Zaman Berubah, Presiden Berganti: Sebuah Refleksi Tentang Siklus Pemerintahan, Biaya, dan Intrik Politik


Oleh: Agus setiyono
(Sek. PW Muhammadiyah Jambi)

Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, satu hal yang pasti: perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan. Setiap periode, kita menyaksikan pergantian presiden, penyusunan ulang kabinet, dan janji-janji baru yang ditawarkan kepada masyarakat. Siklus ini terjadi secara konsisten, mencerminkan dinamika demokrasi yang hidup dan berkembang. Namun, di balik optimisme dan perubahan, ada satu kenyataan yang tak bisa diabaikan—semua ini menuntut biaya yang tidak sedikit, dan sering kali juga dibarengi dengan intrik politik yang kompleks.

Zaman Berubah, Janji Tetap Sama

Setiap pergantian presiden membawa nuansa baru dalam politik dan pemerintahan. Pemimpin yang baru selalu hadir dengan janji-janji perbaikan, mulai dari ekonomi yang lebih baik, pemerintahan yang bersih, hingga kesejahteraan yang merata. Dalam setiap kampanye, semangat optimisme dibawa dengan penuh keyakinan bahwa perubahan yang dijanjikan akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa janji-janji ini sering kali mengulangi pola yang sama. Perubahan kabinet dilakukan, wajah-wajah baru muncul, namun tantangan yang dihadapi tetap tak jauh berbeda. Masalah-masalah struktural seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan birokrasi yang lamban tetap menjadi batu sandungan bagi setiap pemerintahan. Bahkan, kasus-kasus lama, yang tak terselesaikan dari masa pemerintahan sebelumnya, kerap menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin berikutnya.

Intrik dan Biaya untuk Mencapai Kekuasaan

Meraih kekuasaan dalam sistem demokrasi sering kali bukan sekadar soal pemilihan langsung, tetapi juga melibatkan berbagai intrik politik, strategi negosiasi, dan pengorbanan besar, baik dari segi biaya maupun aspek lainnya. Setiap calon pemimpin harus menginvestasikan waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit untuk memenangkan hati rakyat. Dalam banyak kasus, biaya kampanye bisa mencapai angka yang fantastis, mulai dari pendanaan acara publik, iklan, hingga pendekatan kepada berbagai kelompok kepentingan.

Namun, selain biaya ekonomi, ada juga pengorbanan sosial dan politik yang harus dilakukan. Manuver politik, koalisi, bahkan kompromi yang sering kali mengorbankan prinsip menjadi bagian dari intrik menuju kekuasaan. Semua ini menunjukkan bahwa jalan menuju puncak kepemimpinan tidak pernah sederhana dan sering kali memerlukan strategi yang rumit dan pengorbanan besar.

Setelah Kekuasaan Diraih, Semua Berjalan Seperti Biasa

Ironisnya, setelah kekuasaan diraih, dinamika politik sering kali kembali berjalan selayaknya biasa. Program-program dijalankan, kabinet bekerja, dan janji-janji mulai dijajaki pelaksanaannya. Namun, meski pergantian kepemimpinan membawa harapan baru, realitas sering menunjukkan bahwa banyak persoalan lama tetap menggantung dan membutuhkan perhatian. Kasus-kasus yang tidak tuntas di masa lalu terus menjadi beban yang diwariskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.

Permasalahan seperti korupsi sistemik, ketidakadilan sosial, hingga penanganan bencana dan kemiskinan tetap menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. Dengan demikian, meskipun setiap pemimpin datang dengan semangat baru, warisan masalah yang belum selesai tetap menjadi tantangan berkelanjutan.

Euforia atau Perubahan Nyata?

Sudah selayaknya, pergantian presiden beserta seluruh nomenklatur yang ada tidak hanya menjadi ajang euforia politik belaka. Pergantian kepemimpinan seharusnya mencerminkan perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan dan penyelesaian masalah-masalah struktural yang telah berlangsung lama. Jika perubahan hanya sebatas seremonial, maka demokrasi kita akan terjebak dalam siklus kegembiraan sementara tanpa dampak nyata bagi masyarakat.

Setiap periode transisi kekuasaan harus dijalani dengan kesadaran bahwa janji-janji yang disampaikan bukan sekadar retorika politik, melainkan rencana nyata yang harus diwujudkan. Euforia sesaat harus diimbangi dengan aksi nyata yang membawa perubahan substantif bagi kehidupan rakyat.

Optimisme yang Tidak Boleh Pudar

Meski demikian, kita tidak bisa memungkiri pentingnya optimisme dalam setiap siklus politik. Setiap pergantian kepemimpinan membawa harapan akan perbaikan yang lebih baik. Tanpa keyakinan akan masa depan yang lebih baik, sulit bagi masyarakat untuk terus mendukung proses demokrasi yang sehat. Dalam demokrasi, siklus ini adalah bagian dari upaya terus-menerus untuk mencapai pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.

Menyadari Realitas

Pada akhirnya, penting bagi kita untuk tetap realistis dalam memandang setiap perubahan politik yang terjadi. Zaman boleh berubah, presiden dan kabinet boleh berganti, namun tantangan yang dihadapi bangsa ini sering kali lebih mendalam daripada sekadar pergantian pemimpin. Biaya yang dihabiskan bukan sekadar dalam bentuk anggaran negara, tetapi juga dalam bentuk waktu, tenaga, dan kesabaran masyarakat.

Penting untuk terus mengawal janji-janji perubahan dengan sikap kritis namun tetap optimis. Setiap pemerintahan memiliki kesempatan untuk membuat perbedaan, namun tanggung jawab untuk memastikan janji-janji tersebut terealisasi ada di tangan kita semua, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat.
Wallahu a’lam bish shawab

*Silakan Share