Ada sebuah buku berjudul ‘Inilah Hakikat Islam’ yang ditulis oleh seorang pengarang Arab, dan ada pula judul buku ‘Islam Yang Saya Pahami’ yang ditulis oleh Prof. Quraysh Shihab. Kedua buku tersebut menarik untuk kita pikirkan judulnya sebab judul tersebut menyiratkan pentingnya sisi hermeneutis. Ini perlu agar wawasan keagamaan kita semakin meluas, agar kita jangan menjadi fanatic buta. Para da’i/penceramah/ Ustaz/Buya telah banyak memberikan ceramah agama di mana2, tetapi ‘Kebenaran’ yang disampaikannya tersebut apakah sudah tergolong ‘Hakikat’ Islam’ atau masih ‘Islam Sejauh yang dia Pahami’? Ini juga termasuk persoalan lama tetapi tak kunjung usai kata Prof. Amin Abdullah (mantan Rektor UIN Yogyakarta). Saya di sini menolong Profesor tersebut untuk menjelaskan duduk persoalannya terutama kepada pembaca umumnya lintas agama dan budaya, termasuk juga para generasi muda dan adik2 mahasiswa umumnya baik yang berada di dalam maupun yang di luar negeri. Menariknya lagi, anda yang sedang membaca tulisan saya ini sebetulnya adalah pembaca yang seharusnya juga mempertanyakan “kebenaran Islamiyah’ yang ada dalam kepala anda sendiri, sebab horizon wawasan kita terus berkembang kata Gadamer di mana kebenaran semakin menyingkapkan dirinya. Maka pertanyaannya ialah apa yang dimaksud dengan ‘Kebenaran’ dan apa pula ‘Kebenaran Agama Islam?’ Apa hikmah yang bisa diambil dari diskusi kita ini nanti? Mari kita bahas.
Pertama, apa itu ‘Kebenaran’? Banyak teori tentang ‘Kebenaran’ oleh para ahli, ada yang dinamakan teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatisme dan lain2, tetapi bukan teori2 itu yang akan kita bahas di sini, tetapi menolong menjernihkan pemikiran anda tatkala mendengar ceramah2 agama. Itu saja tujuan saya. Sebab dalam hidup beragama kita wajib yakin dan sangat meyakini Kebenaran ajaran agama yang kita anut. Tetapi Kebenaran agama dalam diri kita itu nampaknya ‘bercampur aduk’ antara kebenaran transcendental seperti ‘aqidah dan kebenaran empiric (pengalaman rational) seperti panasnya api. Kebenaran agama mungkin lebih tepat dinamakan ‘al-haqqu’, bukan as-shahih sesuai dengan ayat ‘al-haqqu mir rabbika fala tukunanna minal mumtarin’ (Kebenaran itu datang dari Tuhanmu dan janganlah kamu ragu2) Q.S. al-Baqarah 147. Mungkin sebagian kita membayangkan bahwa kebenaran itu mirip bola, bundar, sesuatu yang terpisah dari diri kita, utuh, ..terletak jauh di sana, padahal bukan begitu. Sekarang marilah kita bedakan antara al-haqqu (kebenaran dari wahyu) dengan as-Sahih (kebenaran menurut akal dan pengalaman). Yang lebih rumit lagi tatkala ‘al-haqqu’ kadang2 dijelaskan manusia sesuai dengan ‘as-Sahih’, padahal ia harus dibedakan. Lalu bagaimana cara membedakannya?
Begini cara membedakannya. Bila anda melihat tugu Monas di Jakarta, ia terlihat dengan mata anda sendiri dan mata orang lain, non-Muslim juga melihat adanya tugu Monas: itu contoh kebenaran as-sahih yang empiric. Jadi kebenaran empiric adalah kebenaran yang sesuai dengan pengalaman inderawi kita dan sesuai pula dengan pengalaman inderawi orang2 lain (walaupun kita tidak se iman/ tidak se ‘aqidah). Bila tak mau percaya dengan pengalaman tersebut ya tak apa2. Tetapi bila anda meyakini adanya Hari Akhirat, Yaumul Hisab, Azab Kubur, Kebenaran ajaran Muhammad saw itu contoh Kebenaran Transendental. Ia adalah kebenaran yang ‘diberitahu’ oleh Rasul kepada seluruh manusia atas dasar perintah Allah yang sekarang ayat2nya tertulis dalam Kitab Suci al-Qur’an, Kebenaran transendental tidak bisa seluruhnya dipahami/dialami dengan Panca Indera kita, tetapi kita wajib yakin, bila tidak mau yakin ya tunggu saja azab nanti. ‘Kebenaran ‘aqidah yang transcendental tak boleh goyah, tetapi kebenaran empiric boleh diragukan. Begitu saja kok repot.
Kedua, yang menjadi persoalan dalam ceramah2 agama Islam oleh para da’i kita ialah kadangkala kebenaran Transendental dijelaskan sekuat tenaganya dengan kebenaran empiric, dengan hati yang tulus, dengan iman yang kuat di dadanya, dan kita sebagai jama’ah tinggal meng angguk2kan kepala saja. Boleh jadi kebenaran imannya yang dikatakan di dada, sekaligus juga mencakup kebenaran empiric di kepalanya. Ini mirip buah mangga yang terdiri dari daging buah dan bijinya: isi daging buah mangga memang manis, tetapi biji mangga siapa bilang manis? Ini persoalan dalam dakwah2 kita. Dengan dakwah2 seperti itu boleh jadi akan berakibat kebenaran transcendental ter’kungkung’: menjadi kerdil, menjadi ‘terbatas’. Kebenaran transcendental yang maha luas di luar empiric kita, lalu kita ‘perpendek’ sebatas pengalaman empiric kita, dan ujung2nya para da’i ada yang menutup kalimatnya ‘Inilah hakikat Islam yang sebenarnya’. Bahkan bila ada jama’ah yang meragukan isi ceramahnya, maka jamaah tersebut dikatakan meragukan kebenaran dari Tuhan. Misalnya, tatkala menjelaskan ayat ‘Wa ma adraka maa hiyah?’ Naarun hamiyah’ (Apa itu neraka?, Ia adalah api yang membakar). Oleh ustaz kadang2 dijelaskan kepada jama’ah bahwa neraka itu adalah api yang membakar karena ada kata ‘Naar’ (api), seperti api kompor, api unggun, dan kita tahu bahwa panas api memang sudah empiric, dapat dirasakan oleh banyak orang, terukur. Namun sebenarnya ada lagi jenis zat yang luar biasa panasnya melebihi api, yaitu panas bom nuklir di Hiroshima yang mencapai jutaan derjat celcius yang berlangsung dalam waktu singkat. Bahkan mungkin ada lagi yang jauh lebih panas dari itu…saya tak tahu, sebab ia di luar batas empiric saya. Saya yakin (walaupun tidak empiric) panas Neraka jauh lebih dahsyat dari pada panasnya api kompor, melebihi api unggun dan bahkan melebihi panasnya bom nuklir Hiroshima, bila kita pakai ukuran Neraka dalam konsep ‘panas’. Konsep ‘panas’ (calor) itu sendiri dalam fisika dijelaskan bahwa ia merupakan energi yang berpindah dari daerah yang bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu rendah. Terjadinya panas adalah karena adanya gerak particels (atom2 dan molekul2) dalam benda tersebut. Itulah panas empiric, apakah panas Neraka dapat dijelaskan dengan cara demikian? Menurut anda bagaimana? Argument saya ini boleh dibantah karena saya tidak sedang berdakwah. Namun bila saya sedang berkhotbah Jum’at jangan dibantah, padahal waktu berkhotbah, kebenaran empiric kadangkala digunakan untuk menjelaskan kebenaran transcendental.
Ketiga, diskusi kita berlanjut lebih dalam lagi. Apa yang nampak dari uraian di atas? Yang nampak ialah kebenaran Islami boleh jadi sudah terkecilkan dan ada orang yang mengatakan ‘Inilah Hakikat Islam’ yang sebenarnya. Ini berarti telah ‘mempersempit’ kebenaran transcendental. Ibarat seorang ibu mengajak anaknya wisata ke Jakarta, mana mungkin bila si ibu adalah seseorang yang datang dari daerah ingin berwisata di Jakarta dan mengatakan pada anak2nya ‘Inilah Jakarta yang sebenarnya’, padahal itu baru Jakarta seluas lingkaran Monas. Ini sekedar kiasan. Jakarta itu sebenarnya luas sekali: ada Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Timur, Barat, bahkan adalagi Kawasan Jakarta Pusat, dan melebar lagi hingga Depok dan Bekasi hingga Tanggerang, dan bahkan lebih lagi. Artinya, saya akan lebih cenderung untuk mengatakan bahwa akan lebih tepat judul buku Prof. Quraysh Shihab :’Islam yang Saya Pahami’ dari pada buku penulis Arab ‘Inilah Hakikat Islam’. Buku Quraysh Shihab menandakan bahwa beliau sadar diri bahwa pengalaman empiricnya terbatas untuk menjelaskan luasnya kebenaran transcendental…dan cara2 seperti itu malah lebih bagus, lebih bijak menurut saya…dari pada mengaku telah mengetahui hakikat sesuatu..anda setuju? Saya sangat setuju dengan Quraysh Shihab karena nampak judul bukunya lebih hermeneutis, dia seakan sadar atas konsep Effective History dari pada sekedar tafsir, walaupun beliau nampaknya kurang apresiatif terhadap Gadamer.
Keempat, bila anda telah setuju dengan argument saya di atas, mari kita masuk lebih dalam lagi, lebih filosofis. Kebenaran dalam al-Qur’an dan Hadis mengandung kebenaran Transendental tetapi kebenaran tersebut harus dijelaskan oleh manusia, sementara manusia punya pengetahuan terbatas. Tugas kita tatkala mendengar seorang da’i ialah memilih dan memilah batas2 antara kedua kebenaran tersebut. Bila kita mendengar ceramah agama, kita seyogyanya memilih dan memilah mana kebenaran yang tak boleh dipikirkan lagi, tak boleh dipertanyakan lagi karena ia tergolong ‘aqidah, dan mana kebenaran yang boleh dipikir ulang, boleh diragukan… bila ia dipikir ulang, maka akan lebih tepat digunakan bukan ilmu tafsir al-Qur’an tetapi namanya hermeneutic.
Bidang hermeneutic itu sebenarnya menolong para ustaz/buya/da’i untuk menjelaskan kebenaran keagamaan Islam agar jangan sampai mengatakan bahwa Jakarta hanya seluas lapangan Monas saja. Jangan sampai mengatakan Islam hanya seluas penafsirannya. Jangan sampai mengatakan ‘Inilah Hakikat Islam’! Ceramah2 agama oleh Zainuddin MZ atau oleh ustaz Abdus Somad telah bercampur baur antara kebenaran transcendental dan kebenaran empiric. Bilamana mereka menjelaskan kebenaran transcendental, kita biasanya diam. Tetapi bilamana mereka menjelaskan kebenaran empiric, kita biasanya pada tertawa. Kenapa kita tertawa? Sebab pada saat itu sang ustaz berhasil ‘membenturkan’ antara Islam yang dijelaskannya dengan ajaran Islam yang mungkin salah kita praktekkan dalam kehidupan se hari2, maka kita geli mendengarnya. Suara riuh tertawa terdengar keras. Kita yakin bahwa ustaz sudah berhasil melihat kebenaran dua sisi koin, sekaligus dalam waktu yang sama. Ini pandangan yang perlu dikoreksi.
Kesimpulan, mungkin ke depannya, sikap kita ialah bila dibacakan ayat oleh orang maka kita 100% meyakini ayatnya, tetapi tentang uraian dan penjelasannya sebaiknya kita memikir ulang. Apa yang kita yakini adalah ad-Din (agama itu sendiri), tetapi apa yang kita pahami adalah ad-Diniyah (bersifat keagamaan). Problem itulah yang telah lama digeluti oleh Prof. Amin Abdullah yang membedakan secara konsepsional antara Religiositas/al-Diniyah dan Religion/al-Din. Sudah bertahun2 dijelaskannya dalam buku2nya, di kampus2, tetapi susah disosialisasikan, susah diterima oleh orang banyak, mungkin karena dia Profesor bukan da’i. Ternyata memang tidak semua professor bisa ceramah. Alm. Prof. Minhaji katanya pernah diminta ceramah agama oleh jama’ah Mesjid dekat rumahnya, setelah usai ceramah panjang, Minhaji bertanya pada ibuk2 :”Apakah Ibuk2 mengerti isi ceramah saya?’ Ibuk2 malah geleng2 kepala….Minhaji ketawa menceritakannya pada saya. Kenapa ceramah professor susah dipahami oleh orang awam? Mungkin karena ‘dosis’nya terlampau tinggi.
Significance of Issue (Hikmah): Saya sering melirik kepada Prof. Taufik Abdullah (sejarawan terkenal) ketika dia sedang duduk mendengar khotbah Jum’at berbahasa Inggeris oleh seorang Khatib berkulit hitam di masjid campus di Canada, dia tenang, kedua lutut kakinya tegak setinggi dadanya, matanya menatap ke podium mendengar khutbah tetapi mungkin pikirannya sedang ‘memilih dan memilah’ isi Kebenaran khotbah. Dia ahli sejarah, maka kebenaran transcendental diyakininya tetapi kebenaran empiric yang keluar dari mulut khatib boleh jadi dipikirnya ulang, tidak semua di ‘iyakannya’, tidak semua di telan mentah2 tetapi tidak dibantah. Itu baru sikap sarjana. Itu cara bersikap kritis atas isi khotbah, isi dakwah, isi pengajian agama. Kita semua seyogyanya demikian pula: Kebenaran dari Tuhan tidak 100 % terpahami oleh akal manusia, sebab para da’i kita punya latar pendidikan ber-beda2. Ada da’i yang mempunyai charisma kuat di tengah umat, dalam ilmunya, kuat imannya, tetapi ada pula da’i kita (terutama di bulan Ramadhan) yang baru saja tamat pesantren tetapi dia pandai dan berani berceramah, boleh jadi isi dakwahnya sebatas hafalan, belum menjadi ‘jati diri’nya.
Kita juga semua tahu bahwa banyak da’i2 dan ustaz kita punya ‘bendera’. Yang punya ‘bendera’ partai politik, misalnya, Zainuddin MZ. Yang punya ‘bendera’ organisasi demikian pula. Ulama2 Muhammadiyah membela ‘bendera’ Muhammadiyahnya, dan ulama2 NU membela ‘bendera’ NUnya. Kalau begitu kita boleh bertanya: dalam kebenaran apa mereka bersepakat dan dalam kebenaran apa mereka tidak bersepakat? Mereka jelas bersepakat dalam hal ‘aqidah Islamiyah, tetapi dalam cara ‘menghidupkan’ ‘aqidah tersebut mereka berbeda. Istimewa bagi NU, kebenaran empiric dari ulama2 klasik juga diwarisi sebagai kebenaran empiric untuk diaplikasikan di zaman modern dan anda generasi muda NU banyak yang tak mempersoalkannya. Maka ibarat dua kapal laut yang sedang berlayar di perairan NKRI, dua buah kapal laut sengaja dibuat untuk menyelamatkan jutaan rakyat Muslim Indonesia, tetapi ‘menu’ di atas kapal NU dan kapal Muhammadiyah disajikan dengan berbeda. Yang berbeda itu sebenarnya pada lahan kebenaran empiric. Harus diingat bahwa di dalam ‘menu’ kapal NU dan Muhammdiyah ada terselip kepentingan organisatoris, sementara masih banyak mungkin warganya yang awam meyakini bahwa ‘menu’ itulah jalan ‘lurus’ ke sorga. Ini yang saya maksud dengan persoalan hermeneutis. Maka kita yang bukan awam ini dituntut untuk melihat dengan ‘jernih’ batas2 antara kebenaran transendental dan kebenaran empiric dalam semua Kebenaran yang diutarakan oleh tokoh2 agama.
Di sini saya maaf berbeda dengan ulama Muhammadiyah yang mengobjektivasi kebenaran dari dalam teks suci, mereka memahami kebenaran transcendental yang maha luas, dan bahkan saya berbeda pula dengan pengarang buku yang mengatakan ‘Inilah Hakikat Islam’…tetapi saya lebih cenderung setuju dengan Prof. Quraysh Shihab yang memberi judul bukunya dengan “Islam yang Saya Pahami’, sebab saya sadar diri, saya ini manusia, pengetahuan saya terbatas, sementara kebenaran transendental itu maha luas. Anda yang membaca tulisan saya ini juga dituntut untuk menentukan sikap. Itulah salah satu cara kita untuk memajukan kehidupan beragama. Sekian!
Demikianlah pembaca yang budiman di mana saja berada. Terimakasih telah membaca, perluaslah wawasan keagamaan, perluaslah cara berpikir keagamaan terutama bagi generasi muda dan marilah kita saling bertoleransi dalam kehidupan beragama. Nampaknya kita tidak/jarang berkonflik dalam menjelaskan kebenaran transcendental, tetapi sering berkonflik ketika menjelaskan kebenaran empiric. Mohon maaf bila ada kata2 yang salah, Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.