? Cetuskan ide yang bagus yang nanti bisa cari duit. Anak2 diajari begitu, maka setiap ada idenya bukan dipatahkan oleh guru, bukan dianggap remeh, bukan diejek oleh teman2, tetapi dipertanyakan guru dengan serius, dan guru sambil menatap muka siswa berdiskusi, bukan sambil main HP. Tiap anak dipahami minatnya. Cita2nya. Anak dimisalkan bagai jeruk, apakah mau dijadikan jus orange, lemon atau dibuat apa? Bila siswa berjenis ‘jeruk’ kenapa dipaksa ia menjadi ‘rendang’? Tidak akan berhasil dengan gemilang di kemudian hari. Kecewa. Maka anak2 di kurikulum IB tidak dipaksakan mengejar cita2 orang lain yang tak disukainya. Potensi terdalam tiap siswalah yang harus dilirik. Sebab setiap orang punya hobby berbeda: satu ibu satu bapak saja, pasti beda2 minat dan sifatnya. Apakah anda sama hobbynya dengan ayuk dan abang kandung anda? Tidak kan?

Maka di kurikulum IB tumbuhkan rasa percaya diri bagi siswa, seakan ia dihargai sekali. Guru akan bertanya pada siswa, misalnya, apa ide kamu? Apakah kamu pikir itu ide bagus? Bila bagus bagaimana cara mewujudkannya? Nanti untuk apa gunanya? Bagaimana cara kamu menyelesaikannya bersama teman2? Mari presentasikan di depan kelas. Lantas guru akan sedikit mengeritik, mempercantik ide siswa, guru akan bilang: apa tidak sebaiknya begini… lalu begini…sebab bila kamu tidak begini….nanti akibatnya bisa jadi begini….(buruk/rusak/tidak terwujud). Jadi siswa semakin yakin, semakin PD (Percaya Diri), dia akan merasa dihargai, merasa hebat dengan idenya.

Iya benar begitu, setelah menginjak dewasa, ia boleh jadi bekerja di kantor, di perusahaan2, dia akan menjadi pegawai yang kreatif (menghasilkan ide2 baru sendiri yang tak terpikirkan oleh pimpinan), dan ia sudah terlatih bekerja sama dengan siapa saja selama untuk kebaikan mewujudkan idenya tersebut. Dia terbiasa mendengar saran orang lain, menatap mata orang lain bila bicara, serius saat berdiskusi, mengiyakan saran positif/masukan dan kritik konstruktif/perbaikan dari orang lain, selama saran tiu bagus untuk menggapai cita2 perusahaan. Dia akan lapang dada bila ada rapat (meeting), tidak mudah tersinggung/emosi, dia akan selalu bertanya: eloknya gimana? Lantas saya harusnya gimana? Kemungkinan kendalanya dimana? Hasilnya nanti gimana? Nilai tambah apa yang akan bisa diberikan? Apa yang harus dipersiapkan dalam jangka pendek dan jangka panjang? Siapa2 teman yang bisa diajak kerjasama? Kapan harus dimulai? Berapa biayanya? Sumber modal dari mana? Bila dipanggil ke kantor menghadap bos, dia akan sudah punya jawaban, rencana, solusi, yang sangat ditunggu bos. Dia sangat paham seluk beluk kerjanya. Ada saja solusinya yang lebih elok dari solusi orang lain untuk keuntungan kantor/perusahaan. Tetapi yang sangat penting ialah mampu BEKERJASAMA, tidak mudah tersinggung, menyendiri, kesal, ngomel di sudut ruangan, menggerutu, tak mau lagi ketemu muka, patah hati, layu, ngambek. Bila sudah begini keadaannya….anak siapalah yang sekarang kayak gini sifat2nya? Anak bapak? Anak Ibu? Ah kasihan! Bukan salah Bunda mengandung….tetapi salah cara mendidik di sekolah…..barangkali?

Bila telah pernah mengenyam kurikulum IB, boleh jadi setelah dewasa dan bekerja lama, dia naik pangkat, mana tahu dia akan menjadi CEO (Chief Executive Officer) posisi tertinggi di suatu perusahaan, hitam putih perusahaan di tangannya, laba rugi perusahaan tanggung jawabnya. Boleh jadi anak anda akan diangkat menjadi CEO Coca Cola, KFC, CFC, Solaria, Suzuki, Toyota, Google Indonesia, dsb, dan ibu bapanya akan gampang dinaik hajikan. Hebat kan? Itu namanya sukses. Sukses duniawi tentunya.

Lantas apa dampak cara pendidikan semacam itu pada kita yang hidup beragama? Menurut analisa saya, dampaknya untuk duniawi sangat bagus, tetapi untuk ukhrawi mungkin pikir2 dulu. Sebab ada filosofi pragmatik/materialistik/kapitalistik yang dikandungnya. Pragmatik artinya ‘yang penting ide itu bisa jalan dan menghasilkan keuntungan’. Materialistik artinya hanya berpikir tentang materi, uang, duit, kekayaan, kenikmatan duniawi, tak kenal riba, tak kenal zakat, tak kenal infaq/sedeqah, yang dikenal mungkin Bantuan Sosial Kemanusiaan. Kapitalistik artinya mengandalkan modal besar, menghasilkan keuntungan besar agar modal semakin besar, perusahaan semakin jaya, yang penting grafik keuntungan perusahaan semakin melonjak naik. Pegawai yang sudah mulai loyo, tidak produktif lagi, tidak membuat perusahaan semakin jaya lagi akan disingkirkan, dirumahkan…..mirip menaruh kedua orang tua ke Rumah Jompo. Sulit dalam bekerja untuk solat 5x. Sebab 1 x solat boleh jadi akan menghabiskan waktu sekitar 10-15 menit bagi pria, bagi wanita akan lebih lelet. Banyak terlantar kerja, akan sering absen dari rapat/meeting, susah dipanggil bos bila diperlukan, pikiran harus lebih banyak konsentrasi pada zikir bukan pada zikir pada kerja. Sementara solat itu berserah diri pada Tuhan, tetapi kerja di perusahaan, bukan berserah diri, tetapi ‘Keputusan Tuhan itu ada di tangan kita’. Jawaban pada bos tidak bisa dibalas dengan Insyaallah (mudah2an Allah menghendaki), tetapi yang logis, empirik (masuk akal dan bisa diterapkan bersama). Yang wanita tidak wajib pakai jilbab. Bagi perusahaan bukan perkara menutup aurat yang perlu, tetapi apa keuntungan buat perusahaan. Pakai celana pendek dan kaos juga gak apa2.

Kesimpulannya. Pilhan kita atas pendidikan anak2 kita saat ini berada di Persimpangan Jalan (Cross Road). Indonesia mayoritas Muslim, taat beragama, segala sesuatu dilihat dari ajaran agama Islam. Pendidikan yang dipilih yang sesuai dengan nilai2 Islami. Itu keputusan yang bagus buat generasi muda kita. Tetapi masih banyak sistem pendidikan Islamiyah kita jauh tertinggal. Guru mendidik siswanya masih banyak dengan cara ‘mengajar’, memompakan ilmu (cognitif), dan murid harus manut, harus patuh, harus taat, jangan ngeyel, jangan berbeda dari guru/sok pintar, terbiasa cium tangan kiyai, sebab kiyai diyakini benar dalam segala2nya, jangan berbeda dari kiyi nanti kuwalat, jangan berbeda dari isi buku, bisa2 nanti tidak lulus ujian, sebab itu jangan protes, hafalkan saja isi buku sesuai kurikulum Diknas. Akibatnya anak2 jadi pintar, soleh dan berbudi luhur, tetapi belum tentu kreatif dan bisa kerjasama. Kreatif (d,ari kata Inggeris ‘ to create’ artinya mencipta dari tidak ada menjadi ‘ada’, sehingga Tuhan disebut Creator/Maha Pencipta dari sesuatu yang tidak ada: Ex Nihilo).

Pilihan Orang tua sekarang ibarat berada di Persimpangan Jalan. Di jalan yang satu kita ingin anak kita kelak setelah dewasa bekerja, sukses, gaji besar, dan ibu bapanya minta dinaik hajikan, bayarkan ONH. Di persimpanagn jalan lain, kita ingin anak kita tahu ajaran agama, patuh, berbudi pekerti, sopan santun, guru adalah ibu bapak di sekolah. Setelah kita meninggal, harapan kita sesuai Hadis Nabi: waladun sholihin yad’ulah (Anak yang soleh yang mendoakan kedua ibu bapanya). Maka pelajaran agama sejak dini maha penting, tetapi sekolah agama, madrasah, Tsanawiyah, pesantren, yaa begitulah adanya. Jumlah guru dan kualitas guru seadanya, fasilitas jauh dari memadai, mungkin juga tenaga guru ada yang berstatus ponakan, anak ayuk, anak kawan, yaa demi hidup bersama maka diberilah tugas mengajar. Istilah manisnya, ‘guru honor’. Di Sekolah Orang Kota tidak ada guru honor, semua berijazah internasional, kurikulumnya diimpor dari luar negeri, bukan dari Diknas dan di cek, diawasi dan dikontrol, dievaluasi penyelenggaraannya secara berkala di sekolah2 mana kurikulum tersebut diterapkan, setelah mendapat izin resmi dari Swiss….sungguh timpang sekali kita. Pilihan Kita di Persimpangan Jalan….mau kemana akan disekolahkan putra/putri kesayangan Ibu? Bapak? Abang? Ayuk? Tante? Om?

Sekian dulu pembaca budiman. Maaf bila salah bicara. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share