Oleh; Amhar Rasyid
Yogyakarta, 15 November 2024
Assalamu’alaikum wr,wb. Salam dari Yogya.
Tertarik dengan 3? Ada apa dengan angka 3? Apa kaitannya dengan filsafat? Apa pula kaitannya dengan fikih Islam, dengan dunia akademik dan budaya sehari-hari?
Kali ini saya tidak bicara tentang rahasia angka 3 terkait mistik, mitologi, kepercayaan gaib, tetapi tergugah oleh penjelasan Prof. Munir Mulkhan, seorang tokoh intelektual Muhammadiyah, lulusan S2 dan S3 cum laude dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, meskipun buah pikirannya sebagian masih kontroversial di mata sesama Mukmin termasuk bagi sebagian warga Muhammadiyah. Apa kata Mulkhan? Dalam kehidupan sehari-hari, kita nampak telah terbiasa dengan ‘pemikiran meniga’, semacam doktrin tanpa kita sadari. Kita berputar-putar dalam ‘meniga’, entah karena memang begitulah kadar intelektual kita atau ia sebagai keistimewaan. Kata Mulkhan, Hegel juga membagi 3 proses dialektikanya: tesis, anti tesis, sintesis. Ini kecenderungan umum pemikiran manusia (Muslim dan non-Muslim) katanya. Islam ingin menghilangkan dimensi kontradiktif di dalam hitungan 3 tersebut lanjutnya. Ibnu Taymiyah mengurangi dimensi 3 dengan penolakan atas metode burhani. Ibnu Taymiyah juga menolak 3 dalam rangka mengeritik Aristoteles: pada ketiadaan dimensi moral dalam logika, demikian pula ia mengeritik Imam al-Ghazali: juga karena ketiadaan deminesi moral pada logikanya. Tujuan Mulkhan dalam mempersoalkan ‘meniga’ lebih pada usaha untuk menunjukkan bahwa persoalan mendasar dalam Muhammadiyah ialah hubungan antara akal (budaya)-dan agama dimana pemikiran keagamaan selalu berputar-putar pada ‘meniga’. (Baca, Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Telogi dan Fiqih dalam Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Sipress, 1994, hlm 2-3).
Memang pemikiran ‘meniga’ ditemui pula dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Misalnya, dalam filsafat Yunani kuno dikatakan bahwa asal segala sesuatu bermula dari tanah, air, dan api. Dalam dunia fisika dikenal pengelompokan 3 unsur: logam, seni logam/metaloid, dan non logam. Dalam dunia kepolisian dikenal Tri Bhrata, (Tri=3), dalam dunia akademik Tri Dharma Perguruan Tinggi, Universitas ada yang bernama Tri Sakti, dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah dikenal 3 metode bayani, burhani, dan ‘irfani, jumrah di Mina juga ada 3, hitungan talak juga 3 (final), dalam agama Kristen dikenal Tri Nitas, dalam dunia persenjataan kuno ditemui Tri Sula yang digunakan oleh Sriwijaya, Korea kuno, bahkan dalam agama Hindu, perlombaan olah raga juga final dalam hitungan ke tiga, kalau tidak hitungan maju1,2,3 atau hitungan mundur 3,2,1.…kenapa semua banyak MENIGA?
Dalam beibadah nampaknya pemikiran ‘meniga’ juga banyak dijumpai. Coba lihat khusunya ajaran fikih Syafi’iyah dalam berwudhu’ disunatkan 3x mencuci tangan, 3x kaki dsb. Padahal al-Qur’an tidak menyuruh 3x. Buktinya al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 6: Yaa ayyuhalladzina amanu idza qumtum ilas sholati faghsilu wujuhakum wa aydiyakum ilal marofiqi wa msahu biru-usikum wa arjulakum ilal ka’bain. (Hai orang2 yang beriman bila kamu hendak mengerjakan solat , maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu hingga siku, dan sapulah kepalamu, kemudian basuhlah kedua kakimu hingga mata kaki….) tidak disuruh 3x, kenapa dalam prakteknya menjadi 3 x mencuci tangan dan lainnya? Ini pikiran ‘meniga’.
Apa sebetulnya di balik pemikiran ‘meniga’? Ibnu Sina, filosuf Muslim ternama, kata Mulkhan, mengatakan bahwa kesadaran hukum harus di’bumi’kan pada orang awam, sementara kesadaran filosofis untuk orang yang termasuk golongan berpikir jauh. Artinya, orang awam harus dibudayakan dengan aturan 3x, 3x sebagaimana dipraktekkan dalam hukum fikih berwudhu’, dan bacaan2 dalam solat. Memang Rasul saw pernah melakukannya tetapi pemikiran ‘meniga’ semacam itulah yang kekal di kalangan mayoritas Muslim se dunia hingga kini, apalagi di Indonesia yang mayoritas pengikut mazhab Imam al-Syafi’i. Alasan dogmatis yang dikatakan pada orang awam dilakukan 3x, 3x, ialah agar pahalanya semakin banyak. Semuanya diiming-imingi dengan pahala. Rewardnya lebih dijelaskan pada quantitas bukan pada kualitas.
Apakah ada alasan lain untuk menjelaskan budaya ‘meniga’ dalam beribadah? Nurcholish Majid (Cak Nur) saya dengar langsung mengatakan dalam suatu kunjungannya ke Jambi di Hotel Abadi sekitar tahun 1990an bahwa al-Qur’an diturunkan pada masyarakat Arab yang terlalu tinggi kandungan ajarannya untuk ukuran di masa itu (abad ke 7 H). Artinya, sebagai mafhum muwafaqahnya, masyarakat Arab Mekah-Medinah di kala itu di mana wahyu Allah diturunkan masih ‘jahil’ (bodoh), tetapi diutarakan Cak Nur dengan gaya bahasa yang lebih bijak. Karena tingkat intelektualitas masyarakat Arab sedemikian, maka banyak hukum-hukum dalam al-Qur’an yang sesuai dengan daya nalar masyarakatnya. Masalahnya kemudian, wahyu yang semula belum berbentuk teks (mencair), kemudian ia ‘membeku’ bagaikan es, berbentuk teks/tulisan, tercetak, baku, padat, tidak berobah lagi hingga kini selama lebih kurang 1400 tahun.
Teks yang baku inilah yang sekarang dirangkum menjadi 30 juzz dalam kitab al-Qur’an atas jasa pemerintahan Khalifah Utsman ibn ‘Affan. Perintah yang tidak berobah itu, yang sudah fixed/baku, kemudian diyakini oleh banyak kaum Muslimin sebagai final (akhir dari akhir semua pesan Allah), misalnya ayat: liz dzakari mistlu hazzil unstayain (bagian (warisan) laki2 2 x bagian perempuan). Pembagian warisan ini masih diyakini sebagai final, dengan alasan Allah lebih mengetahui rahasia hukumnya dari pada manusia, maka ikuti sajalah yang tertulis tersebut. Tetapi kita harus ingat kata2 Ibnu Sina di atas: hukum itu utamanya untuk orang awam. Kalau begitu, fakultas hukum, fakultas syari’ah lebih banyak bergulat dengan pemikiran kewajiban orang awam. Pelajaran fikih adalah pelajaran ‘kulit luar’, pelajaran untuk eksternal/jasmani, bukan untuk internal/rohani (psychologi, ushuluddin, filsafat, seni, dan sebagainya).
Munawir Syadzali (mantan Menteri Agama) mengeritik cara pembagian hukum waris semacam interpretasi di atas. Katanya, setiap keluarga tentu berbeda jumlah anak2nya, ada yang punya anak 1, 2, 3 atau lebih. Bila hanya punya anak 2 orang, si abang kandung boleh jadi sudah kaya raya, bergelimang harta, sementara si adik kandung (perempuan) hidup pas2an, apakah dalam pembagian harta warisan anak laki2 akan tetap juga mendapat 2x bagian perempuan, apakah ini bisa adil? Apakah tidak akan mirip ‘membuang air ke laut’? tanya mantan Menteri Agama tersebut dalam versi saya. Bukankah rasa adil itu dirasakan dalam lubuk hati, bukan di mulut atau di kepala. Lubuk hati dalam bahasa Arab disebut ‘dhomir’. Setiap manusia punya ‘dhomir’, suara bathin dari lubuk hati terdalam seseorang. Adil itu dirasakan, nampak tidak mengomel, tidak menggerutu, tidak protes, tetapi ‘an tarodhin (rela sama rela) antara pihak2 terkait. Islam itu ingin agar silaturrahmi dan ukhuwah tetap terjaga harmonis, bukankah?
Singkat kata, pikiran ‘meniga’ semula erat kaitannya dengan pemikiran orang awam, implisit di dalamnya penerapan hukum agar lebih efektif. Boleh jadi sikap ke hati2 an Imam Syafi’i yang mengajarkan agar mencuci tangan 3x, mencuci kaki 3x dalam berwudhu’, sebab bila hanya 1x mengikuti nash al-Qur’an, akan banyak ‘mbah bakul’, mamang Bakso, pembantu rumah tangga, kuli angkat di Pelabuhan, masyarakat awam umumnya, anak2 di mana saja akan lalai atas rukun2 wudhu’, akan tak terpenuhi apa yang diidolakan dalam beribadah. Akan banyak bagian tangan yang tak kena air, akan banyak bagian kaki yang tak bersih, akan terlewatkan makna Subhana rabbiyal ‘azimi (dalam rukuk) dan subhana rabbiyal a’la (waktu sujud), apalagi bila pikiran mereka masih berkelana, tidak khusyu’, maka disunatkan baca 3x. Jadi pikiran ‘meniga’ telah merasuk ke mana2, di baliknya ada antisipasi kehati-hatian.
‘Sekarang pikiran ‘meniga’ dalam budaya Muslim, di luar wahyu yang transenden, mendapat azas legalitas. Bukankah anda sekarang hidup dan beribadah dalam kebiasaan ‘meniga’ kan? Bagaimana dengan kami yang hidup disekitar sungai, berbeda dengan masyarakat padang pasir? Di Jambi dekat dengan kehidupan Sungai Batang Hari, di Palembang dekat dengan sungai Musi, di Riau dekat dengan sungai Kampar, apakah belum cukup 1 x celup ke dalam air sungai ketika berwudhu’ akan terpenuhi perintah ayat di atas? Ya kita sudah nyaman hidup dalam budaya ‘meniga’. Anda juga kan?
Kalau begitu pak Amhar mau ‘mengelak’ dari tradisi ‘meniga’? Tidak juga. Saya cuma tergelitik oleh penjelasan guru besar lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut. Setelah dipikir-pikir…ooo memang benar juga ya. Kalau begitu saya mulai bertanya dalam hati: lantas bagaimana cara menghindarinya? How to escape it? Kayfa nabta’id ‘anha? Bila anak didik kita di perguruan tinggi dan pesantren-pesantren, orang awam sudah ‘dikurung’ dalam pemikiran ‘meniga’ oleh para dosen, guru, guru besar, kiyai, ustaz, da’i (lewat ceramah, fatwa, dsb), lantas bagaimana cara memperluas wawasan keagamaan generasi muda Islam yang telah terkurung semacam itu? Apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi harus selalu ‘meniga’? Tidak bolehkah 4 atau 5? Apakah dengan Tri Dharma PT yang sekarang itu memungkinkan dunia kampus kita untuk berorientasi riset pada taraf internasional? Apakah mungkin bisa anda baca 3x full/lengkap ‘subhana rabbiyal ‘azimi’ dalam rukuk solat tarawih 20 raka’at? Serba cepat, serba ekspres? Saya juga tidak tahu. Wallahu a’lam.
Demikianlah sekelumit tulisan di pagi Jum’at ini untuk menggelitik pembaca terhormat yang saya kagumi, yang mungkin selama ini terbiasa dengan budaya ‘meniga’ mulai dari TK (ketika masih dibebani hukum/aturan) hingga menjadi S1, S2, S3 dan bahkan professor (sudah semestinya berbudaya filosofis, berpikir sesuai arahan Allah: afala tatafakkarun kata al-Qur’an). Apa terjemahan bebasnya? Pikirkanlah budaya ‘meniga’ tersebut! Ia sekarang sedang melilit anda mirip Octopus (Gurita) berkaki banyak. Ya anda dan saya sedang dililitnya oleh si ‘meniga’. Kalau boleh saya berkata jujur, sebenarnya pikiran ‘meniga’ itu adalah konsekwensi kita mewarisi Verstehen ontis, kita belum berusaha mencari Being dalam bahasa Heidegger, dengan cara memikirkan untuk keluar dari ‘meniga’. Sekian dulu pembaca setia, mohon pamit, maaf bila ada kata2 yang salah, Wassalam. Amhar Rasyid.