PENGARUH PEMIKIRAN ABDUH PADA MURID2NYA

Oleh: Amhar Rasyid
Jepara, 3 Okt 2025

Assalamu’alaikum wr,wb
Bapak2/ibuk2/adik2 dan semua mahasiswa yang sudi membaca tulisan saya tiap Jum’at baik Muslim maupun non-Muslim. Memenuhi janji pada Jum’at yang lalu, saya Jum’at ini akan membicarakan Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh pada berbagai tokoh yang tertulis di dalam buku Albert Hourani: Arabic Thought in the Liberal Age (London: Cambridge Univ. Press, 1983) kebetulan saya lagi di Jepara, kampung R. A. Kartini. Rupanya banyak pembaca yang mengingkinkan agar tulisan saya tiap Jum’at lebih diperpendek lagi, dipersingkat, maka sayapun setuju. Maka focus pertanyaan kita ialah apa contoh pengaruh pemikiran Al-Afghani dan Abduh yang telah mempengaruhi tokoh2 intelektual Arab? Siapa diantara murid2nya yang terkenal? Dimana titik beda penekanan pemikiran mereka dengan Al-Afghani dan Abduh? Inilah diantara pokok bahasan kita kini, semoga anda senang membacanya bilamana ada waktu luang.

Bila dipahami buku Hourani secara mendalam nampak rentetan pengaruh ide dari Al-Afghani ke Abduh, dan dari Abduh terus kepada Farid Wajdi, terus kepada Musthafa Abdur Raziq dan Qasim Amin. Bagi Al-Afghani, kata Hourani, gambaran perdaban Islam mirip dengan peradaban Eropa. Bukan Islam sebagai agama yang lebih penting bagi Al-Afghani tetapi Islam sebagai peradaban (p114). Manusia diciptakan Allah bukan hanya untuk beribadah saja tetapi juga untuk membangun peradaban. Ini meniru cara berpikir Eropa abad ke 19, kata Hourani, dan cara berpikir itu pula yang diwarisi al-Afghani sehingga berkembang di dunia Islam. Semula ide tersebut, kata Hourani, adalah hasil paparan kuliah Guizot, dan karya Guizot tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1877, dan al-Afghani menyambut baik usaha Abduh untuk menulis artikel yang menyambut baik terbitnya terjemahan tersebut. Apa ide pokok al-Afghani? Pertama, perlunya peradaban. Kedua, makna peradaban itu sendiri yaitu keinginan untuk maju, untuk berkembang dalam 2 arah: perkembangan sosial dan perkembangan individual (p. 115).

Bagaimana pengaruh ide al-Afghani ke Abduh? Sebagaimana tulisan saya Jum’at lampau, kedua tokoh sama2 menekankan perlunya kebangkitan Islam. Bagi al-Afghani bangkit dalam kehidupan nyata, bangkit secara politis, anti imperialisme Barat (sumbu pendek). Bagi Abduh bangkit secara intelektual, maka diperlukan pendidikan, peningkatan cara berpikir umat, kikis habis taqlid, tingkatkan peran ratio dalam memahami ajaran Islam (sumbu panjang). Hebatnya pengaruh ide Abduh bisa kita baca di bawah ini pada ide Farid Wajdi, Mustafa Abdur Raziq dan Qasim Amin.

Pertama, seorang murid Abduh yang terkenal bernama Farid Wajdi. Murid ini pernah menulis buku berjudul al-Madaniyah wa al-Islam (Peradaban and Islam). Pokok2 pikiran Wajdi, kata Hourani terbagi dua: ada Kebenaran Islami yang datang Allah dan ada kebenaran peradaban modern yang ditemukan lewat sosiologi (p. 162). Lantas di mana titik bedanya? tanya Hourani. Bila dilihat kepada pemikiran Abduh, inti peradaban yang sebenarnya adalah cocok dengan Islam, sementara bagi Wajdi (si murid) dalam bukunya nampak sedikit pergeseran, bukan lagi inti peradaban yang sesungguhnya cocok dengan Islam tetapi inti Islam yang sebenarnya adalah cocok dengan peradaban (p. 162). Menurut anda bagaimana cara memahami kalimat ini? Bila anda punya anak, apakah: ‘Anda sebenarnya cocok dengan anak anda, atau ‘Anak anda sebenarnya cocok dengan anda?’ susah juga memahaminya, eloklah kita minum kopi dulu. Bagi saya, berbeda dengan Hourani. Islam baik di mata Abduh maupun di mata Wajdi adalah transcendental, ini berimplikasi pada posisi ratio atas wahyu, sementara peradaban manusia fenomenologis. Maka logikanya berdasarkan pernyataan di atas: bagi Abduh ratio cocok dengan wahyu, bagi Wajdi wahyu cocok dengan ratio. Hourani (si pengarang buku) yang berpendidikan Eropa dan positivistic mungkin tak melihat perbedaan ini, sehingga kita jadi bingung. Anda mungkin lebih cerdas. Saya butuh anda untuk mengomentarinya terutama Uda Prof. Zainun Kamal di UIN Ciputat, kalau saya tak salah, saya pernah melihat buku Hourani tersebut di dalam kamar studinya di Mesir tahun 1980an. Dari dia dan alm. Rifyal Ka’bah (mantan Hakim Agung RI) saya banyak belajar. Terimakasih abang2ku.

Kedua, Mustafa Abdur Raziq. Kata Hourani, murid ini berhaluan politik Abduh, dia pernah studi di Azhar University, Cairo dan Univ. Sorbonne di Paris di bawah asuhan sosiolog ternama Emile Durkheim. Raziq pernah menjadi Rektor Univ. Al-Azhar (1945) dan meninggal tahun 1947. Dia pernah menulis buku, tetapi tidak disebutkan oleh Hourani judulnya, isi bukunya sangat ‘dihantui’ oleh pemikiran Ernest Renan (filosuf Perancis). ‘Momok’ kata2 Renan yang sangat ditakutinya ialah bahwa apa yang dinamakan filsafat Islam itu pada intinya bukanlah Islami dan bukan pula Arabi (p. 163). Pendapat Renan ini yang kemudian dibantahnya dengan membicarakan posisi akal dalam Islam, posisi ra’yu dalam Ushul Fiqh (Jurisprudence), dengan cara membuktikan bahwa ra’yu sudah digunakan oleh Nabi sejak awal, termasuk juga di zaman Sahabat dan para ulama sesudahnya. Kata Hourani, sumber referensi sejarah dalam buku Raziq ketat dan selektif, ditulis dengan menggunakan konsep perkembangan sejarah, menrcerminkan pengaruh pendidikan Eropanya, tetapi nuansa tulisannya tetap teguh mempertahankan apa itu Islam dari dulu hingga kini (p. 163). Selanjutnya Hourani tak membahas lebih dalam pengaruh pemikiran Abduh pada Raziq, yang diceritakan hanya boleh jadi guru dan murid2 berbeda penekanan. Bila Abduh tidak begitu menekankan pandangan yang defenitif sebagai salah metode dalam memandang Islam dan dunia, bagi muridnya boleh jadi berbeda, bahkan ada muridnya yang menolak adanya perobahan dalam Islam dan menekankan ajaran Hanabilah (p. 163), sementara sebagian lagi menekankan distingsi persoalan duniawi-ukhrawi dengan normanya sendiri2. Itu penjelasan Hourani, menurut saya Hourani di sini telah mengobjektivasi kebenaran sejarah tanpa disadari keterlibatannya ala Hegel.

Ketiga, Qasim Amin (1865-1908), pria berdarah Kurdi dan berpendidikan Perancis. Ini murid Abduh yang banyak dihujat oleh kaum Muslimin karena menerbitkan buku tentang emansipasi Wanita tahun 1899. Titik tolak pemikirannya adalah adanya kebobrokan Islam dilihat dari Darwinisme. Katanya, umat Islam sedang merosot, lemah menghadapi persoalan dari berbagai segi, maka untuk dapat bertahan hidup ia tak memenuhi persyaratan Seleksi Alam Darwinisme. Tetapi apa penyebab kemerosotan tersebut? Kebobrokan itu bukan karena pengaruh lingkungan, kata Amin, bukan pula karena Islam, tetapi karena merosotnya kekuatan sosial. Kemerosotan tersebut bukan sebagai SEBAB tetapi sebagai AKIBAT. Jadi, penyebab utama kemerosotan tersebut adalah karena hilangnya ‘social virtues’, hilangnya ‘kekuatan moral’, dan itu juga penyebab bagi kebodohan. Kebodohan terhadap ilmu yang sebenarnya, ilmu yang dapat memberikan norma2 kebahagian bagi manusia, kata Amin (p. 164). Kebodohan itu bermula tumbuh dalam keluarga, dalam hubungan antara pria dan wanita, dan keluarga merupakan basis terbentuknya bangsa. Selanjutnya peran wanita dalam keluarga akan membentuk moral bangsa ujar Amin. Sementara kenyataannya kebanyakan di dunia Islam, pria dan wanita tidak mengenyam pendidikan secara baik, akibatnya peran wanita dalam keluarga menyedihkan (p. 164).

Lalu apa penyebabnya menurut Qasim Amin? Penyebab kebobrokan bukan dari dalam Islam tetapi dari luar Islam. Mereka yang memeluk Islam kemudian membawa masuk pemikiran yang menghancurkan Islam katanya. Mereka menghantam system pemerintahan Islam yang asli lalu menggantinya dengan pemerintahan yang despotic. Dari sinilah malapetaka menjalar: yang pintar membodohi yang lemah, yang pria membodohi yang wanita.

Apa solusinya bagi Qasim Amin? Didiklah para wanita, tak usah sekolah tinggi2. Cukup SD saja, asalkan pintar mengurusi rumah tangganya dan ikut berperan di tengah masyarakat, tahu membaca, menulis, ilmu alam, akhlaq, sejarah, ilmu bumi, gizi, fisiologi, pendidikan agama, olah raga, dan pelatihan kesenian kata Amin (p. 165). Wah banyak juga persyaratannya. Saya kira Wanita cukup pintar melayani suami saja. Pokoknya wanita didik agar mampu mandiri. Bila mereka mandiri, kata Qasim Amin, nanti jilbab/cadarnya akan lepas sendiri (p. 165). Katanya lebih lanjut, cadar/jilbab itu tidak diatur dalam al-Qur’an. Itu kan masalah budaya ujarnya. Bila Wanita pakai cadar, bagaimana mereka akan bisa membuat kontrak bisnis? Cadar bukan untuk menjaga amar ma’ruf, malahan cadar bisa meningkatkan gairah seks katanya (p. 165). Menurut Hourani, Qasim Amin tidak tepat diijuluki feminist sebab baginya wanita tak perlu memiliki hak2 politik (p. 166). Dimana kesesuaian pikiran Qasim Amin dengan Abduh? Menurut Hourani, kesesuaian keduanya terletak pada prioritas social welfare. Dalam Islam harus dibedakan mana aturan yang jelas2 dari al-Qur-an dan Hadis dan mana aturan yang berasal dari interpretasi para ulama, dan ini bisa ditafsir ulang katanya, ia tidak suci. Demikianlah pandangan Qasim Amin sejauh yang saya pahami.

Cukuplah 3 murid saja yang kita bahas di sini, tidak usah semua murid2 Abduh dalam buku tersebut, kasihan anda letih membacanya. Pengarang (Hourani) nampak lebih cenderung membahas dampak pemikiran Abduh kepada politik, sementara saya melirik sisi2 akademiknya. Kata Hourani, ide para tokoh2 intelektual Arab di segi politik menekankan nasionalisme. Ide Arab sebenarnya merupakan campuran berbagai tipe nasionalisme. Ide tersebut sangat terkait dengan solidaritas umat, bahkan tokoh2 nasionalis Arab Kristen (misalnya Constantine Zureyq, Michel Aflaq), nasionalisme bagi mereka mengandung kecenderungan moral kepada Islam, yaitu Islam sebagai peradaban bukan Islam sebagai keyakinan agama (p. 343). Wikipedia menyebutkan bahwa Aflaq memang Kristen, tetapi dia meyakini Islam adalah ‘kejeniusan Arab’.

Kesimpulan ada 2: 1. Pengaruh Abduh sangat terasa pada murid2nya atau orang yang sempat mengenal buah pikirannya. Apa yang inti dalam pikiran Abduh ialah membedakan dua hal: ajaran Islam yang baku/permanen dan ajaran Islam yang tidak baku/tidak permanen. Ada ajaran Islam yang berada di luar nalar, yang tak perlu dipikirkan, direnungkan, dan ada ajaran Islam yang bisa diketahui oleh akal tetapi banyak umat Islam tak tahu katanya, sebab daya nalar mereka tak mampu. Sampai di sini kita ingin menanyai diri kita sendiri, di mana kira2 posisi akal sehat kita sebagai orang Islam? Apakah ide Abduh semacam itu bisa kita terima atau kita tolak? Bila ditolak, bukankah yang kita pertahankan termasuk Islam sebagai peradaban atau Islam sebagai aqidah? Sumbu pemikiran Abduh sebenarnya terletak pada dua hal tersebut. Fazlur Rahman jelas sekali meluaskan cara pandang tersebut dalam bukunya Revival and Reform in Islam. KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari nampaknya berbeda jalur dalam memahami dan mengembangkan kedua sumbu pemikiran Abduh di atas, terserah anda mau ikut yang mana di zaman Prabowo ini? Bila anda telah berani menentukan pilihan anda sendiri yang berbeda dari Kiyai2 panutan anda di atas, itu namanya anda sudah ikut memajukan peradaban Islam.

  1. Positivistik Hourani nampak jelas dari paparan di atas. Cara melukiskan ide para tokoh sangat objektif, se akan2 Hourani tak punya andil dalam menilai. Ia merasa bebas dari pengaruh apapun tatkala menjelaskan perkembangan ide, mulai dari ide Guizot, Al-Afghani, Abduh, Farid Wajdi, Abdur Raziq, dan Qasim Amin. Bila dikutip kalimat pertanyaan F. Budi Hardiman dalam menjelaskan konsep Effective History oleh Gadamer, maka rumusan pertanyaannya begini:’ Tatkala anda (Hourani) menjelaskan ide dan pemikiran para tokoh di atas, posisi anda waktu itu sedang di mana Hourani? Yang jelas anda bukan sedang meneliti tanaman atau virus (yang hampa nilai) tetapi sedang meneliti pengaruh ide2 manusia dalam perkembangan peradaban (di dalam peradaban ada nilai/value dan bias anda tak bisa lepas darinya). Singkat kata, buku Hourani ditulis dalam nuansa positivistic Cartesianisme, cara berpikir yang dikritik oleh Gadamer dan ia ditiru oleh Clifford Geertz terutama dalam bukunya The Religion of Java.

Significance of Issue (Hikmah). Berbahagialah Najwa Shihab yang tak mau berjilbab. Najwa lebih argumentative dari Qasim Amin dalam membela pendapatnya. Logika Najwa katanya dalam banyak Medsos, Tuhan itu Pemurah dan Lapang Hati: Tuhan tidak akan ketat menanyakan berapa 5+5, tetapi Tuhan akan senang hati menanyakan bagaimana caranya Najwa mendapatkan 10? Itu kata Najwa tetapi saya yakin dia bukanlah wanita yang terpengaruh oleh ide Qasim Amin dan bukan pula oleh ide Abduh bahkan bukan juga oleh ide Abinya Quraysh Shihab.

Sekianlah dulu tulisan saya Jum’at ini. Terimakasih atas waktu anda. Maaf bila salah kata2. Pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share