SEKOLAH ‘ORANG KOTA’


Oleh: Amhar Rasyid
Bandung, 19 April 2024

Usai Lebaran 1445 H, hapuslah dosa2 kita menurut al-Qur’an bila kita memang telah berpuasa Imaanan wah tisaban. Suatu kali dahulu pernah saya tertarik memikirkan kalimat pengantar sebuah film India di layar SCTV yang bertuliskan ‘Mendidik anak itu terbagi 3 tahap: dikala kecil ia ditunjuki, dikala mulai remaja diawasi, dan dikala sudah dewasa diajak berkawan’. Sesudah puluhan tahun berlalu, nasehat film Hindu itu masih membekas dalam ingatan saya. Sekarang menarik pula memikirkan fenomena Sekolah ‘Orang Kota’. Disebut Sekolah ‘Orang Kota’ atau disebut juga Sekolah Internasional, bagi saya, karena identik dengan biaya sekolahnya yang sangat mahal (Sekolah Orang Berduit), ada pertimbangan2 lain yang patut juga diketahui dan barangkali akan berguna juga bagi kita yang bukan tinggal di kota2 besar (Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung).

Cara berpikir ‘Orang Kota’ tentang pendidikan anak2 mereka ternyata berbeda. Apa saja pertimbangan2 para orang tua untuk memasukkan anak2nya ke sekolah tersebut, apa kelebihan dan kelemahannya, serta di mana titik beda sistem pendidikannya dengan sekolah2 kita umumnya di daerah? Alasan saya membicarakannya karena kata Socrates akan lebih bijak kita bila membicarakan Pemikiran Orang, bukan menggossipkan pribadi orang atau pekerjaan orang. Apakah anda setuju? Maka tulisan berikut, tujuan akhirnya, untuk menginspirasi dan mengeritik budaya pendidikan sekolah2 kita termasuk madrasah2 dan pesantren2. Bahannya penulis ambil dari berbagai sumber media dan wawancara. Sudilah anda membacanya bila ada waktu.

Pertama, kata ‘Orang Kota’ di sini maksudnya, bukan kebalikan dari ‘Orang Dusun/kampung’, tetapi para orang tua wali murid yang masih tergolong generasi milenial, yang punya penghasilan (income) barangkali puluhan hingga ratusan juta rupiah perbulan. Mereka umumnya telah tinggal terpisah dari orang tua, punya rumah sendiri atau menyewa apartemen, atau perumahan2 elite yang sepadan dengan pendapatannya. Generasi milenial ini nampaknya merupakan segmen kelas sosial baru masyarakat2 kota di Indonesia, mereka bekerja sebagai tenaga professional, punya keahlian khusus dan boleh jadi ‘kurang fanatik’ dengan agama.

Apa kira2 yang ada dalam benak mereka? Dari beberapa hasil wawancara ternyata generasi milenial tersebut sudah punya rencana: punya anak berapa? Akan disekolahkan dimana? Berapa biaya yang harus dipersiapkan? Kursus renang, musik, bela diri dimana? Asuransi (jiwa, kesehatan, pendidikan) untuk anaknya kelak type apa? Rekening depositonya harus berapa? Targetnya apa? (Umur sekian, sudah harus pandai…, dan pandai…). Nanti akan dikuliahkan ke luar negeri/dalam negeri?

Apa contohnya sekolah2 ‘Orang Kota’? 1. Sekolah German (Deutsche Schule) didirikan tahun 1956 di Jakarta (sekarang di Serpong). Bagi sekolah ini, kenali dulu anak2 sebagai individu/perseorangan: apa minatnya, potensi, kebutuhan, serta perasaannya yang unik. Dukung sepenuhnya potensi anak bukan dibatasi. Bukan sekedar memompakan pelajaran pada siswa, tetapi yang jauh lebih penting ialah pengembangan kemampuan pribadi tiap anak. Sekolah ini menggunakan 3 bahasa: Jerman, Inggeris dan Indonesia. Lulusan sekolah ini, katanya, akan mendapatkan sertifikat ‘Deutsches Internationales Abitur’ yang bisa digunakan untuk mendaftar ke hampir semua sekolah menengah dan universitas paling bergengsi di dunia. Bahkan ada peluang untuk kuliah secara gratis di berbagai universitas di Jerman yang bertaraf internasional. Biayanya sekitar Rp 144 juta/tahun untuk pendidikan anak usia dini dan Rp 229 juta/tahun untuk pendidikan tingkat menengah. 2.Sampoerna Academy didirikan tahun 2009 di Jakarta (Sentul dan BSD), Medan dan Surabaya. Biaya pra sekolah di sini sekitar Rp 26 juta/tahun, sementara untuk biaya sekolah hingga kelas 12 bisa mencapai Rp 150 juta/tahun.

  1. JIS (Jakarta Intercultural School) di Cilandak, Jakarta Selatan, dengan biaya sekitar Rp 500. Juta/tahun. 4. British School Jakarta(BSJ) di Bintaro. Pendidikan bergengsi memang identik dengan sekolah mahal. 5. ACG (Academic College Group) yang berbasis di Selandia Baru, berlokasi di Psr. Minggu, Jaksel. Kurikulumnya menggunakan University of Cambridge International examinations. Sekolah ini mendatangkan konselor dan psikolog setiap hari untuk menanyai tantangan2 yang tak mampu dihadapi oleh siswanya. Makanannya bergizi yang dikelola, katanya, oleh suatu perusahaan catering ternama di Jakarta, dan pilihan menu dikirim lewat email kepada siswa setiap dua minggu.
  2. Ada juga (NZIS) di Kemang (Jakarta Selatan) dengan menggunakan kurikukulum IB (International Baccalaureate), gaya belajarnya riang dan tidak terpaku pada akademik. 1 lokal, katanya, hanya diisi oleh 20 orang siswa dengan dua orang guru: guru utama dan guru pendamping. Dikatakan bahwa yang istimewa di sekolah ini ialah penekanannya pada integrasi dan kerja sama antar siswa satu sama lain. 7. Sekolah Rafathar Malik Ahmad. Sekolah ini mengambil nama dari putera Raffi Ahmad yang pernah Taman Kanak2 di Sekolah Cikal (Cilandak) dan kemudian melanjutkan sekolah tingkat dasarnya di ACS (Anglo-Chinese School), Cipayung, Jakarta.
  3. Terakhir Binus School di Simprug, Jaksel. Total biaya di sekolah ini yang harus disediakan orang tua hingga tamat, katanya pada tahun 2021, sekitar Rp 700 juta. Apa hebatnya sekolah ini? Siswa diajarkan dan berpeluang untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan berpikiran internasional. Buktinya, menurut halaman situsnya, 25% siswanya berhasil diterima di berbagai universitas di Amerika. Biaya sekolah2 Internasional tersebut bervariasi, level SD biasanya berkisar antara Rp 100 juta-Rp 200 juta/tahun. level SMP sekitar Rp 150 juta-Rp 300 juta/tahun. Sedangkan level SLA boleh jadi Rp 250 juta-Rp 500 juta/tahun dan bisa jadi lebih mahal.

Demikian beberapa sekolah termahal di kawasan Jakarta saja, tentu banyak lagi yang tergolong mahal di Surabaya, Medan, dan kota2 lainnya. Sekolah2 di atas tergolong mahal, sebagaimana telah dijelaskan, karena fasilitas sekolahnya yang sangat istimewa, kurikulumnya internasional dan sistem pendidikan yang berbeda. Di sekolah2 mahal semacam itu dikenal menggunakan kurikulum IB (International Baccalaureat), AP (Advanced Placement), Montessori, dan lainnya.

Sekelumit apa itu Montessori? Montessori adalah metode belajar sambil bermain, sebelum usia masuk sekolah 3-5 tahun, dengan cara membiarkan si anak belajar sendiri tanpa banyak intervensi orang tua di rumah, sehingga metode tersebut dipercaya sangat mampu untuk mengeksplorasi kemampuan pribadinya dan mengembangkan sikap mandiri si anak dan kerja kolaboratif bersama teman2. Peran guru dan ibu hanya sebagai supervisor (pengawas) tanpa banyak intervensi, ia hanya membantu memandu, memperkaya informasi pengetahuan serta memberikan penilaian. Intinya mereka lebih berperan untuk mendorong si anak agar mampu mengulik, menganalisis, dan memecahkan persoalannya sendiri serta mengoreksi diri sendiri, sehingga si anak akan merasa puas dengan hasil kerja sendiri. Anak didik tak perlu dimotivasi, tidak diberi hadiah (reward) dan tidak pula di takut2i akan diberi hukuman (punishment). Beda dengan sekolah biasanya, yang mementingkan prestasi, di sini yang penting kollaborasi. Biasanya anak didik digenjot agar pintar, tetapi di sini siswa didorong agar mampu bekerja sama, bisa mengembangkan ide2 kreatif, dalam bahasa Yuval Noah Harari disebut ‘Fictional Entity’.

Hasilnya? Siswa akan bangga dapat memecahkan persoalannya sendiri. Ibu akan tahu benar bakat anaknya, misalnya senang melukis, maka ibu akan memfasilitasinya dengan alat2 lukis. Siswa juga akan mampu berinteraksi dengan teman2nya, berbudaya ekonomis, effisien, mempunyai rasa sayang pada lingkungan, flora dan fauna, tahu tata krama pergaulan, sehingga bila dewasa kelak, ia akan mudah bergaul dengan orang lain, kreatif, cepat berbaur, mau bekerja sama, dan punya sikap toleransi pada orang lain serta tahu cara menyelesaikan konflik. Artinya, sekolah Montessori akan melahirkan generasi yang lapang dada bila ada rapat, tidak suka mengacungkan tinju atau banting meja, atau lempar kaca bila berbeda pendapat, tidak menyendiri dan egois dalam kehidupan Rt, tidak suka KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) bila telah menjadi Bapak dalam keluarga, tidak fanatik agamanya saja yang benar, dia akan selalu punya ide2 dan gagasan untuk maju bersama. Yang jelas Montessori tidak akan rela bila anak didiknya kelak menjadi koruptor, diktator dan teroris. Ini yang penting untuk Indonesia ke depan.

Lantas apa contoh sekolah2 termahal di peringkat dunia? Pertama, sekolah hebat bernama Institut auf dem Rosenberg di kota st. Galen, Swiss, dengan biaya sekitar Rp 2. 75 milyar/tahun. Kenapa mahal? Kabarnya kurikulumnya sempat dipersonalisasi, sehingga sang murid akan dapat mengeksplor berbagai2 hal. Artinya di sana bukan menggunakan kurikulum umum tanpa memprioritaskan bakat dan karakter siswa seperti di sekolah2 kita. Di sana karakter anak sangat diutamakan untuk dikembangkan, gaya hidup yang aktif dan sehat, siswa punya nilai empati, integritas dan tanggung jawab sosial. Kebutuhan masing2 siswa, minat dan dan tujuan spesifik tiap2 siswa sangat diperhatikan bagi pengembangan dirinya. Siswa diajarkan menunggang kuda, berlayar, main ski dan berenang, latihan menembak, dan main ski. Selain itu juga sangat diutamakan pendidikan kepemimpinan, belajar berdasarkan pengalaman dan tahu pengabdian pada masyarakat.

Selain Rosenberg, ada sekolah lain bernama Institut le Rosey, di kota Rolle (Swiss) dengan biaya sekitar Rp 2.6 milyar/tahun, dimana dahulu di masa anak2 pernah belajar di sana Raja Juan Carlos (Spanyol), dan Raja Fuad II (Mesir). Raja Thailand Bhumibol juga pernah didik di Lausanne (Swiss). Sedangkan Ratu Elizabeth (Inggeris) pernah juga sekolah menengah di Institut Alpin Videmanette (Swiss). Tentu mereka semua punya ijazah2 yang tidak dipertanyakan bangsanya seperti ijazah Jokowi. Di sekolah2 mahal seperti ini standar akademiknya luar biasa, fasilitas sekolahnya sangat istimewa dan siswanya datang dari berbagai penjuru dunia, dengan bahasa Inggeris dan Perancis sebagai bahasa pengantar. Sekolah2 ini berfokus pada masa depan, pelajaran diberikan bukan dalam kelas tertutup saja tetapi belajar di alam terbuka, pelajaran seumur hidup dan kegiatan diluar sekolah.

Dikatakan juga bahwa jumlah gurunya 150 orang untuk mengajar murid hanya sejumlah 420 orang dari sekitar 60 negara di dunia. Artinya 1 guru untuk mendidik 2-3 siswa saja, guru sangat paham watak dan kemampuan anak muridnya, apa2 yang dibutuhkan siswa dan kendala apa yang dihadapi mereka, sehingga dapat dikonsultasikan, bukan kepada kepala sekolah atau majlis guru, tetapi kepada tenaga2 ahli (psikolog, dokter, sosiolog dan ahli2 pendidikan berpengalaman) sehingga cara berpikir siswa betul2 multikultural dan internasional. Jelas di sini tidak ada dikenal sistem rayonisasi. Bagaimana, anak anda mau disekolahkan kesana?

Apa pertimbangan2 mereka untuk memasukkan anak2 Orang Kota ke sekolah2 mahal? Pertama, dikatakannya bahwa mereka seakan ‘balas dendam’ karena dulu orang tuanya menyekolahkan mereka seadanya. Sekarang bagi mereka, anak2 mereka sangat dipandang sebagai aset masa depan, sehingga pendidikan sangat utama. Sejak dari mengandung sang bayi, rencana pendidikannya sudah dipikirkan, target pendidikan apa yang hendak dicapai, kelas strata sosial mana yang hendak dipergauli, kecenderungannya memilih dimana bersekolah anak2 bos, pejabat, dan konglomerat serta anak artis papan atas, dan hingga umur berapa anak akan disekolahkan di sekolah mahal tersebut. Pertimbangannya, selain uang sekolah yang sangat mahal, biaya transportasi diantar dengan mobil pribadi tiap hari, biaya tol pulang pergi yang mahal karena jauh dari rumah, dan PRT (Pembantu Rumah Tangga) yang seringkali disuruh menunggui di sekolah sang anak. Sepulang dari sekolah, ada lagi aktifitas luar sekolah yang harus diikuti, lewat tol lagi, misalnya sekolah renang dengan tenaga professional dan sebagainya.

Yang jarang terdengar bagaimana pertimbangan tentang solat dan pelajaran agama anak2 mereka, mungkin juga ada terpikirkan, tetapi bagi sebagian orang tua milenial semacam itu sudah semakin sekuler. Kata sekuler di sini artinya sudah memisahkan urusan sekolah dengan tuntunan agama. Pertimbangan mereka bukan lagi teologis tetapi pragmatis. Sorga, bagi mereka, bukan di alam penantian saja, tetapi lebih di dunia nyata yang dihayati kini dan di masa depan. Dalam filsafat Post-Modernisme, kesadaran subjek semacam itu memang prioritas, maka kesadaran hidup mengarah pada eksistensialis. Bukan lagi mottonya Cogito Ergo Sum (Saya BERPIKIR maka saya ada), tetapi Ergo Sum Cogito (Saya ADA maka saya berpikir).

Bila demikian perkembangan dunia pendidikan secara komersial, benar juga kata orang “Di atas bintang ada bintang’. Memang mahal sekolah’ Orang Kota’ di Indonesia, tetapi jauh lebih mahal lagi sekolah2 di Swiss. Mahal karena kualitas. Secara umum apa kriteria sekolah2 mahal yang dibicarakan di atas? Dapat disimpulkan bahwa ia mengutamakan spesialisasi bagi pengembangan karakter tiap siswa yang berbeda2. Berjiwa inklusif (terbuka) bukan eksklusif (sikap membatasi diri/tertutup). Menekankan kreativitas siswa. Berpikiran terbuka (open-minded), tidak terkungkung oleh suatu dogma, tidak pula pada ideologi negara, tidak terkunci oleh ajaran guru, adat lokal, tetapi mengikuti kebijakan sekolah. Belajar di alam terbuka tidak melulu dalam lokal. Sekolah mahal semacam itu, maaf menurut saya, mirip dengan peternakan ayam. Pakannya diatur, takaran dan kualitas gizi sangat dioptimalkan, diberi obat2an dan vitamin, kandangnya diberi lampu dan suhu tertentu, diputar musik, setiap ekor ayam dianalisa perkembangannya dari periode ke periode (didatangkan dokter hewan), dianalisa kendala yang dihadapinya (didatangkan psikolog bagi manusia), bahkan diprediksi nilai jualnya. Serba teratur, serba terencana, serba mahal dan pragmatik (lebih mementingkan ends/causa finalis dari pada means/causa effisien).

Nah bagaimana pula dengan sistem pendidikan nasional kita? Sistem Rayonisasi diterapkan. Siswa harus manut pada guru, kiyai, ustaz, masih jarang berpikiran terbuka bebas, bila siswa nakal/degil, orang tua wali murid bisa kena panggil ke sekolah. Tangan harus dilipat di atas meja, hormat pada guru dan tata krama diutamakan. Kepintaran nomor 2 bila dibandingkan dengan kepatuhan. Kreatifitas siswa mungkin sulit dikembangkan sebab infrastruktur sekolah belum mendukung. Pancasila dan UUD 1945 harus diulang2 membacanya dan pelajaran agama harus dihafal dan diamalkan. Sejarah nasional dan budaya lokal ditanamkan. Di perguruan tinggi nanti diajarkan mata kuliah pendidikan Anti-Korupsi. Diajarkan (secara kognitif), bukan dibudi dayakan sifat anti-korupsi, bukan ditanamkan sebagai sifat melekat, tujuannya agar mahasiswa kelak jangan berperilaku koruptif bila menghadapi mileu yang ternyata sudah koruptif.

Bagaimana pula dengan sebagian pesantren? Masih banyak ditemui pesantren dibangun jauh dari masyarakat, terpencil dalam kebun2 sawit dan getah (mungkin di Jambi). Jalan menuju ke lokasi masih becek dan kurikulum pelajaran agama yang bersifat normatif. Boleh jadi kurikulumnya belum mengeksplor kemampuan terpendam individual. Guru/ustaz adalah panutan normatif dalam segala hal, bukan pelopor bagi pengembangan individu. Cita2 dan kesuksesan siswa digantungkan, bukan pada kemampuan dan daya juang individu, tetapi pada ‘campur tangan kekuasaan Ilahiyah’. Pernah seorang pembina pesantren, teman saya, mengatakan pada saya, masukkanlah anak2 pak Amhar ke pesantren ini, Allah sudah mengatur segalanya. Rasanya saya setuju dengan pikiran teologis semacam itu, tetapi kurang setuju dengan kalimat terakhir (paham Jabbariyah/terserah Tuhan) :Serahkan sajalah pada Tuhan, semuanya akan beres!”. Bagaimana Tuhan mau mengajarkan anak saya matematik, computer dan bahasa Inggeris? Apanya yang beres? Bagaimana dengan ayat argumentasi paham Qadariyah/percaya perlu ikhtiar manusia? ‘Innallaha laa yughayyiru maa biqawmin hattta yughayyiru maa bi anfusihim’Q. S. Ar-Ra’d ayat 11. (Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib suatu bangsa bila bukan bangsa itu sendiri yang merobahnya). ‘Orang Kota’ nampaknya menganut aliran paham Qadariyah, sementara masih banyak sekolah dan pesantren yang beraliran paham Jabbariyah.

Maka di balik tuntutan ayat tersebut tersembunyi sejumlah persoalan bagi sekolah yang beraliran Jabbariyah: sikap/pola pikir/budaya orang tua yang ‘mendikte’ yang sangat jauh dengan sikap ‘Orang Kota’ (terbuka), kurikulum yang sangat jauh dengan kurikulum sekolah2 internasional, pengembangan siswa yang belum memprioritaskan individu tetapi masih kolektif, dana pengembangan pendidikan dan infra struktur sekolah yang jauh berbeda dengan sekolah2 internasional serta sumber daya insani para guru dan ustaz/zah. Bagaimana di Jambi? Telah ada juga beberapa sekolah yang tergolong mahal, misalnya al-Azhar dan Nurul ‘Ilmi, al-Falah dan an-Nahl. Dikatakan bahwa lulusan al-Azhar, Jambi ternyata kalah bersaing dalam pelajaran umum dengan tamatan sekolah lain sederajad tatkala hendak melalui test SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), SNBT (Seleksi Nasional Berdasrkan Tes) dan Seleksi Mandiri oleh P’TN sebagaimana yang telah dialami oleh anak adik saya yang ingin masuk Fak. Kedokteran. Maka dapat disimpulkan, terinspirasi oleh pidato Prof. Karlina Supelli di ITB, bahwa di negeri ini In the God’s Name melebihi Free-Will.

Singkat kata, konsep Nomos pada teori sosiologi Peter L. Berger dalam tulisan saya Jumat kemaren akan sangat membantu juga untuk menunjukkan disparitas kendala2 sosiologis dalam dunia pendidikan kita. Contoh, masih ada otoritas keagamaan yang mengatakan pada siswanya, selain warna merah dianggap pro Mu’tazilah, bahwa bahasa Inggeris itu adalah bahasa orang kafir, tidak perlu dipelajari, tidak berpahala membaca dan mengucapkannya: ini dianggap kebenaran objektif dan ingin agar diinternalisir oleh individu2. Sementara di UIN Yogya khususnya telah menerapkan khotbah berbahasa Inggeris secara bergiliran setiap Jumat dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Artinya, Ulul Amri harus berpikir kritis atas adanya Nomos…Nomos dalam prilaku sosial keagamaan dalam dunia pendidikan, sebagai sub teori Berger ‘The Sacred Canopy’!

Sekian dulu pembaca budiman, sudah terlalu panjang, terimakasih atas waktunya telah sudi membaca. Maaf bila kurang berkenan. Wassalam. Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share