PASCA UJIAN TERBUKA S3

Tiada kata seindah DOA, maka sekarang saya doakan dari Jambi agar semua anda yang membaca tulisan ini sehat2 selalu, panjang umur, murah rejeki, dan cepat selesai S3 serta meraih gelar professor bagi yang sedang berusaha. Amiin.

Hari ini kita membicarakan kembali Pasca (Usai) Ujian Terbuka S3 yang saya alami hari Selasa kemaren tgl 22 Juli 2025 di UIN Sunankalijaga Yogyakarta. Pasca Ujian Terbuka S3 itu Menyenangkan, Mencerdaskan, dan Membebani. Sekian puluh tahun kita bergelut dengan ilmu pengetahuan, rasanya pengetahuan dalam kepala itu hanya sedikit, tetapi bila menghadapi persoalan hidup kadang2 ilmu itu merobah cara berpikir, Gadamer mengatakan bahwa faedah kegunaan proses hermeneutika itu adalah Bildung (penggemblengan jati diri). Maka pertanyaannya ialah: Apa sebetulnya yang terjadi dengan Ujian Terbuka tersebut? Hikmah apa yang bisa diambil dari Ujian Terbuka dan bagaimana sikap kita seharusnya ke depan? Mari kita diskusikan satu persatu!

Pertama, sejauhmana pasca Ujian Terbuka S3 itu MENYENANGKAN? Kita umumnya punya anak yang disekolahkan, dikuliahkan, dibiayai, dijual harta benda, dengan harapan kelak anak bisa hidup bahagia. Manusia itu memiliki sifat cemas (Angst) kata Heidegger, maka anak keturunan dipersiapkan menghadapi masa depan. Jenjang S3 memang sulit, berliku2, penuh duri dan onak dalam penyelesaiannya, dan setelah Ujian Terbuka S3 ..dunia terasa cerah, lupa segala peras keringat, lupa keluh kesah selama ini, para ibu bapa senang melihat anaknya, para isteri senang melihat suaminya selesai doctor, teman2 senang melihat kita selesai jenjang S3, para guru besar mengucapkan selamat, senyum bertebaran di mana2, ini dunia indah yang dirindukan oleh mahasiswa2 dan oleh para orang tua mahasiswa. Anak anda sekarang kuliah dimana? Mudah2an mereka juga sukses S3.

Kedua, Ujian Terbuka S3 itu juga MENCERDASKAN. Di hadapan para guru besar kita beradu argumentasi, ada yang dipertahankan, ada kebenaran dari hasil disertasi yang kita yakini, tak terbantahkan. Dan kita diberi kesempatan untuk berpendapat ‘merdeka’, tak terikat oleh budaya, oleh ideologi negara, oleh aturan2 yang menghambat kebebasan berpikir dan berpendapat. Utarakan sejujurnya. Utarakan sejelas2nya. Katakan apa yang benar bila ia benar selama ‘aqidah jangan lepas. Di situlah nilai kesarjanaan kita. Itulah tesis kita. Tesis itu baru akan ‘roboh’ bila telah ada tesis baru yang membantahnya, tetapi membantah dalam arti lebih melengkapi. Teori Falsifikasi Karl Popper memang tidak sepenuhnya berlaku di sana. Maka Ujian Terbuka S3 itu mirip dengan ‘berpetualang sendirian ke dalam hutan’. Promotor menyuruh promovendus berangkat untuk menyelidiki hutan, mencari sesuatu, menemukan barang yang akan sangat berguna bagi umat manusia, dan pada waktu Ujian Terbuka kita buka, kita tujukkan dan kita ‘jelaskan’ barang temuan tersebut di hadapan para guru besar. Itulah kiasannya. Seberapa tinggi nilai dan bobot kualitas barang temuan anda…ditentukan oleh ‘pasar’ yang akan ‘membeli’ ide2 anda nanti. Bila ia laku di pasar, artinya ‘barang temuan anda’ istimewa, tetapi bila ia tak laku di pasar, artinya temuan disertasi anda hanya menjadi pajangan di perpustakaan. Disertasi di bidang ilmu2 sosial tentu tak persis seperti disertasi di bidang ilmu alam. Pandangan ilmiah yang kurang tepat khususnya tentang manusia, kata orang, bukan karena ia keliru, tetapi karena ia belum sempurna.
Maka Ujian Terbuka S3 yang mencerdaskan ialah yang membuka kesadaran baru bagi sang Doktor untuk menguji ilmunya di lapangan. Ingat, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menulis disertasi tentang Ibnu Taymiyah, sementara namanya ‘meroket’ setelah statement politiknya ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Artinya, kiprah anda di tengah masyarakatlah yang akan lebih menentukan kelak dari pada temuan disertasi anda. Let history tells you then.

Sejalan dengan itu, bila Jean Jacques Rousseau (1772-1778) berpendapat bahwa fungsi negara adalah memungkinkan rakyat mendapatkan kembali sifat kebaikannya yang asli yang pernah dimiliki sebelum terbentuknya negara, maka Ujian Terbuka S3 mirip dengan Contract Social semacam itu. Pra TK, kita bebas tanpa diikat oleh tradisi, namanya juga masih Balita. Setelah masuk TK, SD, SLP, SLA, S1, S2 dan bahkan hingga S3 kita diikat dalam Tradisi, diasah dalam Tradisi, dibelenggu dalam Tradisi (cara berpikir, cara bertindak). Maka usai Ujian S3 rasanya kita dilepaskan kembali ke alam ‘bebas’ agar kita mampu berpikir ‘out of the boxxxx’. Kita harus memeriksa kembali tradisi-tradisi yang mengunci cara berpikir kita. Ini yang saya maksud dengan ‘mencerdaskan’ yang mirip dengan spiritnya Le Contrat Sociale Rousseau.

Terakhir, Pasca Ujian Terbuka S3 itu juga MEMBEBANI. Setelah Baju Toga dipasangkan ke badan dan Topi Wisuda dikenakan ke kepala oleh Team Penguji disertasi, itu artinya ‘symbol abadi’ bahwa predikat Doktor tetap melekat kemanapun kita pergi (walaupun kini baju toga sudah dilepaskan). Maka harus dijaga budi pekerti, cara bicara, cara berpikir, cara bertindak di tengah masyarakat. Almamater telah mendidik dan mensarjanakan kita, namun tugas berat setelah Ujian Terbuka S3 terletak di pundak si Doktor. Usai Ujian S3 mirip dengan ‘Haji yang Mabrur’. Kriteria mabrurnya dilihat di tengah masyarakat Usai S3. Haji yang mabrur itu merobah prilaku2 buruk sebelum naik haji. S3 yang ‘mabrur’ itu yang mana ide dan pikiran ilmiahnya ‘semakin hidup dan berkembang’ bukan semakin loyo. Ini memang berat. Bagi saya pribadi, ilmu saya memang tidak ditujukan untuk memperkaya diri sendiri, tidak untuk memperkuat partai politik tertentu, bahkan tidak juga untuk mencari jabatan structural dengan cara2 yang merendahkan nilai2 kesarjanaan doctoral saya. Ini memang sungguh berat….sungguh berat teman! ‘Saestu’ bahasa Jawanya.

Kesimpulan, Pasca Ujian S3 itu memang menyenangkan, mencerdaskan dan lagi pula membebani. Ketiganya tak terpisahkan, ibarat ‘tali berpilin tiga’. Tetapi bukankah itu konsekwensi dari hasil perjuangan hidup? Kita juga punya anak2 yang masih kuliah, punya adik2 yang masih kuliah, dan kita memang wajar mengharapkan imbalan materi, disenangkan oleh anak setelah kita berusia tua, bila mungkin diongkosi naik haji ke Mekah setelah anak punya gaji karena mereka bersekolah tinggi, punya pekerjaan tetap dan gaji yang menggiurkan, tetapi alangkah bijaksananya KH Ahmad Dahlan pernah berwasiat kepada warga Muhammadiyah yang mengurusi organisasi tersebut: ‘Hidup2lah dengan Muhammadiyah, tetapi jangan mencari hidup di dalam Muhammadiyah’. Artinya bagi S3, carilah nafkah yang halal dengan title Doktor anda, tetapi jangan ‘diperkosa’ gelar kehormatan Doktor anda demi mencari harta, perkuat iman, rutinlah solat ke langgar, jangan cemari nama almamater, apalagi jangan sampai mencontoh orang yang menyatakan dokumen yang palsu sebagai asli!

Significance of Issue (Hikmah): Pasca Ujian Terbuka S3 mengimplikasikan ‘tegangan’. Di satu sisi almamater UIN mengidolakan lahirnya sarjana Muslim yang menyelami Tradisi keilmuan Muslim klasik, tetapi di sisi lain, calon2 sarjana UIN selalu diberi ‘konsumsi’ ilmu2 dan metode2 Barat. Penulisan tesis dan disertasi umumnya masih meniru Cartesianisme yang membuat jarak Subjek-Objek. Nah sekarang Cartesianisme semacam itu diterapkan pula untuk mendamaikan antara empiric-positivistic dengan normative-transcendental. Sementaea studi keislaman di seluruh UIN dalam batas2 tertentu masih mencontoh tradisi studi keislaman ala McGill menurut konsep Wilfred Cantwell Smith, apakah akan selalu begitu? Maka ke depan perlu dipikirkan model studi keislaman yang lebih kondusif bagi tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Memang senantiasa mencari pola2 baru itu adalah hal yang wajar, kendatipun belum sempurna.

Sekianlah dulu Bapak2/Ibuk2/Adik2 dan para mahasiswaku di seluruh tanah air dan di luar negeri. Terimakasih telah membaca, maaf bila ada kata2 yang salah, Wassalam, pamit, Amhar Rasyid, Jambi.

*Silakan Share