TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK DAN KAPAL TITANIC (VERSI II)


Oleh: Amhar Rasyid
Jambi, 24 Oktober 2024

Assalamu’alaikum wr,wb Bpk2/Ibuk2/Adik2ku/Anak2ku/Mhsw2ku dan segenap pembaca budiman baik Muslim maupun non-Muslim di mana saja berada. Hari ini di Dunia Maya banyak orang bercerita politik. Di satu segi, ada Presiden baru, menteri2 juga baru, wajah2 baru, nama2 baru. Di segi lain, ada orang yang menyesali kebijakan Jokowi di ujung masa pemerintahannya dan ada pula yang mengucapkan terimakasih. Bagi saya pribadi biarlah membicarakan seni. Seni adalah ekspressi dari perasaan terdalam manusia. Seni adalah juga teknik, kepiawaian untuk menceritakan ulang, melukiskan pengalaman batin anak manusia. Itu menurut saya yang bukan ahli seni.

Dalam tulisan Jum’at ini kita berbicara tentang film (seni yang sudah divisualisasikan) yang sangat menarik setelah saya tonton. Walaupun bercerita tentang 2 kapal, tetapi tetap saja endingnya sudut pandang akademik dan keislaman saya yang akan muncul.

Ada dua film yang nampaknya kontradiktif: Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk bertolak dari novel karangan Hamka yang kemudian diangkat ke layar lebar, disutradarai oleh Sunil Soraya, dan film Titanic (artinya:sangat besar), sebuah film Barat yang disutradarai oleh James Cameron. Kapal Van Der Wijk tenggelam, menurut sejarah pada tanggal 20 Oktober 1936 (hingga kini sudah berlalu 88 tahun) di laut utara Jawa sekitar utara Lamongan (Brondong, Jawa Timur) akibat kelebihan muatan, sementara kapal Titanic tenggelam lebih dahulu pada tahun 15 April 1912 di sekitar Samudra Atlantik Utara setelah menabrak gunung es yang merenggut nyawa manusia sekitar 1500 orang lebih. Jadi musibah tenggelamnya kedua kapal tersebut memang betul2 terjadi (factual) dalam sejarah, dan rongsokannya masih bisa ditemui kini di dasar laut. Tetapi ide isi cerita dalam kedua film tersebut telah dibumbui dengan fiksi (khyalan) kedua pengarang cerita. Apa isi cerita kedua tragedy kapal tersebut?

Kedua film tersebut sangat indah, ceritanya mempesona, tragis, dan dapat meneteskan air mata penontonnya. Apakah anda sudah menonton kedua film tersebut? Dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, tokoh Hayati diperankan oleh Pevita Pearce (cewek berdarah Minang kelahiran Jakarta), sementara cowoknya bernama Zainuddin diperankan oleh Herjunot Ali. Adapun dalam film Titanic, sosok cewek bernama Rose yang diperankan oleh Kate Winslet (cewek Inggeris) dan cowoknya (Jack Dawson) diperankan oleh Leonardo Di Caprio (cowok Amerika). Menurut urutan tragedinya, Titanic (1912) lebih dahulu tenggelam dari pada Van der Wijk (1936), maka pertanyaannya: Apakah Hamka telah terinspirasi oleh tragedy Titanic?

Menariknya film tersebut karena ceritanya sama2 mengisahkan pengalaman tragis anak manusia yang sama2 menderita akibat jatuh cinta. Tokoh Zainuddin yang semula telah jatuh cinta akhirnya kesal pada Hayati karena, semasa di kampungnya di Padang Panjang, Hayati dipaksa dinikahkan oleh pihak keluarganya dengan cowok Indo yang bergaya ke Barat2an, karena tokoh Zainuddin dalam budaya matrilineal Minangkabau dianggap sebagai putra Minang tidak bersuku, sebab Ibunya orang Sulawesi, hanya Bapaknya orang Minang. Karena Hayati sudah dinikahkan oleh pihak keluarganya, maka Zainuddin sedih, murung dan jatuh sakit, sempat meriang, demam panas beberapa hari, terbaring di rumah saudara Bapaknya di Padang Panjang, tetapi berkat dorongan sugesti temannya akhirnya Zainudddin bangkit dari keterpurukan cinta dan berangkat ke pulau Jawa untuk mengadu nasib di rantau orang dan akhirnya sukses menjadi pimpinan suatu perusahaan Surat Kabar. Semula ia berkantor di Surabaya tetapi kemudian pindah ke Batavia. Ia akhirnya menjadi pengusaha sukses dan namanya terpampang di koran utama hingga dibaca di ranah Minang dan diketahui oleh Hayati. Di sini saya melihat ada persamaan lagi: Dalam film Titanic, tokoh Jack dinampakkan sebagai pelukis berbakat, sementara dalam Van der Wijk, tokoh Zainuddin juga dilukiskan Hamka sebagai pria berbakat menulis artikel. Kok sama?

Dalam film Titanic, cinta kedua remaja tersebut bermula dari atas kapal pesiar. Kate Winslet yang sudah ditunangkan oleh ibunya dengan seorang cowok bule kaya karena himpitan ekonomi, tetapi Kate tidak mencintai tunangannya tersebut. Suatu kali, di atas kapal Titanic yang sedang berlayar, Kate tiba2 pergi sendirian berjalan2 dan berdiri ke pagar pinggir kapal, mungkin karena kesal dengan omelan ibunya, eee…tiba2 matanya tertuju pada seorang cowok bukan kelas berduit (bernama Jack) yang sedang duduk dengan teman2nya di lantai bawah deck kapal dan terlihat oleh Kate. Kedua mata anak muda tersebut saling memandang. Kate melirik dan melirik lagi dengan mata kirinya dari lantai atas di dekat pagar kapal, dan Jack terpukau melihat kecantikannya dari lantai bawah, sementara seorang teman Jack mengganggu, selalu mengayun-ayunkan tangan kanannya untuk mengganggu pandangan kedua anak muda tersebut. Temannya ini seakan berkata (ngeledek) pada Jack dalam logat Betawi: Eee kagak usah mimpi lu Jack, kagak bakal dapetin cewek gituan ( Bagai Pungguk merindukan bulan)… tetapi Jack tetap saja memandang dengan tajam pada Kate Winslet, tiba2 tunangan Kate datang menjemputnya ke pagar kapal.

Bagaimana akhir ceritanya pak Amhar? Kapal Titanic menabrak gunung es, pecah berkeping dua (ini mustahil secara teknis kata James Cameron tetapi ia tetap dibuat demi efek sinema), ribuan penumpang mati, jumlah sekoci dak cukup, dingin es di laut menambah derita, kapal akhirnya tenggelam dan kisah kasih dua anak muda berakhir di atas sebuah kepingan kayu kapal: Kate Winslet selamat hidup sementara pacarnya (Jack) mati kedinginan. Jack hanya berdoa agar Kate dikemudian hari punya banyak anak. Adapun pada kapal Van der Wijk karya Hamka, Hayati rela diusir pulang ke Padang, menangis tersedu ditinggal suaminya dan diusir pula oleh mantan pacarnya (Zainuddin) dari Betawi. Pulang kampuaaaaang denai lai. Akhirnya kapal Van der Wijk juga kena musibah berdasarkan novel Hamka, dikisahkan tenggelam di laut utara Jawa dalam pelayaran antara Tanjung Priok dan Teluk Bayur (hanya fiksi dalam kisah novel), dan Hayati akhirnya diselamatkan orang dibawa ke rumah sakit, sementara Zainuddin, yang mendengar berita kapal karam, akhirnya datang menemui dan mencari Hayati dengan terburu2 dari rumahnya di Jakarta, dia menangis, sedih hati, menyesal….itulah khayalan Hamka. Pada Titanic, si pria berdoa bagi masa depan kekasihnya, sementara pada karya Hamka, si pria menyesal.

Apa yang sama dalam kedua film? Sama2 menenggelamkan kapal. Sama2 menyelamatkan wanita, sama2 menampilkan dua pria berbakat. Apa yang berbeda? Kapal Titanic ingin mengarungi dunia, kapal Van der Wijck ingin pulang kampung ke Teluk Bayur. Dalam kapal Titanic, dua insan berpisah nyawa tetapi masih dalam ikatan jantung hati yang mesra, cinta kasih yang tulus, sementara dalam karya Hamka, dua insan berpisah karena balas dendam si pria, Zainuddin sombong sudah sukses, Hayati dimarah2i di rumahnya di Jakarta, diusir pulang kampung karena perlakuan keluarganya di masa lampau, walaupun Hayati sudah menangis minta maaf pada Zainuddin dan suaminya sudah meninggalkannya pula. Anda belum menonton kedua film bagus tersebut? Tontonlah..tapi jangan menangis nanti ya. Siapkan saja tissue!

Lantas apa pelajaran yang bisa diambil dari nonton kedua film tersebut? Ini yang penting. Nampak cara berpikir Hamka sebagai orang Timur yang eksklusif (lari ke dalam), Van der Wijck berlayar pulang kampung (Teluk Bayur) , dibandingkan cara berpikir Barat (James Cameron) yang inklusif (lari ke luar), membuka diri, petualang, Titanic berlayar ke New York.

Mungkin pola pikir Hamka di sini bisa kita lihat lebih filosofis. Hamka terasa agak mengikuti pola pikir Imam al-Ghazali, mungkin pada bukunya Tasawuf Modern, Hamka berbeda dengan Ghazali. Why? Sebagaimana diketahui, pemikiran Imam al-Ghazali lebih eksklusif, membatasi kesalehan pribadi antara hamba dengan Allah saja, pola pikirnya lebih mementingkan ke dalam dunia Islam dari pada ‘mengembangkan sayap’nya ke dunia non-Muslim. Dan hingga kini banyak doa2 di masjid dibaca usai solat yang masih mengikuti pola pikir Imam al-Ghazali. Doa sering dibaca hanya untuk kemaslahatan kaum Muslimin saja.

Coba bandingkan dengan ajaran Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroism) yang lebih dikenal dan dipelajari oleh dunia Eropa abad Pertengahan. Pola pikir filosuf2 ini lebih inklusif, lebih mendunia, ajaran2nya membekas pada sarjana2 non-Muslim terutama di Eropa, sebut saja misalnya Siger van Brabant yang dikutuk paham Averroismenya oleh Uskup di Paris tahun 1277. Belakangan, pola pikir Immanuel Kant juga nampak inklusif dibandingkan dengan pola pikir Imam al-Ghazali yang eksklusif. Kant lebih memikirkan kemaslahatan universal yang dinamainya dengan social ethics menurut temuan disertasi Prof. Amin Abdullah di Turki (1990). Bahkan ide awal HAM (Hak Azasi Manusia) yang kemudian disahkan oleh PBB, kata Franz Magnis Suseno, bisa dilacak kepada pola pikir Immmanuel Kant. Menurut anda, bagaimana posisi pola pikir Imam al-Ghazali di dunia internasional? Pola pikir orang Timur memang berbeda dengan pola pikir oirang Barat: mulai dari kisah kapal hingga filosuf yang mengkhayal.

Apa pelajaran selanjutnya yang dapat dipetik? Cara berpikir deduktif (ala Hamka dan Imam al-Ghazali) terlihat juga pada dunia akademik. Banyak pola pikir dalam karya2 ilmiah dan hasil riset yang nampaknya belum inklusif, belum mendunia, belum Go International. Contoh, seorang calon S3 di UIN Jambi tatkala saya tanyai judul disertasinya, nampaknya tidak inklusif, penelitiannya hanya berbicara dalam kawasan terbatas saja, dan judul disertasinya pun hasil saran dari seorang guru besar yang dulu pernah S3 di Malaysia. Singkat kata, pola pikir akademik sarjana kita banyak yang masih bersifat eksklusif. Mirip riset tentang sepeda dayung, yang diinginkan oleh ‘dunia akademik luar’, bukan bagaimana konstruksi sebuah sepeda dayung (ada batang sepeda, ban, stang), yang sudah lama diketahui oleh orang2 luar, tetapi bagaimana sepeda dayung itu dimodifikasi menjadi becak di Indonesia. Ini yang ingin didengar oleh peneliti2 asing, sebab mereka ingin mendengar ide2 baru, ada hasrat global unuk mengurangi polusi demi kemaslahatan hidup bersama sejagad, bukan eksklusif untuk kaum Muslimin saja. Ini sebagai contoh.

Pola pikir eksklusif semacam itu terlihat juga dalam pergaulan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Pada waktu saya kuliah di al-Azhar, Mesir, ha,mpir setiap malam kami berkumpul sesama teman asal dari Minang dalam satu kamar, demikian pula teman2 asal jawa Timur, Bugis, dan Betawi sesamanya: makan malam bersama, ngobrol bersama, pokoknya (The same birds flock together)..ada rasa eksklusif kedaerahan yang kental, padahal di kamar tetangga sebelah ada mahasiswa asal Afrika dan Russia. Demikian pula tatkala saya kuliah di McGill, Canada. Jarang sekali mahasiswa Indonesia yang mau hadir, membaur (socialize) dengan bule2 untuk diundang datang pada acara2 yang bersifat lintas budaya dan agama. Kenapa begitu?

Rasanya kita perlu lebih mendalami isi buku Edward Said yang berjudul Orientalism….apa sebab2 Timur berbeda sikap dari Barat? Walaupun Edward Said itu seorang Kristen berdarah Palestina, berkebangsaan Amerika, yang dipandang oleh para sarjana Barat sebagai positivist, tetapi dalam kritiknya atas Occidentalism, saya yakin, akan ditemui penyebab sikap dan pola pikir orang Timur yang cenderung eksklusif. Jadi cara melihatnya bukan pada kritiknya, tetapi pada implikasi kritiknya, pada mata coin yang sebelahnya.

Di dunia agama Islam, sekarang ini hanya MTQ yang sering telah Go International, tetapi bagaimana dengan isi ceramah2 agama? Ceramah2 agama para da’i memang lantang keras dari masjid2 dan langgar2, tetapi belum lantang di pentas dunia. Demikian pula para guru besar, professor, mereka masih banyak ‘berkutat’ di kampus2 sendiri, di daerah, ‘aquarium’nya terlalu kecil, belum berani ‘menjual ide2’ di pentas nasional apalagi di pentas internasional. Lha..pak Amhar sendiri? Saya dulu masih S2 (2013) sudah menjadi Visiting Fellow di Universitas Hamburg di Jerman.

Jadi, bercermin pada kisah kapal Titanic dan Van der Wijk, beda sikap/pola pikir Timur dan Barat nyata sekali. Demikian pula doa2 kita usai solat, yang banyak doa2 dibaca tentang kemaslahatan kaum Muslimin saja, padahal di berbagai KTT dan Pertemuan Pemimpin Dunia mereka sibuk membicarakan nasib Muslim dan non-Muslim juga, misalnya kasus Pemanasan Global, kasus Manusia Perahu, kasus Pelestarian Cagar Budaya dan Fauna. Mana ada doa kita untuk kasus2 tersebut? Ada apa dengan pola pikir kita? Paus Fransiskus ke Indonesia berani masuk Mesjid Istiqlal, dampaknya sangat besar di mata dunia, tetapi sedikit ulama kita yang berani masuk Vatikan, dampaknya kecil, bila perlu jangan diekspose oleh media massa. Entahlah..ada apa dengan pola pikir Timur: Umar bin Khattab dulu juga menolak ajakan tokoh Kristen untuk menumpang solat dalam gereja waktu dia melakukan penaklukan Palestina, Khalifah Umar malah lebih memilih untuk solat di luar gereja saja. Bagaimana menurut anda pola pikir orang Timur? Saya mengajak anda untuk berpikir inklusif semacam itu karena alasan: Allah itu Rabbul ‘alamin bukan Rabbul Muslimin saja dan kita mengatakan sebagai Khalifatullah fil Ardh. Sekali lagi ada apa dengan pola pikir Timur?

Sekian dulu pembaca budiman, sudah terlalu panjang, maaf bila ada kata2 yang kurang tepat. Mohon pamit, Wassalamu’alaikum wr, wb.

*Silakan Share