TERSANDUNG

KERINCI – IDEAA.ID || di awal Februari ini, maaf agak terlambat terbit dikit, topik kita lebih sentimentil dikit, judulnya TERSANDUNG. Bila anda berjalan dan kaki anda tiba2 kesenggol batu, sakit rasanya, ini akibat tersandung. Bila anda berjalan di depan deretan banyak rumah2 dan anda ‘cuek’ tak peduli, tetapi suatu kali anda kecantol/falling in love dengan seorang cewek cantik yang kebetulan rumahnya biasanya anda ‘lewatin’ saja, maka mulai sejak ‘Tersandung’ perasaan, rumah itu menjadi spesial bagi anda. Walaupun gedung2 indah ada di kiri kanan rumah tersebut, tetapi rumah si cewek yang membuat anda ‘tersandung’ ternyata lebih bermakna bagi anda. Tetapi bukan ‘tersandung’ seperti itu yang akan kita diskusikan kali ini, melainkan ‘tersandung’ yg membawa hikmah dalam hidup. Sebetulnya bagaimana efek tersandung itu pada penghayatan agama? Kira2 apa bedanya ‘tersandung karena duniawi’ dengan ‘tersandung karena rohani’? itu saja kira2 yang akan dibahas kali ini. ‘Tersandung’ itu perlu agar kita manjadikannya ‘batu asah’ untuk lebih mempertajam kepribadian diri sendiri dalam hidup. Saya di sini tidak berdakwah ala ustaz tetapi mengkaji ‘tersandung’ dari segi ilmu pengetahuan semampu saya. Boleh jadi anda lebih ahli dari saya, tetapi saya ‘tetap semangat’. Mudah2an anda suka membacanya, kira2 3 alinea lebih agar ‘tersandung’ semakin terasa.

Pengalaman hidup kadang2 membuat kita ‘tersandung’. Mungkin juga pernah ‘tersandung’ dengan kata2 ibu, atau ayah/bapak yg sangat membekas di lubuk hati kita, kadang2 membuat kita menangis bila teringat mereka yg kini telah tiada. Tersandung dengan tokoh atau guru. Biasanya kita bila bertemu dengan seorang tokoh, orang gde, biasanya yang terpikir malah minta foto bersama, bukan pengalaman ‘tersandung’ bersamanya. Foto2 kenangan di HP akan cepat sirna dan terhapus bersama waktu karena bobot ‘tersandungnya’ dak ada bersama sang tokoh. Sekarang kita bicarakan beberapa pengalaman ‘tersandung’.

Pertama, Prof. Emil Salim, dalam acara pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Hotel di Montreal, Canada (1993?) sangat membekas di hati saya. Dia mengatakan bahwa seseorang masuk Perguruan Tinggi boleh jadi karena 3 alasan: ingin ijazah, ingin, cepat kerja, tetapi yag lebih bermakna, katanya, ialah demi perluasan cakarawala berpikir, karena telah berobah status dari siswa menjadi maha siswa. Kata2 ‘perlusan cakrawala berpikir dan pengembangan bakat intelektual pribadi’ adalah pesan yg sangat membuat saya ‘tersandung’. Hebat Profesor ini saya bilang! Sebab umumnya dunia kampus di tanah air, saya lihat, menjanjikan cepat lulus, cepat kerja. Perguruan tinggi menawarkan sasaran objektif: ilmu pengetahuan dan ijazah, jarang yang membangkitkan unsur subjektif terdalam agar tampil sebagai sosok yang merdeka berpikir dan berpikir merdeka. Mengingat kata2 Ryu Hassan (ahli neurologi/bedah saraf) bahwa kecerdasan tidak melulu kesadaran. Kesadaran indrawi lebih tertuju bagaimana cara bertahan untuk hidup. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi dewasa ini lebih menyadarkan pada kesadaran indrawi, menurut saya, apalagi setelah dosen dibebani dengan capaian cum. Usaha intelektual ke arah itu boleh jadi tak ‘tersandung’ sebab ia menekankan aspek cognitif, objektif, deduktif ala Cartesian bukan empiric, subjectif, induktif ala Hume.

Kedua, HAMKA membuat saya ‘tersandung’. Dalam bukunya Tasawuf Modern mengajarkan bahwa sekurang ada 9 hal yang membuat martabat pribadi seseorang semakin baik. Pintar, bijak, cerdik bila bicara, tahu menempatkan diri, beriman, menjaga cara berpakaian, rendah hati, dll. Bijak artinya pintar memprediksi akibat jauh dari omongan dan perbuatan kita. Bila pintar itu mirip pohon yang rindang banyak daun, tetapi bijak mirip pohon yang rindang dan juga berbuah. Batang pohonnya kokoh tempat orang berlindung dari kepanasan dan kehujanan. Cerdik bila bicara artinya argumentasinya tidak menyakiti lawan bicara, tetapi malah diam2 lawan bicara akan bilang ‘yes’ di belakang kita. Bila dimintai pendapat, kita akan jawab pendek saja, tetapi membuat orang bertambah ilmu/bijaksana dari jawaban kita tersebut. Tahu menempatkan diri artinya bila duduk, duduklah di tempat yang pantas untuk kita, yang akan membuat kita terhormat. Jangan suka ikut campur bicara orang lain. Bila berpakaian, ya pakailah busana yang akan meningkatkan harga diri kita. Sebab yg akan menilai adalah orang lain, bukan kita. Busana ya termasuk juga mobil dan motor. Knalpot bising bagi anak muda, mungkin sebagian teman akan bilang kalian ‘keren’, tetapi sebaiknya jangan dipakai, sebab banyak orang akan menyumpahi anda. Martabat anda jadi rendah. Naik mobil pribadi masuk komplek perumahan sendiri, ada baiknya dibukakan jendela mobil bila bertegur sapa dengan tetangga, sebab ‘dalam senyum’ ada ‘sedeqah’ kata Nabi. Tersandung dengan buku HAMKA akan banyak menghasilkan sikap pribadi yang indah…Cobalah baca!

‘Saya juga ‘tersandung’ oleh sosok pribadi HAMKA. Suatu kali dalam acara Ramadhan in Campus Universitas Gadjah Mada (Yogya 1975?), mahasiswa2 UGM membimbingnya masuk mesjid rame2, saya masih di PHIN (SLTA) di Yogya sempat bersalaman dengannya, saya duduk persis di belakang HAMKA, dia solat sunat memakai sarung, pakai jas dan serban, saya intip dari belakang tangan kanannya lagi tasbih, ditaruh di atas tangan kirinya (berdempetan) di atas pahanya sambil duduk tasyahud akhir…Oooo begitu cara beliau bertasbih… dalam hati saya..hingga kini sudah lewat hampir 50 tahun tetap saya tiru beliau cara bertasbih seperti itu…Tersandung karena pribadi HAMKA yang kini telah tiada….ya tersandung. Yaa Allah limpahkan pahalaMu pada HAMKA….Itu baru tersandung karena HAMKA..apalagi jika kita benar2 ‘jumpa’ melihat sosok pribadi Rasul saw….bayangkan!
Banyak lagi tokoh2 yang membuat saya ‘tersandung’. Mukti Ali di Kedutaan RI di Jeddah (1980?) sikapnya yang penuh wibawa, tenang, intelektual. Ada lagi Kasman Singodimedjo di pengajian subuh di Mesjid Syuhada Yogyakarta sekitar tahun 1975-1976, kumis panjangnya membuat saya tak henti menatapnya …W.S Rendra puisi politiknya di Kridosono Yogya sangat dahsyat tak gentar dengan Orde Baru….. Taufik Abdullah dalam diskusi di McGill yg menyuruh saya belajar hermeneutik yang masih asing sekali bagi saya waktu itu suatu konsep baru….Nurcholish Majid beberapa kali jumpa di Hotel Abadi di Jambi, LIPI di Jakarta ide2nya cemerlang, membukakan cakrawala berpikir keislaman baru, Brian S. Turner (Sosiolog) diskusi dengannya di LIPI Jakarata membuat saya mengoreksi diri dalam sosiologi agama…Dale Carnegie dengan buku sakunya How to Win Friends and Influence People…banyak sekali merobah cara2 saya mencari teman baru dan mempengaruhi orang lain…sebuah buku kecil yang sangat menggugah.. ..Prof.Issa J. Boullata bikin saya kaget di ruangannya di McGill dalam diskusi tesis berdua karena dia bilang tesis saya “That’s not all—Amhar..That’s not all..…pada hal saya yakin sudah membuat the best dalam tesis, walaupun dia bukan pembimbing tesis saya seperti Wael B. Hallaq dan Charles Adams. Kritik Boullata ‘menggoncang’ cara berpikir saya. Hingga kini..seluruh isi kitab kuning, tafsir, Hadis, buku2, novel, ijazah, SK, bagi saya bukan ‘ALL’…apalagi dikaitkan dengan kata2 Gadamer, yg tertulis lebih sedikit jumlahnya dari pada yang TAK tertulis, dan yang TERKATAKAN jauh lebih sedikit jumlahnya dari pada yang TAK TERKATAKAN. Betul2 membuat saya ‘Tersandung’ kalimat2 seperti itu. Apalagi setiap teks, dikatakan, belum memuat aspek pengalaman (Erlebnis/Jerman) di dalamnya. Hadis Nabi ‘Shollu kama roaitumuni ushalli’ itu baru meniru Nabi pada aspek cognitif, boleh jadi belum merasuk jauh ‘tersandung’ ke dalam batin ‘pengalaman’solat. Ceramah2 agama jarang mengungkapkan ‘tersandung’ semacam itu.

Ada lagi cerita indah dari seorang Buk Guru saya di SD. Waktu sekolah Dasar, saya duduk di kelas VI SD (1970) masih bercelana pendek, teman2 keluar istirahat main2, saya tetap dalam kelas melukis sendirian di meja saya. Di meja guru, di depan kelas, duduk sendirian ibu guru menggunting buku tulis untuk dibuatnya buku absen murid, ibu guru muda cantik tersebut baru tamat SPG. Tiba2 ibu guru tersebut mendekati saya diam2 setulus hati, pelan2 berjalan tanpa bicara sepatah katapun dan tiba2 menyodorkan secarik sisa sobekan buku tulis tersebut, saya terperanjat malu2. Pemberian tanpa pamrih dari ibu guru. Aduh rasa belaian kasih sayang ibu guru semacam itu membuat saya ‘tersandung’ seumur hidup..oo..begini caranya guru menyayangi murid dalam hati saya berbisik…puluhan tahun saya tersandung. Setelah jadi dosen, saya diam2 kasih pula dasi pada mahasiswa yang berprestasi dalam kelas..ee rupanya berbekas pula baginya. Jadi mendidik mahasiswa nampaknya jangan dengan marah2 dan jangan menonjolkan kepintaran kita, tetapi bagaimana membangunkan sumber daya (faculty) yang ada dalam diri setiap mahasiswa tersebut dengan hati nurani, biarkan mereka berkembang menjadi lebih pintar dari dosen2nya. Dosen/guru adalah inspirator bagi mahasiswanya. Kelak di kemudian hari, walaupun sudah pensiun, kita akan ditegurnya jua bila berjumpa.
Banyak lagi pribadi2 yang membuat saya ‘tersandung’. Guru kursus bahasa Inggeris (Chinese) bernama Mr. Chan di Chan English Institute di sekitar Tugu dekat pasar Kranggan Yogya (1977), selalu tepat waktu ‘on time’ masuk kelas ba’da magrib, bersih, rapi, senyum, dan cara mengajarnya enak, membekas, sambil berjalan menatap siswanya hilir mudik dari depan kelas sampai belakang..serius….membuat saya cepat menangkap pelajarannya…Ada lagi Bambang Sugiharto (guru besar filsafat di UNPAR (Parahayangan Bandung) yang sekarang banyak memberikan kuliah filsafat di Youtube..Kanda Yusra Dalimi di Cairo banyak sekali membantu, memberi contoh2 kebaikan hati dalam hidup.. ada lagi kanda alm, Rifyal Ka’bah, (mantan Hakim Agung RI) waktu kuliah di Cairo bila berjalan matanya menatap ke depan bagai burung elang dan langkah jalannya mantap mirip singa, bicara seperlunya…sangat berwibawa di mata teman2, tekun belajar ber-tahun2…ada lagi Dosen IAIN Jambi Marzuki Arsyad teman sejawat Prof.Syamsul Anwar, dan Prof. Hamim Ilyas (UIN Yogya) sangat membekas pribadinya bagi saya, cara bahasanya yang filosofis dan wawasan intelektualknya berbobot……ada juga Mbah Jawa dalam cerita Jumat yang lampau, kehidupannya yang sangat prihatin di gubuk sederhana….bagi saya mereka sangat sangaaaat membekas, mereka bagaikan batu2 yang membuat saya ‘tersandung’ secara intelektual…membekas, mendalam..telah berlalu puluhan tahun dalam hidup saya. Apalagi bila sempat berjumpa dengan Nabi Muhammad saw…alangkah membekasnya di hati..membuat ‘TERSANDUNG DAHSYAT’. Pertanyaan yang muncul, ceramah2 akbar di mesjid di langgar, bahkan sengaja dengan mengundang ustaz penceramah luar, mungkin karena panitia mesjid ingin ‘tersandung’ bersama jama’ah, tetapi banyak yang berlalu tanpa membekas, meski didatangkan jauh2 dari Jakarta. Apa masalahnya kok tidak begitu membekas dalam hati jama’ah? Jadwal Kultum Ramadahan yang akan datang nampaknya telah pula disusun oleh panitia, sudah banyak calon penceramah yang bertitel S3, tetapi mampukah mereka menggugah pengalaman rohani kita? Kita harapkan ceramah2 mereka jangan hanya mengulang kaji yang sudah biasa. Kaji lama, lagu lama.

Saya yakin, anda sudah pernah berkenalan dengan ribuan orang sejak kecil hingga kini, tetapi yang singgah di hati hanya beberapa orang saja. Coba ingat2! Jadikan mereka sebagai ‘batu asah’ untuk mempertajam kepribadian anda sekarang dan masa yang akan datang. Coba ingat lagi! Tersandung itu mirip mutiara2 yang pernah dijumpai dalam hidup secara kebetulan ketemu, coba cari lagi, yang betul2 ‘membekas di hati’ (impressive). Anggaplah diri anda bagai sebuah batu cincin yang belum mengkilat, belum diasah. Lalu coba asah kepribadian anda dengan mengingat tokoh2 yang pernah anda ‘tersandung’ dengannya. Saya menduga banyak bacaan solat dan doa kita di mesjid hari ini berlalu begitu saja tanpa membekas, sebab kita susah tersandung dengan bacaan2 tersebut. Mungkin hanya bibir yang komat kamit, tetapi hati tidak bergetar..itulah susahnya pengalaman bathin dalam beragama. Kita disuruh khusyu’ (super serius) dalam solat, tetapi susah, barangkali karena objek yang harus kita ingat tersebut sangat jauuuuh di dalam qalbu, ia tidak terlihat di depan mata, tidak bersentuhan seperti dengan para tokoh2 di atas. Bacaan doa berlalu begitu saja tanpa bekas, apalagi kita dan jama’ah tak paham arti doa berbahasa Arab tersebut.

Solat tahajud tengah malam, menangis minta kepada Tuhan dengan hati yang paling dalam, sebetulnya mengisyaratkan perlunya unsur ‘tersandung’. Harus ada didahului oleh pengalaman ‘tersandung’ dalam hidup sehingga kita betul2 serius meminta pertolongan kepada Tuhan. Bila anak/isteri sakit terbaring di rumah sakit, lalu kita menangis berdoa..’tersandung’. Tanpa adanya unsur ‘tersandung’ sebelum solat tahajjud tengah malam, lalu kita mau mendo’a apa? Ada teman saya bilang, membaca doa dan berdoa itu adalah dua konsep yang berbeda. Membaca doa secara berjama’ah, massal, boleh jadi asal dijawab Amin tak tahu artinya. Tetapi ‘berdoa’ mengisyaratkan adanya ‘tersandung’ sebelumnya, sebab berdoa adalah permintaan khusus serius pribadi seorang makhluk kepada sang Khaliq. Yang lebih mulia adalah ciptakan diri kita sendiri bagaimana agar supaya orang menjadi ‘tersandung’ oleh kepribadian anda..itu namanya kepribadian agung..ia bagaikan lilin yang menyinari sekitar di mana ia diletakkan. Itu susah sekali. Bung Karno waktu pembuangannya di Bengkulu katanya sering dikunjungi oleh banyak orang2 di sekitar pembuangannya. BK bagaikan lilin, tokoh yang bisa membuat orang ‘tersandung’. Dan mungkin juga itu saatnya BK tersandung dengan gadis Bengkulu bernama Fatmawati (ibundanya Megawati).

Jamaluddin al-Afghani waktu di Mesir membuat banyak orang tersandung tetapi yang paling ‘tersandung’ adalah Syaikh Muhammad Abduh sampai mereka lari berdua, mencari suaka politik di Paris. Memang susah untuk membangun kepribadian sendiri agar orang lain ‘tersandung’ oleh kita, tetapi kita juga susah ‘tersandung’ oleh tokoh2 tertentu…Banyak baleho sepanjang jalan menjelang 14 Februari ini memajang foto2 politikus, tetapi adakah anda ‘tersandung’ dengan salah satu dari mereka? Bagus kalau ada. Tersandung dengan seorang tokoh bukan berarti fanatik padanya, bukan. Tersandung dengan seorang tokoh akan menambah lapisan tertentu dalam perkembangan intelektualitas kita. Sebab kita menjadi diri kita yang sekarang, kata Bambang Sugiharto, sebenarnya adalah hasil tumpukan dari sekian banyak orang2 lain di masa lalu (pengaruh ibu/bapak, guru, kiyai, ustaz, politikus, cendekiawan). Artinya, diri kita sekarang sudah berlapis-lapis. ‘Tersandung’ dengan seorang tokoh mungkin lebih baik dari membaca 100 buku. Memang beberapa dari tokoh ada yang membuat kita ‘tersandung’, tetapi banyak pula yang lewat berlalu tanpa bekas, apalagi pribadi yang pemarah, tamak, penipu, kasar, licik, egois, penjilat, money-oriented, suka jual diktat/nilai, saya yakin pasti anda cepat lupa dengan mereka dan tak mau mengingatnya lagi. Ya ‘tersandung’ juga, tetapi menyebalkan. Maka ‘tersandung’ yang membekas lama adalah ‘tersandung’ karena polos, jujur, tanpa pamrih dari lubuk hati yang paling dalam.

Setiap aorang pasti pernah tersandung, atau apalah istilahnya bagi anda. Anda juga pasti pernah tersandung iya kan?. Jadikanlah ‘tersandung’ itu sebagai ‘Thou’ (Kamu)..sebagai sesuatu yang lain (The Other) yang berguna untuk anda bercermin diri, mengingat batu asah masa lalu. The Other (Yang lain) akan berguna sejauh ia berguna bagi diri kita juga kata Heidegger. Banyak pengetahuan dalam hidup, banyak buku telah dibaca, banyak ceramah agama telah didengar, tetapi ia berlalu saja tanpa bekas. Menurut William James, kesadaran biasa tidak seluruhnya bisa dianggap sebagai kesadaran, tetapi ia masih di luar kesadaran. Misalkan anda marah2 lewat HP, saat itu apakah anda sadar sedang memegang HP? Itu contoh kesadaran biasa yang tidak bisa disebut kesadaran karena ia di luar kesadaran.
Kesimpulannya, dari cerita di atas saya tidak bermaksud mengungkit kembali pengalaman sedih anda, sebab setiap orang pasti mengalaminya, tetapi saya hanya menolong ‘membangunkan’ aspek a posteriori (sudah dialami) anda dari keterlupaan atas pernak-pernik hidup di masa lalu. Sedih dan derita adalah dua sisi mata koin yang tak pernah lepas dari hidup manusia, betapapun sekarang anda telah kaya raya, pengusaha, berpangkat tinggi, terkenal, tokoh masyarakat, bergelar doktor dan guru besar, dsb. Ada moment2 dalam hidup yang kalau dipikir kembali malah lebih berharga dari pada hanya mendengar ceramah panjang di Youtube. ‘Tersandung’ bagaikan anti-tesis dalam filsafat Hegel, dari mana kemudian kita memperoleh sintesis sementara, fase baru, untuk membangun kembali tesis baru yang lebih berkualitas, lebih segar bagi peningkatan kualitas diri ke depan. ‘Tersandung’ bukan untuk ditangisi, tetapi jangan pula ‘tersandung’ pada batu yang sama kedua kalinya tanpa memperoleh pelajaran hikmah darinya.
Kita akhiri ‘tersandung’ dengan ayat al-Qur’an, surah al-Anfal ayat 2: .. idza dzukira Allahu wajilat qulubuhum, wa idza tuliyat ‘alaihim ayatuhu, zaadathum imana (Bila disebut nama Allah, ‘gemetar’ qalbu mereka, dan bila dibacakan ayat2Nya, bertambah kuat iman mereka). Ayat ini mengisyaratkan perlunya ‘tersandung’ dalam rohani. Barangkali kaki Nabi sampai bengkak karena solat malam terlalu lama, sebab pengalaman rohani ‘tersandung’ dengan Allah membuatnya begitu. Kita tersandung dengan apa? Kita mungkin baru betul2 ‘tersandung’ bila malaikat maut sudah berdiri di depan pintu hendak mencabut nyawa….mungkin…mungkin begitu…tetapi itu ‘tersandung’ a priori (belum dialami).

Sekian dulu pembaca budiman, maaf dari ratusan kata2 di atas bila ada yang kurang bijak. Maaf terlambat edisi Jum’at ini karena salah satu hal. Wassalam, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share