Diam-Diam Mendidik Negeri: Jejak Sunyi Prof. Abdul Mu’ti

Oleh: Agus setiyono*)

Dalam hingar-bingar demokrasi yang sering hanya riuh oleh selebrasi selebritas politik, ada satu nama yang melangkah pelan namun pasti. Ia bukan penggenggam mikrofon sensasi, bukan pula penyulut gaduh debat kusir yang berputar di antara gedung dan layar kaca. Namanya Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Bagi yang benar-benar memperhatikan denyut intelektual dan pendidikan bangsa, nama ini bukan hanya dikenal, tapi diteladani.

Muhammadiyah, atau lebih tepatnya para kadernya, memang sering berjalan di jalur sepi. Tidak selalu menjadi buah bibir media, tapi konsisten menjadi buah amal dalam kerja nyata. Maka ketika Forum Fakultas Ilmu Pendidikan (FFIP) Universitas Negeri Makassar menganugerahkan gelar Tokoh Pendidikan Nasional kepada Prof. Abdul Mu’ti, itu bukan sekadar seremoni biasa. Itu adalah pengakuan akademik atas suara yang jarang meninggi, namun menancap kuat dalam dasar-dasar perubahan pendidikan kita.

Siapa Abdul Mu’ti?

Ia bukan hasil pabrik popularitas, melainkan buah dari perjuangan akar rumput yang sabar menumbuhkan pohon pendidikan. Lahir dari salah satu sudut kampung di Kudus, Jawa Tengah, Mu’ti tumbuh dalam budaya santri dan semangat Persyarikatan. Sejak muda ia sudah akrab dengan sidang, diskusi, dan musyawarah; bukan untuk mengalahkan lawan, tapi untuk mendewasakan gagasan.

Ia pernah mencicip ilmu di negeri kangguru, Australia, namun kembali tanpa menjadi asing di tanah air. Sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, ia menjelma menjadi wajah intelektual Islam yang ramah, sejuk, dan jenaka. Jika para orator lain sibuk mengumbar retorika, Prof. Mu’ti justru dikenal dengan joke-joke kekiniannya, yang bukan hanya mengundang tawa, tapi memancing tafsir dan makna.

Di podium, ia bukan sekadar berbicara, ia merawat nalar publik. Dengan ketenangan yang tak meledak-ledak, ia menyuntikkan semangat berpikir di tengah zaman yang makin gemar berteriak. Dalam ruang kelas, seminar, bahkan forum-forum global, Mu’ti hadir seperti guru tua yang tak pernah lelah mengingatkan bahwa “pendidikan adalah napas bangsa, bukan kosmetik negara.”

Lucunya, banyak orang baru tahu beliau tokoh besar setelah melihatnya bersanding dengan para menteri atau diplomat. Padahal, sejak lama ia telah menjadi “Menteri Pendidikan yang tak dilantik”, bukan karena kursinya direbut, tapi karena karyanya sudah lebih dulu mendidik negeri.

Di Antara Yang Riuh, Ia Tetap Jernih

Bagi Muhammadiyah, penghargaan ini bukan sekadar medali. Ini adalah pengingat bahwa kerja sunyi, meskipun jauh dari kamera, tak akan luput dari cahaya sejarah. Persyarikatan yang berdiri sejak 1912 ini memang tak selalu viral, tapi hampir selalu vital. Dan Mu’ti adalah salah satu bukti bahwa kader Muhammadiyah bukan hanya aktivis, tapi juga arsitek masa depan.

Selamat Prof. Abdul Mu’ti. Di tengah zaman yang sering lebih menghargai yang bersuara keras ketimbang yang berpikir jernih, kehadiranmu adalah anomali yang menyegarkan. Semoga tetap sehat, tetap jenaka, dan terus menjadi “guru bangsa yang tak haus panggung, tapi haus makna.”

Dan untuk bangsa ini, semoga lebih banyak mendengar mereka yang diam-diam mendidik, bukan hanya mereka yang ramai-ramai merusak logika.
Wallahu a’lam bish shawab

*) Pegiat dakwah Online Jambi

*Silakan Share