KELOMPOK KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

OLEH: VARADITHA MOLIZA

NIM P2B122078

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau lebih tepatnya perkembangan suatu peradaban, telah mendorong masyarakat dunia untuk mengakui secara eksplisit tentang adanya hak-hak dasar yang melekat pada seorang manusia karena kemanusiaannya, yang dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dunia Industri ada yang dinamakan pekerja atau karyawan. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. 

Seorang pekerja atau karyawan memiliki hak dan kewajiban yang perlu dan harus dipenuhi. Pemenuham hak dan kewajiban bagi setiap karyawan sangat penting, karena hal ini dapat menjamin kesejahteraan karyawan di tempat bekerja namun juga memastikan agar perusahaan dapat berjalan kondusif. Karyawan yang memahami hak dan kewajibannya akan bekerja dengan tenang sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerjanya.

Terkait dengan hak dasar bekerja, secara hukum dan ekonomi saat ini keberadaan pengusaha (pemberi kerja) dan tenaga kerja (pekerja) merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam dunia industri. Keduanya saling berperan seperti dua sisi mata uang. Dalam hal ini, apabila tidak ada tenaga kerja maka pengusaha dipastikan tidak dapat menjalankan usahanya sesuai dengan maksud dan tujuan usaha yang ditetapkan. Di sisi lain, pekerja juga tidak akan dapat bertindak semenamena atas kemauannya sendiri untuk menuntut kepuasan kerja saat menjalankan seluruh kewajibannya sebagai pekerja atau pekerja di tempat kerja.

Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law membutuhkan partisipasi lembaga-lembaga hukum dan masyarakat dalam menetapkan aturan-aturan yang dimuat pada pasal-pasal Undang-Undang agar tidak terjadi ketimpangan dan disharmoni peraturan. Jika kita telisik lebih dalam, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang menjadi isu politik di kalangan masyarakat. Salah satunya yaitu prihal waktu istrirahat dan cuti. Dalam UU Cipta Kerja Pasal 79 ayat 2 huruf b mengatakan bahwa ““Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: “b. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”

Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 telah menjamin “hak istirahat dan cuti” pada poin pasal tertentu tetapi menghilangkan poin yang lain, yaitu poin d tentang istirahat panjang selama dua bulan yang sebelumnya disebutkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Itu artinya ada hak-hak tertentu yang tidak diberikan lagi kepada pekerja, sehingga mengurangi rasa keadilan dan kepastian hukum. Hal ini dapat menimbulkan mengindikasikan adanya potensi “disharmonisasi pengaturan” dalam hal itu, karena ada norma yang tidak sesuai dengan asas, yaitu norma yang mengikat semua orang dengan asas keadilan yang setara. 

*Silakan Share